Sultan Agung bukan Anak Hanyakrawati? (2)

Kontroversi siapa sebenarnya Sultan Agung sudah menjadi rahasia lama, yang tersimpan dan dipendam berabad-abad di lingkungan kraton Mataram. Dalam sebuah manuskrip rahasia di kraton, dituliskan bahwa sebenarnya Sultan Agung itu adalah anak Panembahan Senopati yang terlahir dari putri Adipati Madiun Retno Dumilah. Sultan Agung menurut naskah ini bukan putra Hanyakrawati raja Mataram dengan Ratu Adi putri Pragola Pati.
Di filem Sultan Agung garapan Hanung Bramantyo yang mulai diputar serempak di Jakarta dan kota lain mulai Kamis (23/Agustus/2018) lalu memang tidak mengungkapkan kisah rahasia yang sudah dipendam berabad-abad ini. Di dalam filem ini, Sultan Agung atau RM Rangsang adalah anak Prabu Adi Hanyakrawati dengan Ratu Adi – putri Adipati Pragola dari Pati. Para sejarawan pun menuliskan demikian.
Rahasia (kalau itu mengandung kebenaran) yang lama disimpan itu mulai terkuak ke publik, ketika tahun 1980, Badan Penelitian Bahasa di Yogyakarta mengalih-aksarakan naskah sinengker (rahasia) beraksara Jawa, Babad Nitik sarta Cebolek Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung ing Mataram, yang disimpan oleh putra Sinuhun Hamengku Buwana VII (1877-1912) GPH Buminoto.
Dalam Babad Nitik diungkapkan bagaimana getirnya perjalanan hidup Raden Mas Jatmiko – yang pada saat dewasa bernama Raden Mas Rangsang ini. Rangsang menjadi “perburuan” saudara sebapak lain ibu, yang menggantikan Panembahan Senapati, yakni Prabu Adi Hanyakrawati (memerintah 1601-1613). Prabu Adi Hanyakrawati berniat menghabisi RM Jatmiko atau RM Rangsang ini sejak dalam kandungan Retno Dumilah istri taklukan Panembahan Senapati (1587-1601).

Sosok Sultan Agung di dalam poster film tersebut.
(Dokumentasi Film Sultan Agung)
Suksesi raja-raja di Jawa memang seringkali tidak mulus dan penuh intrik, terkadang bunuh-membunuh sesama putra raja namun berbeda ibu. Siapa pengganti raja pun, selalu ada ‘backing’nya. Dalam istilah Babad Nitik, “selalu ada yang mbengok (teriak), siapa yang menjagokannya untuk diangkat jadi raja. King-maker, menurut istilah politik kekinian.
Dalam filem Hanung Bramantyo, Sultan Agung adalah anak Prabu Hanyakrawati dengan permaisuri putri dari Pati. Dan RM Rangsang, nama muda Sultan Agung, di film itu sudah menjadi Santri yang beranjak dewasa dan digambarkan punya “pacar” masa muda (bukan tokoh sejarah), Lembayung. Fokus filem, lebih menggambarkan epos kepahlawanan Sultan Agung melawan kolonial asing, VOC – atau perusahaan multinasional dunia, yang dipimpin orang-orang Belanda di Batavia. Drama serangan yang menghabiskan pasukan dan perwira Mataram ini terjadi dua kali, pada 1628 dan 1629.
Kegagalan serangan pasukan Sultan Agung ke Batavia ini, meninggalkan catatan tegas dalam sejarah penaklukan penguasa Mataram yang hebat ini. Meski kalah, Sultan Agung merupakan satu-satunya penguasa Mataram yang melawan penjajahan Kumpeni pimpinan Belanda. Sultan Agung juga dikenang rakyat Indonesia, lantaran bisa membuat pemimpin VOC, Jan Pieterszoon Coen tewas dalam serangan Mataram ke Batavia. Ada versi yang mengatakan Coen diracun, ada yang mengklaim Coen tewas ditusuk pasukan Mataram.
Yang pasti, sampai kini masih diusut terus oleh kalangan sejarawan Belanda, bahwa JP Coen melakukan pembantaian massal, dalam penaklukan Pulau Banda semasa menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda sejak 1618. Coen membantai seluruh penduduk Banda, sekitar 14.000 jiwa, pada 1621, demi menguasai perdagangan rempah-rempah pala…

Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang dengan pacar lamanya (bukan sosok sejarah), Lembayung dalam film Sultan Agung.
