Getar Warisan Umar Kayam

Bagong Kussudiardjo seniman tari sang ayah sama sekali tidak pernah mewariskan sebilah keris pun pada Butet Kartaredjasa. Bahkan seluk beluk dunia keris pun Butet mengaku tak tahu, meski di rumahnya tersimpan tiga keris pusaka dan sepucuk tombak. Dan meski Butet cucu darah biru Ngayogyakarta Hadiningrat dari garis Gusti Djuminah salah satu kerabat raja, lucunya keris-keris pusakanya malah pakai warangka gayaman dan ladrang Surakarta. Tombak pun Surakarta…
“Ini malah warisan pak Umar Kayam…,” tutur Butet (59), yang ditemui Kerisnews di rumahnya di kawasan Yogyakarta Selatan, Minggu (4/4/2021) siang. Ketiga keris pusaka miliknya kini, berbentuk keris satu pucuk sengkelat luk tiga belas, satu keris lurus tilamupih dan satu keris Dholog luk lima. Sementara satu tombaknya, yang menurut keluarga Umar Kayam pemberian Soedjono Humardani, berdapur atau model Biring Wadon. Sebuah model khas keris yang umumnya dipusakakan.
“Bapak saya (Bagong) tahu, kalau saya tak suka hal-hal seperti itu maka ia tidak mewariskan saya pusaka-pusaka. Justru saya mewarisi pusaka-pusaka Pak Umar Kayam,” tutur Butet. Maka, tidak heran jika keris-keris yang disimpan dan dipelihara Butet itu tidak bersandangan gaya Yogya. Akan tetapi bersandangan Solo, lantaran memang keluarga Umar Kayam asli Solo.
Keris dan tombak pusaka di rumah Butet itu rupanya menyimpan banyak kisah. Setidaknya, menurut Butet, ketika budayawan Umar Kayam meninggal, dan pusaka-pusaka keris dan tombak itu dibawa dari rumah dinas Pak Kayam di Bulak Sumur Yogya ke rumahnya di Jakarta, si pembawa pun “merasakan kejadian tak biasa”. Si pembawa pusaka, isteri sastrawan Bakdi Sumanto mbak Lana pun mengaku jatuh sakit sepulang membawa pusaka-pusaka itu.
Dilabuh saja
Ketika pusaka-pusaka itu dibawa ke keluarga Umar Kayam di Jakarta, cucu-cucu, anak, bahkan juga adik Umar Kayam menolak memelihara pusaka-pusaka nenek moyang itu. Bahkan menurut Bu Yus, isteri Umar Kayam, pusaka-pusaka itu akan “dilabuh” (dilarung, dibuang ke laut) saja…
“Ketika saya dengar keris-keris itu mau dilabuh, saya matur Bu Yus. Lho, keris itu kan benda kebudayaan. Artefak. Membuatnya saja sulit. Kok ming dibuwak (kok hanya dibuang. Jw)… Kalau mewarisi kan tugasnya hanya ngopeni (memelihara), menjamasi saben (bulan) Sura. Aku ini dekat keluarganya Pak Kayam, adik-adiknya juga dekat, artinya keberadaan saya ini terlacak oleh keluarga besar Umar Kayam. Aku juga mengaku muridnya. Pokoknya Pak Kayam itu mentorku dalam hidup ini. Kalau saya diminta merawat, Bu Yus, saya sanggup merawat. Biarkan saya mengurusnya saja….,” kata anak kelima Bagong Kusudiardjo, yang juga kakak kandung mendiang seniman musik Djadhuk Ferianto ini pula.
Bu Yus menanyakan pada anak-anak dan adik-adik Umar Kayam. Rupanya mereka setuju, pusaka-pusaka itu diserahkan saja pada Butet Kartaredjasa. “Nah, ketika diserahkan itu yang mengantar Sita, anak sulung pak Kayam. Saya ketika itu menginap di Santika Jakarta,” tutur Butet.
Sita pun berkata, “Wah Tet, ini memang sudah jalannya kamu yang harus merawat. Ketika bapak menjelang meninggal, dan waktu saya nungguin bapak, aku bermimpi ketemu bapakku pakai jubah putih seperti pemain Saur Sepuh itu. Bapakku mengulurkan pusaka-pusaka itu, tetapi anehnya, nama bapakku bukan Umar Kayam, tetapi namanya Kartaredjasa…,” tutur Butet, menirukan Sita.
“Tenane? (Ah yang bener. Jw)” celetuk Butet.
