Estetika Batik Keraton Cirebon

Estetika Batik Keraton Cirebon
Aneka corak produksi kain batik motif “Taman Telaga Teratai” untuk tiga keraton dan satu peguron di Cirebon. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan. Sementara, keindahan, atau beauty, adalah sifat dari sesuatu yang memberi kita rasa senang bila melihatnya. Keindahan diartikan sebagai keadaan yang enak dipandang, cantik, bagus benar atau elok.

Komarudin Kudiya mengutarakan hal itu saat menjadi pembicara di acara
Bincang Batik “Estetika Batik Keraton Cirebon” dengan sub-tema “Motif Taman Telaga Teratai” yang digelar Yayasan Batik Indonesia (YBI) dan Museum Tekstil Jakarta.

Komarudin Kudiya, Pembicara Utama, dan Rahardi Ramelan, sebagai moderator, di acara Bincang Batik “Estetika Batik Keraton Cirebon” dengan sub-tema “Motif Taman Telaga Teratai” yang digelar Yayasan Batik Indonesia (YBI) dan Museum Tekstil Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

“Kita bersyukur di Jawa Barat itu kita memiliki tiga kategori klasifikasi batik, yang tadi, pedalaman, pesisiran, dan keraton,” kata Komarudin kepada KerisNews.com, Selasa (2/4/2019) pagi, sesaat sebelum acara dimulai.

Batik Keraton, baik di Solo, Yogyakarta, maupun di Cirebon, lanjut Komarudin, pasti ada unsur-unsur pemaknaan simbolik dari artefak-artefak budaya yang ada di dalam keraton itu sendiri. Seperti dari kereta kencana, gapura, bangunan-bangunan, lanskap, termasuk tosan aji, dan sebagainya.

“Biasanya kalau dari keraton itu. Dan selalu akan memunculkan makna simbolik, plus di situ ada ajaran-ajaran. Kalau dari Cirebon itu ajaran dari tarekat, namanya Tarekat Satariyah. Di mana ajaran Tarekat Satariyah itu sangat mempengaruhi munculnya batik-batik keraton yang ada di Cirebon,” terang Komarudin.

Selanjutnya, di acara Bincang Batik itu, dengan mengutip penuturan Pegusten Keraton Kasepuhan XIV PRA H Arief Natadiningrat SE, serta Ratu Arimbi dari Keraton Kanoman, Komarudin mengutarakan bahwa Batik Keraton Cirebon ialah suatu seni kriya yang dibuat dengan cara melukiskan malam pada sebuah kain, dengan corak-corak tertentu, yang dipergunakan oleh kalangan Keraton Pakungwati atau Caruban Nagari, beserta keturunannya sampai dewasa ini yang tersebar di wilayah Cirebon.

Kegiatan membatik ini dilakukan sejak masa pemerintahan Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana yang bergelar Sri Mangana pada tahun 1469 M, yang kemudian dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1479 M. Dan, proses produksi batik keraton di Cirebon itu, sejak dulu telah dipercayakan oleh Sultan untuk dikerjakan masyarakat Desa Trusmi, yang berlangsung hingga kini.

Di Cirebon, Komarudin menuturkan, ada tiga keraton dan satu peguron, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Kacirebonan dan Peguron Kaprabonan. Tiap-tiap keraton dan peguron itu ada beberapa spesifikasi batik yang mewakili. Keraton Kasepuhan memiliki ragam hias “Singa Barong”, Keraton Kanoman memiliki ragam hias “Paksi Naga Liman”, Keraton Kacirebonan memiliki ragam hias “Bintulu”, dan Kaprabonan dengan ragam hias “Dalung”. Walaupun begitu, secara umum, ketiga keraton dan satu peguron itu estetikanya hampir sama.

“Akibat dari, apa namanya, tadi ajaran Tarekat Satariyah itu, jadi nilai-nilai
spiritualitas, kemudian juga ajaran kehidupan, ya bagaimana perilaku sebuah masyarakat Cirebon. Nah, itu ditunjukkan melalui apa, melalui bentuk-bentuk makna simbolis yang dituangkan dalam goresan kain batik,” kata Komarudin.