(Dokumentasi Film Sultan Agung)
Drama perjalanan hidup RM Rangsang alias RM Jatmiko ini sungguh akan menjadi cerita luar biasa. Suksesi seorang raja Jawa tidak hanya perlu legitimasi, akan tetapi juga perlu dukung-mendukung di kalangan kraton. Menjadi raja juga perlu backing yang kuat.
Konflik karena suksesi ini tidak hanya diwarnai intrik antara anak-anak raja Mataram, akan tetapi dibumbui pula persaingan antara penerus kerajaan Pajang sepeninggal raja terkuatnya, Hadiwijaya. Terutama keturunan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Sultan Pajang Hadiwijaya (1549-1582) menghadiahi tanah Pati untuk Ki Penjawi, serta bumi Mataram di hutan Mentaok (selatan Yogyakarta kini) kepada Ki Gede Pemanahan – setelah keduanya berhasil menewaskan Adipati Jipang, Aryo Penangsang. Setelah Ki Gede Pemanahan mendirikan Mataram, seperti ada kesepakatan tak tertulis bahwa penerus Mataram adalah keturunan mereka berdua. Sutawijaya, anak angkat Ki Gede yang menewaskan Aryo Penangsang, Danang Sutawijaya menjadi raja Mataram yang pertama dengan nama Panembahan Senopati.
RM Rangsang yang nantinya jadi Sultan Agung, versi Babad Nitik, adalah anak Retno Dumilah putri Adipati Madiun dengan Panembahan Senopati. Retno Dumilah, adalah perwira perang Madiun ketika Senopati menaklukkan Madiun (1591). Panglima perang Madiun yang hebat, Retno Dumilah adalah pemilik senjata pusaka ampuh Madiun, Kiai Kala Gumarang (Tundhung Madiun) dan Kiai Gupit. Retno Dumilah tidak ditundukkan dengan senjata, akan tetapi dengan “cinta”. Putri Madiun ini pun diperistri jadi permaisuri Senopati.
Hadirnya Retno Dumilah dari Madiun sebagai permaisuri Mataram, menimbulkan benih perselisihan baru di kraton Mataram semasa Senopati. Intrik pun terjadi, lantaran Pangeran Adipati Anom, calon pengganti Senopati, sudah ditetapkan yakni Hanyakrawati anak dari permaisuri pertama, Ratu Adi, putri Ki Penjawi asal Pati.
Suatu ketika, menurut catatan Babad Nitik, bertepatan dengan Selasa Kliwon, bulan Ruwah, tahun Dal 1509 (sekitar 1587) penembahan Senopati duduk di singgasana di hadapan istri dan putra-putranya. (Ini tutur Pangeran Purubaya, putra sulung Senopati, kakak Hanyakrawati beda ibu).
Senopati menggelar sayembara, agar siapa di antara putra-putranya yang bisa menggulingkan kursi singgasana yang didudukinya, “ia bakal menurunkan raja-raja se-tanah Jawa,” Ternyata tak satupun putra-putra Senopati yang bisa menggulingkan kursi singgasananya. Termasuk pula putra sulungnya, Pangeran Purubaya, dan juga adiknya Hanyakrawati.
Tetapi tanpa diduga, putri Madiun Retno Dumilah istri Senopati yang sedang mengandung, ternyata mampu menggulingkan kursi singgasana raja. Maka Senopati pun secara rahasia mengatakan pada Purubaya: “Anakku Purubaya, ketahuilah bahwa kelak yang dapat menurunkan raja-raja di tanah Jawa adalah bayi yang sedang dikandung oleh Yayi Ratu Retno Dumilah. Sedangkan adikmu Adipati Anom (Hanyakrawati) tidak bisa menurunkannya raja-raja se-Tanah Jawa sebab ia sudah bukan lelaki lagi. Dan meskipun ia berputra, Pangeran Martapura, namun ia sakit ingatan. Dan ia pun bukan lelaki sejati…,” kata Purubaya, menuturkan kembali soal pesan rahasia Panembahan Senopati.
“Pandai-pandai lah mengasuh anak yang ada di dalam kandungan Yayi Ratu Retno Dumilah, jika aku nanti wafat..,” kata Panembahan Senopati, seperti dituturkan pada Purubaya.
Adapun kelelakian Hanyakrawati, dalam Babad Nitik dituturkan hilang saat Mataram Senopaten menyerang Pati yang mbalelo. Pati dibawah kekuasaan paman Hanyakrawati sendiri, yakni Adipati Pragola kakak ibu ratu, berontak terhadap Mataram. Sedangkan anak Hanyakrawati, Pangeran Martapura, dituturkan Senopati pada Purubaya, anak itu lemah ingatan dan tidak lelaki sejati juga.