“Hooh, aku masih ingat,” kata Sita. Oh, ya sudah kalau gitu disimpulkan saja, memang sudah jalannya aku merawat pusaka Pak Kayam, kata Butet. Ya Sudah, pusaka-pusaka itu saya bawa pulang, saya rawat, saya jamasi setiap setahun sekali pada bulan Sura. Padahal, bapakku (Bagong Kussudiardjo) pun tahu, aku nggak suka dengan hal-hal yang seperti ini. Makanya ia tak mewariskan padaku pusaka seperti ini.
“Saya melihatnya, keris-keris ini sebagai benda budaya. Membikinnya saja susah. Kok mau dilabuh? Nanti kalau toh ada yang nemu pusaka-pusaka itu, orangnya pun tak jelas siapa. Padahal pak Kayam orang luhur. Dan ini keris-kerisnya dari eyang-eyangnya Pak Kayam, dari leluhurnya. Tumbaknya malah dari pak Soedjono Humardani. Sayang dilabuh…,”
“Memang sudah jalannya saya harus mengurusnya. Saya murid beliau. Tak hanya soal kebudayaan. Tetapi juga kawruh, termasuk pula kuliner. Pak Kayam jago kuliner. Makanan-makanan western dia tahu. Cara masaknya gimana, bumbunya apa, dia tahu. Bapak (Bagong) juga kuliner. Tetapi tidak detil seperti pak Kayam. Pak Kayam itu tahu data rinci kuliner,”
Cerita soal kedekatan dengan Umar Kayam, Butet mengaku menjadi bagian dari “kelompok kuliner umar kayam” yang biasa menyebut diri sebagai “Grayak Minulya” (perampok makmur).
“Setiap ada restoran baru di Jogja, kami datangi. Lalu Pak Kayam nyandra (mengulas) menu makanannya. Semisal, kata pak Kayam dulu pernah dia mencicipi makanan mediteranean seperti ini dan sebagainya. Bahkan istilah “maknyuss” yang dipakai jago kuliner mendiang Bondan Winarno itu sebenarnya istilah Pak Kayam. Pak Bondan pun mengakui, ia pakai istilah maknyuss pak Kayam ini….
Lalu siapa saja lingkaran “Grayak Minulya” perompak makanan itu? Itu, kata Butet, ya orang-orang yang suka datang ke B12 (rumah dinas Pak Kayam di Bulak Sumur, selama mengajar di Gajah Mada Yogyakarta. Rumah Umar Kayam di Jakarta). Mereka adalah seniman, wartawan, anggota LSM, aktivis sosial, orang pergerakan demokrasi… yang suka singgah di rumah pak Kayam. Mereka seniman-seniman 80-an. Angkatan tua para Grayak Minulya itu misalnya Linus Suryadi (alm), Emha Ainun Najib, Fanani, Saur Hutabarat, “Saya generasi yang belakangan. Saya waktu itu masih kuliah di ASRI,” tutur Butet.
Pak Ageng Bu Ageng
Butet: “Saya mewarisi benda budaya dari Pak Kayam. Tetapi saya tidak tahu keris itu apa. Ternyata pemindahan pusaka ini membuahkan hal yang tak terduga. Seperti kebetulan. Tetapi kok ya tidak kebetulan, tetapi rupanya memang itu sudah jalannya,”
Di dalam setiap tulisan budaya Umar Kayam, ia selalu menyebut dirinya (alter ego) sebagai Pak Ageng. “Lha, isteri saya itu warung makannya (di Tirtodipuran) disebut Warung Bu Ageng. Soalnya cucu saya itu selalu memanggil saya Pak Ageng, dan isteri saya Bu Ageng. Warung saya, Ruly (Rulyani Isfihana, isteri Butet) yang masak. Mosok warung saya dinamai Warung Ruly, atau Warung Isteri Butet? Nanti kalau warungnya laku, itu karena namaku. Sudahlah, pakai nama mu saja. Bu Ageng…,” kata Butet.
Mengapa Bu Ageng pun ada ceritanya. “Pak Ageng itu kan fiksinya Pak Kayam. Lha, Warung istriku Bu Ageng. Saya kalau memanggil kakek saya dulu, Pak Ageng. Kan ada koneksi? Pak Ageng dalam dunia domestik saya, adalah kakek saya Pak Ageng (Raden Bekel Candra Sentono, putra Gusti Djuminah). Sementara tokoh fiksi pak Kayam, itu Pak Ageng. Sekarang saya, riil adalah Pak Ageng. Isteri saya Bu Ageng. Ya sudah jadikan brand saja…,” tukas Butet.