BACA JUGA  Berapa “Hammer Price” Keris Kiai Adhipramana dan Kiai Prasaja?

Ciri khas Batik Keraton Cirebon, seperti dimaksud Komarudin itu, di antaranya : motif dan tata warna yang sederhana; warna latar kain biasanya coklat muda atau gading dan unsur motifnya berwarna khas babarmas, seperti warna pada batik motif “Singa Barong”, yang mirip kereta aslinya berlapis emas.

Selain itu, juga memiliki ciri bentuk garis-garis yang kecil dan tajam
“mrawit/merawit”; memiliki ragam hias “Wadasan” dan “Megamendung”; tiap unsur ragam hias memiliki makna-makna simbolik; tema motif batik mengambil dari artefak bangunan, kereta kencana, lanskap, dan cerita mitos di lingkungan keraton.

Sementara, batik pesisiran yang di luar keraton, menurut Komarudin, lebih
cenderung ke aspek ekonomi. Dulu, biasanya, pertukaran bisnis melalui
pelabuhan. Nah, para pengrajin batik di Cirebon juga mengerjakan pesanan dari daerah lain, sehingga kekhasan daerahnya sangat kurang. Dan, batik pesisiran ini warnanya lebih kontras, lebih cerah, dan motif cenderung lebih besar-besar dibanding motif batik Keraton Cirebon.

Di acara Bincang Batik yang berlangsung di Museum Tekstil, Jalan KS Tubun Nomor 2-4 Jakarta Barat ini, Komarudin kemudian memperlihatkan motif tanaman Teratai yang menjadi salah satu motif klasik batik di keraton-keraton Cirebon.

Suasana acara Bincang Batik “Estetika Batik Keraton Cirebon” dengan sub-tema “Motif Taman Telaga Teratai” yang digelar Yayasan Batik Indonesia (YBI) dan Museum Tekstil Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Ragam hias tanaman Teratai pada Budaya Keraton-Keraton Cirebon, sudah
dikenal sejak masa pra-Islam dan pada masa Islam. Pada masa Islam, terutama di Cirebon, ragam hias ini ada di naskah-naskah Petarekan, ukiran kayu lama, ukiran batu, busana tari wayang Topeng, busana pengantin, dan nama daerah atau tempat.

Komarudin juga mengutarakan apa itu tanaman Teratai. Teratai (Nymphaea) adalah nama genus untuk tanaman air dari suku Nymphaeaceae atau Water Lily. Bunga Teratai ini kelopaknya teratur dan lancip-lancip. Dan, selama ini masih ada kekeliruan, sebagian orang menyamakan Teratai dengan Seroja atau Lotus. Seroja atau Lotus adalah spesies tumbuhan air tahunan dari genus Nelumbo yang berasal dari India.

Dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama Water Lotus atau Sacred Lotus.
Salah satu batik Keraton Cirebon yang menggunakan bentuk teratai, yang
ditunjukkan Komarudin, yaitu batik motif Taman Teratai.

“Kita melihat bahwa bentuk susunan dari motif “Taman Teratai” itu ada yang tiga, tiga trap, tiga susun, ada yang lima. Dan ini memiliki makna, simbol-simbol yang berbeda,” terang Komarudin.

Pola ragam hias yang disusun tiga lapis, melambangkan bahwa dalam alam
kehidupan terdapat tiga tingkatan. Yaitu, terdiri dari alam Jahut (manusia), alam Malakut (alam nabi), dan alam Lahut (ketuhanan).

Tapi ada juga yang memaknai konsep Triloka, yaitu alam dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama disebut dengan alam Arcapada yaitu alam yang dihuni oleh para dewa. Kelompok kedua alam Madyapada yaitu alam dunia tengah yang dihuni oleh para manusia. Sedang kelompok ketiga alam Sunyaruri yaitu alam bawah yang dihuni oleh para makhluk halus bangsa setan.