Sabda Pandita Ratu ‘tan kena wolak-walik’, apa sabda raja harus terlaksana. Tidak bisa dibolak-balik. Purubaya berjanji akan menjunjung sabda raja itu. Sementara putra mahkota calon pengganti Senopati, Pangeran Adipati Anom (Hanyakrawati), risau. Bagaimana kalau nanti yang lahir dari Retno Dumilah anak lelaki?
Lima bulan setelah sayembara “dampar Mataram” itu, Ratu Ayu Retno Dumilah ternyata melahirkan bayi lelaki yang tampan. Sinuhun Senopati menamainya RM Rangsang (RM Jatmiko).

Pasukan Sultan Agung ketika menyerang Batavia 1628 dan 1629, versi film Sultan Agung garapan Hanung Bramantyo (2018) ini.
(Dokumentasi Film Sultan Agung)
Akhirnya wafatlah Kanjeng Panembahan Senopati, pada mangsa Kasa, tahun Alip 1523 (1601 M). Ia dimakamkan di Masjid Agung Kota Gede. Kemudian pada tahun itu, jatuh pada mangsa Sadha, bulan Besar, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Mataram dengan gelar Sinuhun Amangkurat Adi Hanyakrawati.
Sejak Prabu Adi Hanyakrawati naik tahta, Pangeran Purubaya sangat berhati-hati untuk mengindahkan dan melaksanakan perintah sang ayah, Panembahan Senopati. Dan benar, sang Prabu Adi Hanyakrawati ternyata memiliki keinginan untuk membunuh RM Rangsang, adik tirinya. Purubaya diminta untuk melaksanakan keinginan Hanyakrawati.
Purubaya dihadapkan pada dilema. Membunuh adik tirinya, RM Rangsang, itu sama halnya mengabaikan perintah sang ayah, Senopati. Tetapi tidak membunuh RM Rangsang? Itu sama juga mengabaikan perintah raja…
Ketika perintah Hanyakrawati disampaikan pada Retno Dumilah, mantan ibu ratu itu juga meminta agar dirinya juga dihabisi. Maka, Purubaya diam-diam meminta agar ibu ratu pulang saja ke Madiun, bersama RM Rangsang diiringi Pangeran Purubaya. Dan Purubaya menyampaikan pada Prabu Hanyakrawati, bahwa ia sudah melaksanakan perintah membunuh RM Rangsang dan mengusir Kanjeng Ratu Retno Dumilah pulang ke Madiun.
Raja Hanyakrawati ternyata lama-lama mendengar, bahwa RM Rangsang tidak dibunuh Purubaya. Maka, dengan amarah Hanyakrawati meminta lagi, agar ke Madiun untuk menghabisi RM Rangsang. Purubaya ke Madiun, diiringi Tumenggung Wiraguna. Dan di tengah jalan, Purubaya pun mengisahkan pesan rahasia Panembahan Senopati tentang RM Rangsang…
Di Madiun, alih-alih membunuh RM Rangsang seperti perintah Hanyakrawati. Purubaya malah memohon agar Rangsang meninggalkan Madiun, terserah mau mengembara ke mana. Purubaya tak mengindahkan perintah Prabu Hanyakrawati, dan tetap memegang pesan dari sang ayahanda, Panembahan Senopati.
Tiga setengah tahun Rangsang mengembara di hutan. Di hutan Katangga, dalam kelelahan Rangsang tidur di bawah pohon beringin putih, yang konon dulu berasal dari kerajaan Segaluh, dan ditanam oleh Prabu Sindula.
Kebetulan Kanjeng Sunan Kalijaga juga tengah mengembara, melihat ada sinar meluncur dan segera diikuti arah ‘wahyu’ itu. Ternyata, wahyu itu turun ke bawah pohon beringin putih. Sunan Kalijaga pun memahami, bahwa yang tidur di bawah beringin putih itu adalah calon raja besar.
Raden Mas Rangsang yang tidur di bawah beringin, terbangun dan terkejut. Ada orang berpakaian serba hitam membangunkannya. Orang tersebut mengaku, dia adalah Sunan Kalijaga dan meminta agar Rangsang berjalan lurus ke arah Barat. Dan jangan berhenti, kalau belum kekuatannya habis. Sunan Kalijaga juga mengatakan, bahwa Rangsang adalah calon raja yang akan menurunkan raja-raja se-Tanah Jawa.