Ternyata merek Bu Ageng pun laku…. Waktu meresmikan Warung Makan Bu Ageng di Tirtodipuran tak jauh dari Prawirotaman, Butet mengundang Bu Yus isteri Umar Kayam. Juga ahli kuliner Bondan Winarno, William. Tidak pula ketinggalan, diundanglah para Grayak Minulya dari Jogja. “Sekarang ini Warung Bu Ageng malah sering menjadi meeting point para grayak. Menteri datang, udah di warung saja. Yang mbayari menteri-menteri, teman-temanku Grayak Minulya didatangkan untuk menghabiskan makanannya….,”
Kejadian misterius
Ceritanya, keris ini sudah beberapa tahun disimpan Butet. Anak Butet paling kecil ketika masih kelas enam SD suatu sore duduk di meja tengah sedang les pelajaran dengan gurunya. Ia girap-girap. Di lukisan di ruangan itu anak Butet melihat ada sosok eyang putri, pakai kebaya. Guru lesnya tidak melihat, anak Butet yang lihat.
Kejadian itu membuat Butet lalu mengundang tiga kawan dari Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal kawan-kawannya sebagai “pemburu hantu”. Butet katakan, ia tidak percaya pada hal-hal ghaib semacam itu. Lalu teman NU itu bertanya, “Apakah di rumah ini ada pusaka?”
Butet katakan, ada, tetapi bukan miliknya. Pusaka keris dan tombak warisan dari Umar Kayam. Teman-teman NU itu rupanya bisa berkomunikasi dengan pusaka-pusaka itu. Dia bilang, ibu-ibu yang menampakkan diri di lukisan itu berasal dari Kediri. Menurut teman-teman NU, ibu itu ingin bertempat tinggal di rumah ini. Lalu ditanya, ingin tinggal di sebelah mana? Kata si ibu, ingin tinggal di pendopo di bagian dalam di tempat yang paling tinggi. “Kalau aku boleh tinggal di sini, aku menjamin seluruh rumah ini akan aku lindungi. Kalau ada mara bahaya, jangan kawatir, aku yang akan melindungi…,” tutur Butet, menirukan komunikasi dengan dunia ghaib yang ditangkap teman-teman NU itu. Dan memang, kata Butet, ia tidak melindungi rumahnya dengan tembok kawat berduri. Orang kalau memang niat mau ambil barang dari rumah Butet, tinggal ambil.
Pernah suatu ketika, ada peristiwa orang yang nggak suka sama Butet, melempar benda ke rumahnya. Membawa pisau di luar rumah. “Saya tidak sempat keluar. Trus dia melempari rumah saya dengan batu, lalu kabur. Waktu itu saya memang suka tampil di televisi, berakting berlagak sebagai SBY segala,” katanya.
Trus suatu ketika, Butet pun bersurat pada “para pemburu hantu” itu, bisa nggak kalau Butet sendiri yang tampil sebagai medianya. Bukan keris medianya? “Mereka tanya, mas Butet berani nggak. Saya bilang…. Berani.,”
Ditungguin tiga teman pemburu hantu itu, Butet berada di halaman tengah rumah, disuruh memusatkan konsentrasi penuh. Lalu kedua kakinya diminta bergerak membentuk gerakan yin dan yang. Melingkar-lingkar. Kalau nanti tubuh dan tangan mau bergerak, diikuti saja. “Nggak sampai semenit melakukan gerakan yin dan yang, tangan saya sudah ingin bergerak. Saya diminta ikuti terus….,”
“Ternyata saya melakukan jurus-jurus kungfu yang tak pernah saya pelajari. Saya jadi kungfu master. Lompat, jengkelit (jumpalitan)… bisa melakukan gerakan yang saya sebelumnya tidak pernah melakukan. Seperti ada kekuatan dari luar. Saya riil mengalaminya. Dalam keadaan sadar. Dan semua adegan itu disyuting, ditonton banyak teman-teman saya di halaman…,”
(Isteri Butet nyeletuk, “saya malah takut nggak bisa balik lagi…,” Ruly takut, Butet kebablasan “kesurupan” dan tidak balik lagi ke dunia nyata. Dalam sebuah percobaan lain menjadi “media roh”, Butet ternyata malah bisa berbahasa Arab. Bisa membaca Surat Anas, kata Ruly. “Dia juga bisa bergerak joget klasik, perempuan, padahal nggak pernah belajar tari klasik perempuan,” ujar Ruly pula).
“Nanti orang komentar, ah, Butet pinter akting, paling itu cuma akting. Makanya, saya minta pada teman-teman NU itu agar yang masuk dalam diri saya itu bisa membuat saya melakukan hal yang tidak pernah bisa saya lakukan…,”
Dari gerakan spontan kungfu, berbahasa Arab, sampai menari klasik. Dan ibu dari Kediri, “penghuni keris dan tombak” itu rupanya masih tetap berdomisili di pendopo tengah rumah Butet, di bagian dalam yang paling tinggi. Sampai sekarang… *
No Responses