Orang Terpikat “Njing-jingan” Mranggi Wusanto

Orang Terpikat “Njing-jingan” Mranggi Wusanto
Wusanto biasa menemui tamunya dengan bersarung atau celana pendek, jika pas sedang bekerja. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)

Di kalangan penggemar keris Yogyakarta, mranggi Wusanto dari desa Sanggrahan Banyuraden, Gamping Sleman, ini tidak hanya dikenal laras garapan warangkanya akan tetapi terutama “njing-njingan”nya.

Njing-njingan atau setelan bilah ke warangka keris garapan Wusanto dikenal “ngunci”, nggak jatuh bilahnya jika dijungkirkan akan tetapi dengan sedikit dorongan ibu jari, kuncian bilah langsung terbuka.

“Laras tapis, ngayang batin…,” ungkap Wusanto, yang sampai saat ini masih tetap memakai kebiasaan lama, pakai jarra atau bor yang berputar lantaran dipilih pakai tangkai berkulit rusa dan bukan bor listrik, serta menggilapkan warangka keris tidak dengan pelitur. Akan tetapi di”gebeg”, digosok sampai gilap.

Ngayang batin dalam pikiran Wusanto adalah, memandangi pakai mata batinnya, apakah warangka yang disetelnya “penak disawang” (enak dilihat) apa “ra penak disawang” (nggak enak dilihat). Artinya, kalau dirinya pun mengamati warangkanya “tidak penak”, ya orang lain akan “tidak penak” juga melihatnya.

Sedangkan “laras tapis” yang dimaksudkannya adalah, warangka dibentuknya, dilarasnya, dipaskan tipis tebalnya, serta lekuk-likunya sampai tidak bisa dilaras lagi. Kalau dilaras lagi, malah jadi jelek.

Daun angkup, atau kelopak bunga pohon kluwih serta kerang “kuwuk” yang biasa dipakai Wusanto untuk menghaluskan dan menggilapkan warangka. (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Di kalangan pekeris, Wusanto juga dikenal lama menggarap setelan warangkanya. Bisa berminggu-minggu, bisa berbulan-bulan, tergantung bagaimana mengerjakannya. Maklumlah, Wusanto kini sudah 74 tahun. Menggarap warangka dari nol, ia mengaku kini tak lagi sanggup, selain menyetel dan melaras.

“Kalau dulu, bikin rangka gading pun saya jalani,” kata Wusanto pula.

Ketika ditemui KerisNews.com, Senin (28/Agustus/2017) lalu Wusanto sedang mengerjakan beberapa pesanan setelan warangka di bilik kerjanya yang sempit, dan penuh dengan tumpukan gandar (sarung kayu) atau berbagai peralatan yang biasa dipakainya sehari-hari.

Rahasia setelan ngunci Wusanto?

“Saya blak dulu bilah pada gandar yang dibelah, ngepress, ngepas, baru dilem,” kata Wusanto. Kalau gandarnya ngepres dan ngepas dengan bilah? “Dijamin setelan akan ngunci,” katanya pula. Khusus gandarnya, Wusanto biasanya memakai kayu mlinjo yang banyak tumbuh di halaman di sekitar rumahnya di Baturaden, Gamping Yogyakarta.

Menghaluskan warangka, agar gilap seperti seolah diplitur? Selain menggunakan ampelas normal, dari ukuran kasar sampai terhalus, Wusanto sampai saat ini terbiasa mengakhiri dengan ampelas alami, berupa daun rempelas yang biasa dia petik di sekitar rumahnya.

Sedangkan untuk menggilapkannya, ia cukup menggunakan “angkup” atau kelopak daun kluwih yang biasa jatuh di sekitar pohon. Daun angkup itu dituangi dulu dengan air panas, dan setelah ditiriskan, angkup yang lemas itu digosokkannya ke warangka. Berulang-ulang sampai halus. Sentuhan terakhir, ia memakai kerang “kuwuk” yang berkulit halus, sampai warangka benar-benar mengkilap alami.

