Menelisik Kembali Keris Dhapur Naga Siluman dan Nagasasara

Kalau dunia nyata saat ini dihebohkan oleh wabah penyakit pandemis yang disebabkan virus Corona, atau dikenal sebagai Covid-19, maka jagad perkerisan juga heboh dan berguncang-guncang oleh kepulangan salah satu keris warisan Pangeran Diponegoro, yang sempat berada di Negeri Kincir Angin selama hampir dua abad.
Adalah Raja Wllem Alexander dan Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda, yang berkunjung ke Indonesia, dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, 10 Maret 2020 silam. Dalam pertemuan bilateral yang bersepakat mempererat tali persahabatan dan peningkatan kerjasama ekonomi itu, Raja Willem Alexander juga meminta maaf atas perilaku kekerasan Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sikap Belanda itu diwujudkan secara simbolis dengan penyerahan keris warisan Diponegoro yang hampir 200 tahun tersimpan di Kabinet Kerajaan Belanda, oleh Raja Belanda itu kepada Presiden RI. Sebuah keris yang indah, gandhik naga ber-luk 11 tinatah emas motif lung kamarogan, yang disebutkan sebagai keris Kanjeng Kiai (KK) Naga Siluman, salah satu ageman Pangeran Diponegoro.

Lalu hal apa yang membuat gaduh? Ternyata, menyangkut bentuk keris itu yang dianggap – oleh masyarakat perkerisan Nusantara – tidak sesuai dengan namanya. Tim verifikasi dari Indonesia yang datang ke Belanda, yang antara lain diwakili oleh sejarawan dari UGM, Prof. Sri Margana, meyakini bahwa keris itu asli Keris KK Naga Siluman warisan Pangeran Diponegoro. Keyakinan itu berdasarkan kesamaan fakta sejarah dalam dokumen tertulis sezaman dengan bentuk fisik bendanya. Menurut kesimpulan tim verifikasi, nama Naga Siluman didasarkan pada bentuk hewan seperti naga siluman Jawa, pada relief binatang pada pola hias tinatah emas di wuwungan gonjo keris tersebut.
Tentu saja, atas alasan itu masyarakat keris terkaget-kaget, karena keris KK Naga Siluman – bertinatah emas lung kamarogan, luk 11 – itu berdhapur Nagasasra. Dalam buku Katalog Pameran Keris Ganan di TMII akhir tahun 2019 silam, dhapur naga seperti keris Nagasasra tapi ber-luk 11 disebut keris Naga Pasung. Kembali ke soal kegaduhan, silang pendapat itu masih sebatas pada dunia media sosial, pun hanya di kalangan perkerisan – atau kalau sedikit melebar menjadi ajang perdebatan di kalangan penggiat budaya. Misalnya saja, Fadli Zon, Ketua Umum SNKI (Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia) melalui cuitannya di twitter, jelas-jelas meragukan keris itu Naga Siluman warisan Diponegoro. Atau yang tidak kalah seru juga, diskusi panjang berhari-hari terjadi di Facebook Warung Kopi Ganjawulung – FB Grup yang beranggotakan komunitas pecinta tosan aji.

Namun lepas dari silang pendapat itu, sebaiknya kita kembali membuka buku-buku referensi lama dan baru tentang keris berdhapur Naga Siluman, dan keris dhapur Nagasasra. Dari sejumlah referensi perkerisan, keris dhapur Naga Siluman, adalah keris dengan gandhik (bagian depan/hidung sor-soran) berbentuk kepala naga tanpa badan dan ekor.

Menurut Bambang Harsrinuksmo dalam bukunya, Ensiklopedi Keris, halaman 308-309, bahwa keris berdhapur naga Siluman ini ciri khasnya adalah selalu tanpa badan dan ekor. Mulutnya menganga dan biasanya diberi sumpalan emas atau batu mulia. Butiran emas atau batu mulia ini dimaksudkan untuk menjinakkan tuah keganasan seekor naga. Ini tentunya untuk yang mempercayainya. Namun Naga Siluman dengan hiasan butir emas atau batu mulia itu memang mempercantik tampilan keris tersebut. Dhapur Naga Siluman ini selalu memiliki ricikan berupa : sraweyan, ri pandan dan greneng. Secara khusus, dhapur Naga Siluman selalu ber-luk 13. Tapi secara umum, ada juga Naga Siluman dengan jumlah luk bervariasi mulai dari lima, hingga tiga belas. Karena itu pula, disebut dalam buku itu, penyebutan keris Naga Siluman sebaiknya selalu disertakan jumlah luknya. Rata-rata, dhapur Naga Siluman memilki gonjo berbentuk kelap lintah. Namun ada juga Naga Siluman yang tidak ber-luk, atau keris lurus atau bener.
Disebutkan oleh Basuki Teguh Yuwono dalam bukunya, Keris Naga, bahwa Naga Siluman atau Naga Seluman, mempunyai ciri utama ber-gandhik naga berleher tapi tanpa badan dan ekor. Menurut dosen ISI Surakarta tersebut, keris naga siluman merupakan hasil perwujudan dari sosok ular, mahkluk gaib, dan manusia. Siluman atau Seluman (dialek Jawa, pen.), adalah mahkuk gaib yang tidak kasat mata, atau niraga (tanpa raga/wujud). Siluman identik dengan kekuatan magis, yakni energi kehidupan yang dipancarkan Tuhan Yang Maha Kuasa yang hanya bisa dirasakan dan ditangkap dengan rasa batin.

Badan naga yang tidak kasat mata di bilahnya bisa dipahami sebagai pesan ajaran, bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, sebaiknya selalu mengendalikan hawa nafsunya.. Pengendalian diri yang sempurna, akan membuat mata batin manusia bersih laksana danau bening, yang akan bisa menangkap dan menelan apapun pesan dari alam semesta, atau Tuhan yang Maha Daya.
Hiasan emas pada Naga Siluman biasanya sangat sederhana. Banyak dijumpai hanya pada mahkota naga, pangkal gandhik, dan kepala cicak gonjo.
Buku Keris Jawa, antara Mistik dan Nalar, karya Haryono Haryoguritno (HHG) tidak membahas panjang lebar soal keris dhapur Naga Siluman. HHG hanya mencoba mengartikan secara harfiah semata, bahwa naga siluman adalah naga gaib yang tidak terlihat badannya, hanya kepala saja.
Jadi jelas, dari ketiga pakar perkerisan itu membuat kesimpulan yang sama, bahwa keris dhapur Naga Siluman adalah keris gandhik naga tanpa badan dan ekor. Bila membuka buku lama, misalnya Serat Centhini Jilid 2 karya Ngabei Ranggasutrasna, maka disebutkan bahwa keris dhapur Naga Seluman adalah keris ber-gandhik naga tanpa badan dan ekor.

Sementara, kebalikan dari kesederhanaan keris dhapur Naga Siluman, adalah kemewahan keris dhapur Nagasasra. Keris ini oleh masyarakat perkerisan yang mengagungkan sisi estetika, dianggap sebagai keris kasta tertinggi. Bentuknya juga ber-gandhik naga, dengan leher, badan, dan ekor sangat nampak. Tubuh naga ber-sisik memenuhi sekujur badannya hingga ekor, yang meliuk mengikuti bentuk luk-nya. Dhapur Nagasasra kebanyakan tinatah emas, dan berluk 13. Bila jumlah luk-nya tidak 13, maka seringkali disebut dhapur Nagasasra dengan embel-embel jumlah luknya.
Karena sering berhias ukiran emas – selalu wedana 11 bermotif lung-lungan – di bilahnya, maka keris Nagasasra kelihatan sangat mewah, gagah, dan berwibawa. Bila pada zaman dulu, hanya dimiliki oleh raja, atau para bangsawan tinggi, atau saudagar kaya. Kini tentu saja, hanya menjadi milik kolektor kelas atas – karena nilai ekonominya yang selangit.
Ciri yang khas dari keris Nagasasra adalah kepala naga berhias mahkota. Ada dua jenis mahkota pada keris Nagasasra. Yang satu berbentuk mahkota topong, mahkota kecil seperti yang dikenakan oleh Adipati Karno dalam versi wayang. Satunya lagi, mahkota berbentuk makutha, seperti yang dikenakan pada Prabu Bathara Kresna. Karena bentuk mahkota Bathara Kresna ini seringkali keris Nagasasra ini disebut keris Nagaraja. Ciri lain, antara lain, ekor naga berbentuk kudhup, dan memiliki greneng bersusun. Ricikannya adalah kruwingan, greneng dan ri pandan.

Dalam bukunya, Ensiklopedi Keris, Bambang Harsrinuksmo menyatakan, bahwa seperti halnya yang dilakukan para pemilik keris naga lainnya, mulut Nagasasra yang menganga biasanya juga disumpal dengan sebutir emas atau batu permata. Kelaziman ini, konon, untuk meredam sifat ganas dan liar dari tuah keris naga tersebut. Bila dalam kondisi darurat, seperti perang, misalnya, sumpalan emas atau batu permata itu dilepas, agar tuahnya kembali memancar – dan menjauhkan pemiliknya dari ancaman jahat di kondisi tak menentu itu.
Menurut Basuki teguh Yuwono dalam bukunya, Keris Naga, makna moncong naga yang menggigit butiran emas atau batu mulia, dapat dihubungkan dengan konsep kekuasaan seorang Raja. Ucapan raja adalah hukum yang berlaku. Makanya ada pepatah : Sabdo pandito ratu tan keno wola-wali. Ucapan seorang pandita dan raja, harus konsisten dan konsekwen – tidak boleh berubah-ubah.
Suatu alasan yang logis bila masyarakat perkerisan menganggap keris dhapur Nagasasra berkasta paling tinggi. Karena, dengan melihat relief dan hiasan emas yang menempel di bilahnya, maka inilah keris termewah. Dalam tingkatan kesempurnaan hiasan emas, maka Nagasasra punya wedana sewelas. Artinya, dari tingkatan jenis wedana (permukaan pada bilah keris yang diberi hiasan emas), maka wedana sewelas adalah yang tertinggi. Ada wedana siji, loro, telu, gangsal, sapta, sanga, dan sewelas.
Dalam buku Keris Jawa, antara Mistik dan Nalar, HHG menjelaskan bahwa wujud hiasan yang sering dijadikan pola adalah bentuk tumbuhan (lung-lungan), hewan/satwa, kaligrafi Arab atau Jawa, atau bentuk manusia seperti patung dan wayang. Nah, lung-lungan biasanya motif lung patra, lung kembang setaman, lung lung anggrek, lung kroton, lung terate/Padma, dan lung kamarogan. Sedangkan, motif hewan adalah binatang-binatang yang mempunyai kelebihan. Seperti gajah, singa, banteng, atau kijang/menjangan. Bentuk motif kijang biasanya dipahatkan pada emas yang ditempelkan di bawang sebungkul. Sedangkan binatang-binatang lain menjadi motif hias emas di wuwungan gonjo. Pola hias hewan ini, selain untuk tujuan estetis, simbolis, spiritual, juga sengkalan (tanda waktu).

Menurut Pangeran Hadiwidjojo (dalam Keris Jawa, antara Mistik dan Nalar, 2006 : 248-249), bentuk relief tinatah gajah-singa pada bagian wuwung gonjo. merupakan sengkalan yang berbunyi Gajah Singa Keris Siji – Gajah (8), Singa (5), Keris (5), Siji (1) – atau tahun 1558 Jawa. Atau dalam Masehi, sama dengan tahun 1636. Ini artinya dibuat pada masa Mataram di bawah Sultan Agung. Pada tahun itu, Mataram menaklukkan Pati di bawah Adipati Pragola II. Singa dimaksudkan sebagai lambang Mataram (Singa nggero), dan gajah sebagai lambang Pati (Gajah nggiwar).
Pertanyaannya kemudian, adakah nama sebuah keris pusaka didasarkan pada relief hias bentuk hewan yang ada pada wuwungan gonjo? Agaknya, hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Namun seperti yang dinyatakan Haryono Haryoguritno, bahwa banyak hal yang membingungkan seputar dhapur keris. Ini, karena terdapat begitu banyak dhapur keris luk dan lurus yang hampir semuanya berbasis bahasa Jawa. Juga, sebagian nama dhapur tak bisa dipahami lagi – apalagi oleh mereka yang tidak paham bahasa Jawa. Dan yang penting, kata HHG, nama-nama dhapur keris itu sebenarnya memiliki arti harafiah masing-masing, tetapi sangat sulit untuk mencari maknanya dalam kalimat yang utuh, ataupun kaitannya dengan bentuk kerisnya. Karena itu, pada halaman 180- 193, pada buku Keris Jawa, antara Mistik dan Nalar, dicantumkan tabel ciri dhapur keris. Alasan HHG, sebagai langkah awal untuk tidak membiarkan kesimpang-siuran atau kesalahan dalam penyebutan nama dan pencirian dhapur, “Tidak seyogyanya dibiarkan begitu saja sebagai warisan abadi.”
Jadi, sebenarnya bila kembali pada pakem yang telah digariskan dan dicatat oleh para cendikiawan tosan aji, dari zaman dulu hingga sekarang, tidak terlalu sulit untuk memastikan dhapur sebilah keris.
————————————————–
Bahan : 1. Buku Ensiklopedi Keris (Bambang Harsrinuskmo).
2. Buku Keris Jawa, antara Mistik dan Nalar (Haryono Haryoguritno)
3. Buku Keris Naga (Basuki Teguh Yuwono)
4. Serat Centhini (Ngabei Ranggasutrasna dkk)
5. Buku Dapur Keris, Bambang Harsrinuksmo dan Lumintu
Pulanglah Dia si Anak Hilang: Kontroversi dari Dekolonialisasi Sebilah Keris Part. 2 – SocialistJune 26, 2020 at 2:52 pm
[…] Riyo S. 2020. “Menelisik Kembali Dhapur Naga Siluman dan Naga Sasra” dari https://kerisnews.com/2020/03/17/menelisik-kembali-keris-dhapur-naga-siluman-dan-nagasasra/ diakses pada tanggal 23 Mei 2020 pukul […]