Peterson Pun Bersilat dengan Keris

Peterson Pun Bersilat dengan Keris
Pria asal Brazil Peter Menezes mempertunjukkan jurus silatnya ketika dipotret di pelataran Candi Sukuh, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, pertengahan September 2019 lalu. Ini kali pertama ia ke Indonesia. (Koleksi Pribadi Peterson Menezes)
Selain ke Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, Peter Menezes juga ke Borobudur dan Prambanan, medio September 2019.

Selain ke Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, Peter Menezes juga ke Borobudur dan Prambanan, medio September 2019.
(Koleksi Pribadi Peterson Menezes)

Sengaja kuulurkan sebilah keris Bugis lurus. Sapukala. Sebab baru sesaat mengenalnya aku tahu, setiap keris baginya adalah senjata bela diri. Dilolos dari sarungnya, pergelangan tangan ditekuk, dan bilah berbentuk melengkung pisang itu sekejap sudah berada di bawah tulang siku tangannya.

Syaat! Syaat! Gerakan silat tangannya secepat kilat mengibas ke samping, ke depan dibarengi gerak kaki, dan setiap kali ambil posisi kuda-kuda lagi dengan bilah terlipat di bawah sikut.

“Saya bisa bikin gerakan kilat, lebih cepat dari perkiraan…,” kata Peterson Menezes, pria asal Brazil yang belum sepuluh menit masuk rumahku di Jakarta Barat. Ya, sengaja bukan keris Jawa aku ulurkan. Lantaran, tidak setiap keris Jawa adalah senjata yang bisa dipakai bersilat. Tidak seperti keris Bugis, utamanya Sapukala, yang dari bentuknya pun senjata tusuk dan toreh. Arti kata Sapukala pun, “senjata pendobrak”. Dari cara pegangnya, hulu keris jenis patah tiga Bugis memang untuk digenggam sebagai senjata tusuk, dobrak tubuh lawan dan toreh, serta menyayat luka lebar. Keris Jawa lebih senjata tusuk. Itupun dulu, di zaman Empu Gandring. Keris Jawa kini, selain diperlakukan sebagai senjata yang dipusakakan, juga dianggap sebagai semacam ‘sipat kandel’, obyek untuk percaya diri, disengkelit…. sementara pedang, tombak, bahkan pistol yang lebih diandalkan sebagai senjata bela diri.

Sejak usia 10 tahun, Peterson yang kelahiran Brazil tahun 1975 ini, memang suka bela diri. Brazilian Jiujitsu, beladiri paling populer di negeri terbesar di Amerika Latin ini, juga pernah dipelajarinya. Beladiri khas Brazil yang juga populer adalah Capoeira. Sebuah seni beladiri yang dulunya diciptakan seorang budak Afrika, yang dibawa colonial Portugis ke Brazil.

“Sembilan puluh lima persen perkelahian di jalan akan berakhir dengan perkelahian jarak dekat, dan berakhir di lantai…,” tuturnya. Itu pula sebabnya, Peterson pun belajar beladiri sejak usia dini. Tetapi bukan Jiujitsu yang banyak menggunakan teknik cekikan dan kuncian, cocok untuk melawan musuh yang lebih besar, akan tetapi akhirnya justru Peterson tertarik beladiri asli Indonesia, Pencak Silat dari seorang gurunya, blasteran China dan Indonesia.

Berpisah dari guru silatnya, Master Sum Cay yang meninggalkan Brazil, Peterson sempat menekuni Wing Chun Kungfu. Namun pilihannya justru Pencak Silat, yang kemudian membawa hasrat besarnya untuk mengunjungi Indonesia. Dan cita-cita sejak kecilnya, terwujud untuk pertama kalinya awal September 2019 lalu, ketika ia mengunjungi Indonesia selama dua minggu.

“Saya semakin ingin bisa bicara bahasa…,” seperti juga orang asing lainnya, menyebut bahasa Indonesia dengan sebutan singkat: bahasa. Dan dia yakin, jika ia tinggal lebih lama lagi di Indonesia, maka bicaranya yang kini sepatah-sepatah pakai “bahasa”, dia mengaku akan bisa lancar ngobrol bahasa…

Mampir di Kios Bu Haji di Pasar Batu Mulia dan Keris di Rawabening, Jatinegara, Jakarta Timur. Ia sempat beli hulu keris Cirebonan.

Mampir di Kios Bu Haji di Pasar Batu Mulia dan Keris di Rawabening, Jatinegara, Jakarta Timur. Ia sempat beli hulu keris Cirebonan.
(Koleksi Pribadi Peterson Menezes)

“Saya juga pengen dapet isteri orang Indonesia, yang mau saya ajak tinggal di Brazil,” kata Peterson, yang pernah gagal pada perkawinan pertamanya dengan orang Jepang, membuahkan seorang anak lelaki umur tujuh tahun.