Wusanto biasa menggilapkan warangka garapannya tanpa politur. Akan tetapi menggosoknya sampai halus, lalu menggilapkannya pakai angkup. (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Wusanto yang mengaku “buta huruf” (padahal ia bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, walau tidak lulus), belajar otodidak membuat warangka.

“Sampai kelas III, tidak bisa melanjutkan karena tergoda mencari duit,” kata ayah dari dua anak perempuan yang sudah menghasilkan dua cucu ini pula. Sejak usia 16 tahun, sekitar tahun 1960-an, ia dititipkan ayahnya ke tukang warangka keris, Adi Sumarto yang waktu itu kondang di Yogyakarta.

Ia menemukan sendiri, bagaimana menggarap dan menyetel warangka sehingga laras tapis. Di tempat Adi Sumarto ini, Wusanto belajar membuat warangka dari nol. Sampai suatu ketika ketemu juragan keris, Pak Prapto di kampung Serangan Jogja, yang menurut Wusanto – sering ke luar negeri, terutama Belanda, menjual keris.

“Ayah Nugroho, Atmoyono, itu kakaknya Pak Prapto,” katanya. Nugroho yang dimaksud Wusanto, itu adalah ahli membuat kinatah keris (hiasan emas pada bilah keris) yang sampai saat ini juga tinggal di Serangan, sebelah barat terminal bis Pariwisata di Jogjakarta.

Wusanto, isterinya Bu Soeharti serta keris Sengkelat yang dibeli Soeharti di Pasar Beringharjo pada tahun 1973. (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Pengalaman yang tak terlupakan dari mranggi Wusanto, adalah ketika ia dibawa sebuah rombongan pengrajin keris ke Eropa pada tahun 1979, mengisi sebuah stand di Tong Tong Fair, Den Haag – pusat pemerintahan di Belanda.

“Waktu itu musim dingin sudah lewat, tetapi masih ada sisa-sisa salju di jalanan,” tuturnya. Ia terkesan luar biasa, lantaran apresiasi orang-orang bule begitu antusiasnya melihat pekeris-pekeris Indonesia ini memamerkan keahliannya.

“Ada pembuat kerisnya, lengkap dengan ububan. Mereka membuat keris sampai jadi di pameran itu,” tutur Wusanto pula. Wusanto juga sempat membuat warangka dari nol sampai jadi, dan sempat mendapat pesanan untuk memperbaiki atau mengganti gandar keris milik para pengunjung bule di Den Haag.

Itu adalah satu-satunya pengalaman Wusanto pergi jauh, sampai ke Belanda, Belgia dan bahkan Paris di Perancis. Di negeri sendiri? Boleh dikata, datang ke pameran di Jogjakarta pun bisa dihitung dengan jari. Sepenuhnya, dari hari-ke hari, Wusanto hanya berkutat di rumahnya, menggarap setelan keris dari para pelanggannya – khususnya warangka gagrak Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pengalaman yang berkesan dari isteri setianya, Bu Soeharti?

“Pernah dia pulang dari jualan di Pasar Beringharjo, bawa keris yang katanya ia beli Rp 225ribu. Saya bilang, nggak tahu keris kenapa beli-beli keris?” tutur Wusanto.

Rupanya, keris yang dibawa isterinya itu keris yang bagus, keris dapur Sengkelat luk tiga belas, yang sempat saya tanting ketika mewawancara Wusanto.

“Istri saya beli Rp 225ribu, rangkanya saya jual malah lakunya Rp 250ribu. Bilahnya saya simpan sampai sekarang, belum akan saya jual….,” kata Wusanto. Keris sengkelat kenang-kenangan yang dibeli isterinya itu memang sebuah keris utuh, berpamor wos wutah dan tangguhnya diperkirakan Sultan Agungan. Kini pakai rangka branggah Jogjakarta yang menawan…. *

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply