Mengenal Udeng dan Maknanya

Budaya di Nusantara sangat kaya dan beragam. Salah satunya yaitu udeng ikat. Hampir tiap wilayah memiliki udeng dengan ciri khasnya sendiri. Saat Kongres Pemuda Oktober 1928, para pemuda menggunakan atribut masing-masing, termasuk udeng yang berbeda sesuai daerah tempat asalnya.
“Bahkan yang dari Jong Java, nanti yang dari Jogya, dari Solo, dari Jawa Timur udengnya beda-beda. Yang dari Bali udengnya beda, yang dari Sulawesi udengnya beda-beda. Tapi mau bersatu. Jadi kita bisa gambarkan waktu Kongres Pemuda itu kumpulan udeng-udeng sebenarnya,” kata Romo Donny S Ranoewidjojo, di acara “Ngaji Budaya : Udeng Ikat Tradisional dan Filosofinya”.
Di acara yang digelar oleh Lesbumi NU Kota Depok dan Komunitas Tepo Sliro, Kamis (1/11/2018), di Roemah Batu, Jalan Masjid II 24-26 Jaya Agung, Sawangan, Depok, Jawa Barat ini, Romo Donny, yang merupakan Ketua Lesbumi NU Kota Depok, menjadi pembicara tunggal.
Dan, udeng ini, menurut penjelasan Romo Donny, memiliki banyak nama, ada yang menyebutnya destar, iket. Di Sumatra udeng tidak ada, tapi iket menjadi ikek, destar disebut deta atau desta. Sementara, di Bali dan Madura, baik udeng, iket, dan destar juga ada.
Penyebutan ketiganya, menurut Romo Donny, merupakan onomatope atau ekspresi peniruan bunyi. Jadi kata udeng berasal dari bunyi deng. Dan, kata deng ini memiliki dua makna, yaitu pukulan yang keras dan suatu ikatan yang keras atau yang kuat. Makanya disebut udeng–udeng. Karena diikat dengan kuat.
“Nah, kemudian timbul kata mudeng. Udeng sebagai kata benda dari onomatope mendapat awalan anuswara nasal, m, ma, menjadi mudeng. Jadi kata paham, mudeng itu penggambaran dari sesuatu yang diikatkan di kepala. […] Konsep paham itu memakai, meminjam kata udeng. Gak mudeng itu berarti ndak bisa memakai udeng, kasarnya begitu,” kata Romo Donny.
Begitu juga dengan kata ikat, iket. Sesuatu yang disebut “ket” itu pekat. Atau buket istilah Bahasa Jawanya. Jadi sudah tidak ada lubang atau celah karena memang sudah kencang. Sesuatu hal diikatkan di kepala biar kencang, biar menempel.

Suasana acara “Ngaji Budaya : Udeng Ikat Tradisional dan Filosofinya” yang digelar oleh Lesbumi NU Kota Depok dan Komunitas Tepo Sliro, Kamis (1/11/2018), di Roemah Batu, Jalan Masjid II 24-26 Jaya Agung, Sawangan, Depok, Jawa Barat ini. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Tapi semua artefak budaya yang ada di dunia ini, ndak cuma di Nusantara ternyata awalnya bermula dari fungsi. […] Fungsi awalnya dari udeng sebenarnya sederhana. Karena kita ini tropis, lembab, panas, mataharinya marahi keringet ketes–ketes. Jadi fungsi udeng itu awalnya cuman untuk menghalangi keringat netes di mata, karena pedih, karena itu garam,” terang Romo Donny.
Di beberapa tempat, fungsi seperti udeng itu juga ada. Seperti di Cina, Korea, dan Jepang. Tapi negara-negara itu hanya dipakai oleh para tukang masak, yang bekerja di tempat yang panas, lembab dan banyak uap air. Dan hal seperti ini juga bisa ditemui pada orang-orang yang sedang berolah-raga, termasuk pula para penyanyi rock.
Menurut Romo Donny, di semua Asia Tenggara memiliki udeng. Hanya ada perbedaan antara di Nusantara dengan negara-negara di daratan Indochina. Jadi, di negara Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Myanmar dan lainnya, bentuk kainnya agak segi panjang. Kalaupun ada yang berbentuk persegi, ukurannya lebih kecil. Sementara di Nusantara bentuk kainnya persegi besar, yang kemudian dilipat menjadi bentuk segi tiga.
“Kenapa pesagi, kenaga nggak langsung buat segi tiga. Karena tradisi tenun tidak bisa menenun segi tiga,” kata Romo Donny di acara Ngaji Budaya yang digelar untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda.
Dan, alasan lain kenapa bentuk persegi tetap dipertahankan padahal ketika memakainya kain mesti dilipat menjadi bentuk segi tiga. Hal ini karena kain persegi empat untuk udeng, juga bisa berfungsi sebagai tas, untuk menaruh barang-barang. Jadi, kata Romo Donny, orang dahulu itu membawa dua udeng, satu untuk udeng dan satu sebagai tas.
Karena awalnya memang berfungsi mencegah keringat menetes ke mata, maka tradisi udeng kuno merupakan udeng buka, tidak menutup di seluruh kepala, terutama di bagian atas kepala. Begitu pula udeng di negara-negara Indochina tadi, hanya diikat begitu saja. Termasuk Melayu, yang tradisi lama, udengnya terbuka. Juga di Madura, udengnya terbuka.
Romo Donny menjelaskan kain udeng yang pakem, ada blumbangan. Yaitu motif yang ada di tengah kain. Blumbangan di kain ini nantinya memang hanya muncul atau tampak sedikit saja di samping kiri kanan kepala pemakai udeng. Selain itu ada pinggiran kain yang disebut kemodo.
“Blumbangan ini selalu di tengah, karena simbol dari ilmu yang diturunkan Tuhan, mata air, nggak ada habisnya. Nah, nanti mata air ini teriluminasi menjadi gambar-gambar apa, ya tergantung isen–isennya,” kata Romo Donny.
Dan, blumbangan ini, menurut Romo Donny, sebenarnya tidak boleh dihilangkan. Tapi karena nantinya hanya kelihatan sedikit, lantas oleh pembatik sering tidak dibuat. Sehingga oleh para pembuat blangkon, di samping kiri kanan blangkon kemudian ditambahkan kain dengan warna berbeda agar kelihatan ada blumbangannya.

Beberapa contoh-contoh kain udeng dengan berbagai motif. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sementara, kemodo menggambarkan sisi luar yang sebenarnya tidak ada batasnya. Kalau istilah orang Jawa, “ngono yo ngono ning ojo ngono”. Setelah kemodo, lebih masuk ke dalam kain ada isen–isen pinggir. Kalau isen–isennya memenuhi seluruh kain, maka disebut byur.
“Isen–isen itu simbol doa yang diharapkan. Simbol fokus karena masing-masing orang harus fokus. Entah fokus dalam suatu waktu tertentu, entah fokus dalam suatu karir tertentu,” kata Romo Donny.
Dari segi ukuran, kain berbentuk persegi ini, panjangnya sekitar 107-111 cm. Dan, kain memiliki beberapa motif atau pola, seperti cemukiran, modang, kawung, jumputan, dan beberapa lainnya lagi.
Menurut Romo Donny, dalam satu udeng tidak bisa memiliki gambar motif yang banyak atau berbeda-beda. Karena memaparkan periode suatu kefokusan tertentu dalam mewakili karyanya. Dan, tergantung karya mana yang akan diwakili. Karena itu, kadang orang bisa berganti udeng berkali-kali.
“Nah, di Jogja sering keluar cemukiran. Cemukiran itu sebenarnya lung pakis yang di pegunungan. Nah ini simbol lung–lung itu, melengkung itu simbol suatu fleksibiliti. Kedua simbol kesuburan, karena dari lung ini akan jadi tanaman besar. Simbol trubus, lung. Dari lung ini akan jadi potensi apa kita nggak tahu. Simbol keberlangsungan, simbol keberlanjutan,” terang Romo Donny.
Di masa lalu, menurut Romo Donny, laki-laki yang keluar rumah harus memakai udeng. Seperti halnya mereka juga harus memakai keris. Kalau keduanya, udeng dan keris, tidak dipakai seolah seperti telanjang. Dan udeng hanya boleh dilepas di rumah.
“Nah, kemudian kita jumpai udeng tutup, yang atas tertutup. Setelah secara antropologis kita periksa, itu ternyata di daerah yang tasawufnya sangat kuat. Mau tidak mau tasawuf kuat berarti wali-wali,” kata Romo Donny.
Daerah yang menggunakan udeng tutup yaitu Minangkabau, Jawa, dan Maluku Utara, Ternate-Tidore. Di daerah ini tasawufnya sangat kuat. Jadi, munculnya udeng tutup, menurut Romo Donny, pertama karena ada hubungan dengan agama Islam.