BACA JUGA  Keris Pusaka Tempaan Gusti Yudho

Sementara pola ragam hias yang disusun lima lapis, melambangkan bahwa
dalam alam kehidupan terdapat filosofi, yaitu orang Islam yang sempurna harus menjalankan lima rukun Islam (syahadat, sholat, zakat, puasa, dan berhaji).

“Nah, berdasarkan dari… teratai yang sudah ada, kemudian saya memunculkan sebuah bentuk lain, taman teratai yang saya kasih nama itu adalah Taman Telaga Teratai,” kata Komarudin.

Dan, untuk menghasilkan ragam hias batik “Taman Telaga Teratai”, Komarudin harus harus melalui proses yang cukup panjang. Di antaranya mencari bentuk-bentuk barunya, dan juga agar motif itu bisa diterima oleh ketiga keraton. Karena itu, Komarudin juga melibatkan para ahli, tokoh, termasuk budayawan. Kemudian disepakati ada sekitar tujuh belas bentuk ragam hias yang menjadi struktur motif “Taman Telaga Teratai”. Yaitu, bentuk Megamendung, Gedong Samar, Burung Bangau Empat Posisi, Bangunan Jinem, Daun Teratai (beragam Bentuk), Daun Kluwih, Serangga, Kupu-Kupu, Wadasan, Gajah Wadasan, Gapura, Gunungan, Meander, Bintulu, Kuto Kosod, Pandan Wangi, Akar Pandan Wangi, Binatang Ular, dan Binatang Buaya.

“Untuk membuat sebuah ragam hias yang memiliki estetika yang cukup tinggi itu di antaranya […] membuat komposisi-komposisi yang harmonis, terstruktur yang bisa mewakili semua, semua apa? Semua keutuhan, termasuk yang ada di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kacirebonan,” kata Komarudin.

Karena itu, pada tahap akhir, lantas dibuat kurang lebih tiga puluh komposisi ragam hias “Taman Telaga Teratai. Dan, dari sekian komposisi itu, selanjutnya masih ditentukan melalui sebuah proses analisa yang melibatkan para promotor, pemangku budaya, dan Dosen Kriya ITB ahli bidang ragam hias. Dari sini, Komarudin lantas menentukan pilihan pada salah satu ragam hias “Taman Telaga Teratai” yang final.

Foto bersama di acara Bincang Batik Estetika Batik Keraton Cirebon” dengan sub-tema “Motif Taman Telaga Teratai” yang digelar Yayasan Batik Indonesia (YBI) dan Museum Tekstil Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

“Semua motif-motif yang dihadirkan dalam motif Taman Telaga Teratai ini, ini adalah memiliki makna-makna simbol,” ujar Komarudin.

Dari “Taman Telaga Teratai” yang sudah final itu, lantas dibuat simulasi
coraknya. Dan, akhirnya pada bulan Oktober 2015, batik motif “Taman Telaga Teratai” itu dikenakan oleh para Sultan di acara Gotrasawala .

“Gotrasawala ini adalah bentuk pengulangan sebuah kejadian yang dulu di abad ke-17 keraton bisa menghadirkan tokoh-tokoh dunia berkumpul di Cirebon. Menghadirkan, berembuk untuk membuat sebuah, kalau sekarang itu mungkin festival budaya internasional,” kata Komarudin.

Komarudin juga sempat membuat kain batik dengan motif yang berbeda dengan motif “Taman Telaga Teratai”. Ceritanya, saat itu, kebetulan Sultan Sepuh menikahkan putrinya, dan Komarudin diberi kesempatan membuat kain batik yang akan dikenakan di acara pernikahan.

“Kebetulan anaknya Sultan namanya Fatimah, maka saya buat namanya “Telaga Teratai Ratu Raja Fatimah,” ungkap Komarudin.

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.