Rangsang berjalan terus lurus ke Barat, dan kecapaian ketika sampai di Gunung Jamurdipa. Ia tergolek di sebuah batu gilang. Dalam cerita, Rangsang dibawa menghadap oleh dua jim untuk “menghadap ke eyang”nya. Eyang Rangsang itu bernama Raden Janaka. Sang Eyang meminta Rangsang agar mengganti namanya jadi Santriadi, dan diminta berguru pada Kiai Pakir di dusun Pakir.

Sultan Agung dan pengikutnya, versi film Sultan Agung garapan Hanung Bramantyo.
(Dokumentasi Film Sultan Agung)
Di Mataram, Prabu Hanyakrawati duduk merenung diri di Mandragini, dan berpikir: “Benar kata Rama almarhum. Kalau dimas Rangsang aku bunuh, itu tidak benar. Berarti aku melalaikan titah Rama. Mengapa aku tak menyadari cacat diriku dan anakku, Pangeran Martapura?”
Dalam sebuah samadi, Prabu Hanyakrawati bertemu kakeknya, Prabu Janaka. Sang eyang bertanya, mengapa ia bersedih hati? Prabu Anyakrawati mengatakan, tanpa saya ucapkan pun, Eyang pasti sudah tahu semuanya…
Menurut Prabu Janaka, Rangsang sebenarnya masih hidup. Ia telah berganti nama, Santriadi. “Kalau engkau berniat memanggilnya, jangan mengirim sembarang orang. Utuslah Ki Patih, dan bawakan kepadanya warangka keris agar ditebak olehnya. Jika jawaban dia bukan menutup rahasiamu? Itu bukanlah adikmu…,”
Singkat kata, ketika utusan bertemu Rangsang dan mengunjukkan sebuah warangka keris dan Rangsang diminta menerangkan apa maksudnya? Santriadi mengatakan, ia bersedia menerangkan apa maksudnya, apabila ia diperbolehkan menjelaskan empat mata kepada Sang Prabu. Santriadi pun dibawa menghadap Hanyakrawati.
Dalam penjelasan empat mata, tiada orang lain, Santriadi menerangkan bahwa maksud warangka keris itu adalah, “Kangmas Prabu berkehendak agar aku menutup rahasia Kangmas. Sebab, Kangmas sebenarnya bukanlah lelaki yang sempurna lagi. Kangmas menderita demikian karena Kangmas berperang melawan Paman Adipati Pragola Pati…,” kata Santriadi alias Rangsang.
Mendengar jawaban Santriadi, Prabu Hanyakrawati pun merangkulnya. “Oh dimas, engkau adikku sejati. Aku minta maaf segala kesalahanku yang amat besar. Bagaimana akalmu, agar tak seorang pun mengerti rahasiaku?”
Santriadi alias Rangsang itu pun meminta, agar “Kang Mbok yang pura-pura hamil, agar membuka penutup perutnya, dan menyebarkan berita bahwa kandungan Kang Mbok Ratu lenyap tiba-tiba. Lalu sayembarakan, siapa yang dapat menemukan bayi itu, akan mendapat hadiah besar…,”
Setelah itu, Raden Mas Rangsang pun meneruskan mengembara dan berguru pada Kiai Gribig. Menunggu sampai turunnya wahyu, atas permintaan sang guru. Dan setelah empat puluh hari bersamadi, tepat pada Selasa Kliwon, tanggal 15 bulan Sapar, wahyu itupun turun.
Kiai Gribig kemudian menyuruh isterinya untuk membuat seribu kue apem, untuk bersyukur atas wahyu yang sudah turun. Kue apem itu pun dibagikan kepada para santri pondok, dan penduduk sekitar. (Upacara ini masih terus dilakukan setiap tahun di desa Jatinom Klaten, disebutnya Ongkowiyu).

Menuju Komplek Pemakaman Raja-raja di Imogiri yang dibangun oleh Sultan Agung.
(Dokumentasi/Istimewa)
Kisah Sultan Agung versi catatan Babad Nitik, diungkapkan dalam bentuk sanepan yang memerlukan interpretasi yang rumit. Selain memakai kiasan-kiasan soal turunnya wahyu, maupun intrik yang dibungkus dalam cerita ghaib? Keseruan suksesi Prabu Adi Hanyakraningrat pada penggantinya tidak menutupi fakta yang ingin diungkap. Bahwa sebenarnya ada sebuah rahasia besar yang disembunyikan dalam peristiwa di akhir kekuasaan Hanyakrawati.
Rangsang, dihadirkan oleh Kiai Gribig ke hadapan Hanyakrawati di Mataram sebagai seolah “anak yang hilang” dari kandungan Ratu Adi istri kedua Hanyakrawati. Rangsang juga sempat diangkat sebagai Adipati Anom Harya Manggala oleh Hanyakrawati, sebagai calon pengganti raja Mataram.
Harya Manggala yang juga Rangsang itu juga sempat “menghilang”, kabur dari kraton ke hutan Bengkung. Dan ketika Hanyakrawati berniat berburu ke Bengkung? Ditulis kisah yang diselimuti sanepan. Penuh simbol, dan perlu diinterpretasi dengan cermat.
Ketika tiba-tiba di tengah perburuan bertemu dengan Harya Manggala yang notabene adalah Rangsang yang dihadirkan Kiai Gribig? Prabu Adi Hanyakrawati tidak lagi menyebut Harya Manggala sebagai “anak yang hilang dari kandungan” permaisurinya. Akan tetapi sebagai adik…
“Kangmas Purubaya, itu adimas Harya Manggala tampak. Dialah yang menjadi penghalangku dalam mengemudikan Mataram. Oh, kangmas. Andaikata dulu Kangmas benar-benar membunuhnya, tentu tak akan terjadi peristiwa ini. Ini semua adalah akibat kelalaian Kangmas, tidak menepati perintah raja…,”
Kata Purubaya: “Hal ini saya lakukan karena saya mengutamakan amanat ayah almarhum..,” kata abang kandung Prabu Hanyakrawati ini. Mendengar jawaban Purubaya ini, Hanyakrawati semakin marah. Diambilnya tombak bertangkai wregu (tangkai palem wregu), Sang Prabu berniat membunuh adiknya, Harya Manggala. Tetapi keburu Pangeran Purubaya dengan cekatan menghunus keris pusaka Kiai Panji. Keris ia tikamkan ke dada sang Prabu Adi Hanyakrawati.
Bersamaan dengan itu, Pangeran Purubaya memberi isyarat kepada abdinya, seekor banteng yang sudah disiapkan untuk dibunuh bersamaan dengan ditusuknya sang prabu. Banteng terkapar, bersamaan dengan terkaparnya sang Prabu ke tanah!
Kemudian Pangeran Purubaya beserta para abdi berteriak, bahwa sang Prabu Adi Hanyakrawati wafat ditanduk banteng hitam, karena memegang tombak bertangkaikan wregu. Banteng pembunuh itu kemudian diusung sebagai bukti, bahwa Prabu Adi Hanyakrawati wafat diseruduk binatang tersebut.
Esok harinya, jenasah Prabu Hanyakrawati dimakamkan di sebelah barat masjid besar Mataram, Kota Gede. Dekat dengan ayahandanya, Panembahan Senopati, Kanjeng Sultan Kajenar. Kemudian, Prabu Adi Hanyakrawati dikenal dengan nama Kanjeng Sinuwun Sedakrapayak karena ia meninggal sewaktu berburu di hutan Bengkung, Krapyak.
Sepeninggal Prabu Hanyakrawati, Sultan Martapura – yang sakit ingatan sempat dilantik jadi raja sehari. Esoknya, diangkat Raden Mas Rangsang sebagai pengganti Martapura. Setelah itu, Sultan Agung memindah kraton Mataram di Kerta (1622), sementara keraton lama di Kota Gede ditempati “raja sehari” Pangeran Martapura, anak Hanyakrawati yang sakit ingatan.
Nah, intrepretasikan sendiri apa makna catatan rahasia Babad Nitik sarta Cebolek ini. Yang pasti, di dalam sejarah versi sejarawan manapun, Sultan Agung raja Mataram yang dikenal juga sebagai sang penakluk ini, adalah putra Prabu Adi Hanyakrawati. Bukan adiknya…*
Bibliografi:
Babad Nitik Sarta Cebolek… (terjemahan, 1980)
Ricklefs, MC “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005)
B Schrieke, “ Indonesian Sociological Studies (1969)
Raffles, Thomas S, “The History of Java” (edisi Indonesia, 2008)
KGP 12October 2, 2019 at 11:53 pm
sungguh rumit kalo dipikir secara nalar tentang suksesi Kerajaan Mataram ini