Blumbangan pada kain ketika dibuat udeng hanya muncul sedikit sebagai corak warna merah di atas telinga pemakai, seperti terlihat di foto. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Ada konsep bagian atas itu simbol curahan dari Tuhan yang bisa berupa rahmat hujan, terangnya matahari. Jadi, dianggap tidak sopan kalau bagian atas itu tidak ditutup. Alasan kedua, kalau terlalu terpapar matahari juga tidak baik, makanya ditutup.
“Bisa jadi kalau di Jawa yang pertama kali ngarang udeng tutup ya Sunan Kalijaga cs. Dan kita pun masih jumpai udeng bukak di Jawa. Khususnya, misalnya prajurit-prajurit kuno, nyutran. Nyutran itu yang pegang panah sama tombak lempar,” kata Romo Donny.
Di pesisir juga sudah ada udeng tutup, hanya udengnya miring. Pesisir yang dimaksud, seperti Batavia atau Jakarta, Surabaya, termasuk Madura. Dan kenapa miring. Menurut Romo Donny, karena di pesisir memang meniru bentuk layar yang juga miring.
Mengenai pemakaian udeng, menurut Romo Donny, dahulu setiap orang bisa memakai udeng karena memang diajari oleh orang tuanya. Memakai udeng ini tidak boleh instan seperti sekarang, dengan adanya blangkon. Dengan memakai udeng secara instan ini maka konsep mudeng menjadi hilang.

Contoh kain berbentuk persegi untuk udeng yang tidak ada blumbangannya. Di kain yang ada blumbangannya, blumbangan akan terlihat di tengah kain. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Dan, karena perkara kepraktisan pula maka pemakaian udeng kemudian mulai diganti dengan blangkon. Pemakaian udeng yang instan atau blangkon ini, menurut Romo Donny, terjadi di masa Mangkunegara IV.
“Nah, Kanjeng Gusti Mangkunegara IV yang pertama kali paras rikma. Jadi Beliau kaya kita rambutnya pendek. Dan, itu mengagetkan termasuk buat tiga raja yang lain. […] Jadi Sri Mangkunegara IV paras rikma kemudian membuat udeng yang trepes, sama sekali ndak ada apa-apa, dalam artian langsung dinstankan. Nah instans kemudian sekarang disebut blangkon,” kata Romo Donny.
Setelah Mangkunegara IV memulai memakai blangkon, maka masyarakat di wilayah mangkunegaran lantas mengikuti. Dan, kemudian akhirnya pemakaian blangkon menjadi hal yang biasa, dan malah menggantikan pemakaian udeng, yang memang cukup rumit.
Romo Donny mengakui bahwa naskah-naskah yang berbicara tentang udeng hanya ada di naskah yang termasuk baru, yaitu di zaman Belanda. Misal di masa PB IX atau X, dan tidak dijumpai di naskah yang lebih tua. Begitu pula di Mangkunegaran maupun Yogyakarta, hanya ada di naskah-naskah baru.

Foto bersama setelah acara “Ngaji Budaya : Udeng Ikat Tradisional dan Filosofinya” yang digelar oleh Lesbumi NU Kota Depok dan Komunitas Tepo Sliro, Kamis (1/11/2018), di Roemah Batu, Jalan Masjid II 24-26 Jaya Agung, Sawangan, Depok, Jawa Barat ini. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Karena itu, kata Romo Donny, pendekatan untuk mengetahui udeng ini menggunakan pendekatan Antropologis, dan teori yang disebut Change and Continuity. Suatu teori yang juga dipakai di seni rupa dan desain, untuk memperkirakan rancangan di masa lalu dan masa depan.
“Ini adalah sebuah atau secercah harapan baru bahwa walaupun kalau diuji di lapangan kalau tidak distimulasi apa iya anak-anak kita mau makai blangkon yang rumit. Itu kan juga sebuah perjuangan yang luar biasa. Tapi kita mulai saja dari kita yang sadar bahwa ini tidak boleh hilang dan harus dikembangkan semampu kita,” kata Ketua PCNU Depok, Salamun Adiningrat, di akhir acara.
No Responses