Ketika saya ajak ke Pusat Perguruan Pencak Silat di Taman Mini, Jakarta Timur suatu Sabtu siang, kebetulan Peterson bertemu dengan seorang pendekar silat asli Betawi, yang tengah duduk bersila bersama  temannya di beranda Gedung Pencak Silat. Hanya perlu sekejap berkenalan, Peterson pun sudah terlibat adu jurus silat. Yang satu, kombinasi Jiujitsu, Wing Chun dan Silat, yang satunya pencak silat asli Betawi. Tangan kosong, tentunya….

Dua minggu selebihnya, ia habiskan waktu singgahnya di Jogjakarta dan Surakarta. Senang sekali, bisa mengunjungi Candi Buddha terbesar Borobudur, candi Hindu Prambanan di perbatasan Klaten, dan sempat pula ke Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu di sebelah timur kota Surakarta. Diantar seorang temannya, Peterson juga sempat bertandang ke besalen Empu Sungkowo di Gatak, Moyudan, Sleman Bantul Jogjakarta.

Buah tangan yang dibelinya dalam perjalanan pertamanya ke Indonesia kali ini, adalah membeli baju batik – yang hampir selalu dikenakan dalam setiap kesempatan perjalanannya. Juga, sarung dan kopiah. Yang dipakainya bersilat, tangan kosong, maupun dengan keris dalam berbagai kesempatan bertemu kenalannya.

“Coba, pukul aku…,” kata Peterson, kepada seorang penjual batik di Thamrin City Jakarta Pusat, yang mengaku juga pernah belajar silat dari perguruan Bangau Putih. Cyaaat, Peterson berkelit, dan dalam secepat kilat tangannya sudah “mengancam” leher si penjual batik. Berakhir dengan ketawa, dan bersalaman tentunya. Seni beladiri, kali ini benar-benar dipergunakan Peterson untuk berteman dan tersenyum, selama perjalanannya di Indonesia.

Peterson juga sempat singgah di pusat batu mulia dan keris di Pasar Rawabening, Jatinegara Jakarta Timur. Selain hobi mengumpulkan keris (walau kurang dari sepuluh bilah kini, tiga di antaranya baru saja dibelinya di Jakarta dan Solo), Peterson juga sangat berhobi mengumpulkan batu cincin dari berbagai jenis. Terbanyak asli Brazil, mirip-mirip juga dengan jenis di Indonesia.

“Kenal dengan ibu ini?” kata Peterson, seraya mengirimkan foto Bu Haji yang memiliki kios keris dan tombak asal Madura, di Rawabening. Peterson mengaku membeli sebuah hulu keris Cirebonan, motif Butabajang, dan sepucuk mata tombak pada Bu Haji. Juga ia beli sekitar 30 cincin bermata batu akik dari lokasi ramai jual beli batu mulia dan keris di Jakarta Timur ini.

Peter Menezes dan Empu Sungkowo Harumbrodjo di rumahnya, Gatak, Moyudan, Sleman, Yogyakarta.

Peter Menezes dan Empu Sungkowo Harumbrodjo di rumahnya, Gatak, Moyudan, Sleman, Yogyakarta.
(Koleksi Pribadi Peterson Menezes)

Dari sobatnya pemilik kios keris di Ketelan, Solo, Peterson diberi secarik keterangan, bahwa ia membawa serta dari Indonesia tiga bilah keris dan sebilah mata tombak, agar tidak dipersulit bea cukai di Bandara Soekarno-Hatta, lantaran yang ia beli memang keris suvenir.

“Tahun depan saya pengen ke sini lagi…,” ungkap Peterson Menezes, yang mengaku semakin jatuh cinta pada Indonesia, apalagi setelah kunjungan pertamanya kali ini. Dan setelah perjalanan panjangnya dari Jakarta menuju Sao Paolo selama lebih kurang 25 jam, Peterson mengirim gambar keris-keris yang baru didapatkan dari Indonesia.

“Saya harus mengucapkan selamat datang ke Brazil, dengan sesajen…,” tulis Peterson, seraya mengunjukkan foto keris-keris yang baru didapatnya, bertabur kembang di atas kain… *

Keris yang ingin dilihatnya adalah keris Jalak Budo, yang biasanya berupa keris tua diperkirakan dari era Kabudan.

Keris yang ingin dilihatnya adalah keris Jalak Budo, yang biasanya berupa keris tua diperkirakan dari era Kabudan.
(Koleksi Pribadi Peterson Menezes)

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply