Lirak-Lirik Kain Lurik

Lurik, saat ini, semakin digemari masyarakat. Tapi sayangnya, masih banyak yang tidak tahu apa itu Lurik. Lurik adalah wastra tenun sederhana yang memiliki ragam hias berupa garis-garis atau kotak-kotak. Sederhana, karena awalnya lurik dibuat dari benang kapas yang dipintal tangan, dan ditenun menggunakan alat tenun gedhog.
“Kalau di Jawa, khususnya di Solo dan Jogja, memang orang mengatakan Lurik. Lurik itu dari kata lorek,” kata Neneng Iskandar, dari Himpunan Wastraprema (HWP), yang menjadi narasumber dan pembicara di acara Bincang-Bincang bertema “Lurik Garis yang Menarik”, Sabtu (23/3/2019) siang, di Sarinah Department Store, Lantai UG, Jalan MH Thamrin Nomor 11, Jakarta Pusat.
Menurut Neneng Iskandar, tenun yang sederhana seperti Lurik ini juga ada di luar Jawa. Seperti di Bali, Lombok, Sumatera, dan Sulawesi, juga bisa ditemukan, tapi dengan penyebutan yang berbeda. Istilah atau penyebutan Lurik memang hanya di Solo dan Jogja. Di Jawa Barat, misalnya, disebut Poleng.
“Sekarang, pada saat ini, yang dibuat itu kebanyakan memakai ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin. Tetapi di Jogja dan Solo masih dibuat dengan gedhogan walaupun benangnya bukan pintal tangan, tapi memakai pintal mesin. Hanya di Tuban saja yang sekarang masih benangnya itu memakai pintal tangan,” terang Neneng Iskandar yang biasa dipanggil Ibu Neneng.

Musik Kulintang dari Mitra Seni Indonesia ikut meramaikan acara Bincang-Bincang bertema “Lurik Garis yang Menarik”, Sabtu (23/3/2019) siang, di Sarinah Department Store, Lantai UG, Jalan MH Thamrin Nomor 11, Jakarta Pusat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Di Tuban, kata Ibu Neneng, para penenun bahkan masih menanam kapas sendiri. Kapasnya memiliki warna coklat dan putih. Dan, warna coklat itu bukan hasil pewarnaan tapi memang warna kapasnya. Dinamai kapas rawa yang hanya bisa ditanam di Tuban.
Ibu Neneng, yang merupakan Ketua Umum HWP ini, juga menjelaskan Lurik dengan ragam hias berupa garis-garis memanjang (vertikal) searah lungsi disebut lajuran. Sementara, ragam hias berupa garis-garis mendatar (horizontal) searah pakan disebut pakan malang. Dan, Lurik yang memiliki ragam hias kotak-kotak disebut cacahan.
“Jadi sebetulnya tenun Lurik ini sudah lama sekali. Bisa terlihat di nama-nama… ada namanya Tuluh Watu. […] Di prasasti di zaman kerajaan Airlangga itu sudah ada nama Tuluh Watu. Itu artinya batu yang berkhasiat,” kata Ibu Neneng.
Di zaman dulu, menurut Ibu Neneng, Lurik dibuat tidak hanya sebagai pelengkap busana. Tetapi juga dipakai di dalam acara-acara ritual. Ragam hias Lurik klasik biasanya memiliki makna filosofis tertentu yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat setempat. Dan, juga sebagai simbol dalam kehidupan bermasyarakat dan lingkungannya.
“Sekarang yang kita pamerkan itu adalah kain-kain lurik yang langka di mana banyak sarat dengan filosofi, tapi kok nggak dibuat lagi sekarang. Yang dibuat sekarang lebih mungkin memenuhi pangsa pasar ya,” ujar Ibu Neneng.
Misalnya, Lurik Pring Sedapur, sangat khas pedesaan yang hubungan kekeluargaannya masih sangat erat antara satu dengan yang lain. Pring Sedapur berarti serumpun bambu. Bambu bertunas dari akar yang sama, hidup berkelompok berdekatan sehingga merupakan satu rumpun yang tak terpatahkan oleh angin kencang.

Para peserta acara Bincang-Bincang bertema “Lurik Garis yang Menarik”, Sabtu (23/3/2019) siang, di Sarinah Department Store, Lantai UG, Jalan MH Thamrin Nomor 11, Jakarta Pusat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Dan, wastra atau kain Lurik, terutama yang klasik, susunan benang yang membentuk garis-garis, kotak-kotak maupun tata warna, ditenun berdasarkan aturan tertentu. Aturan ini dapat digunakan sebagai dasar pemberian nama ragam hias kain Lurik. Contoh, Lurik Telu Pat, memiliki kelompok garis berjumlah tiga buah berselang-seling dengan kelompok garis berjumlah empat.
“Telu Pat, telu papat. Kenapa tiga empat? Tiga empat itu sebetulnya yang menciptakan yang pertama itu adalah Sultan Hamengku Buwono I,” kata Ibu Neneng.
Penjelasannya, telu papat, tiga ditambah empat hasilnya tujuh. Dalam Bahasa Jawa, tujuh itu adalah pitu. Menurut Ibu Neneng, pitu itu pitulungan atau pertolongan, yang berarti selalu menolong sesamanya. Raja yang membuat motif Lurik Telu Pat ini merasa bahwa seorang raja harus dekat dengan rakyat. Jadi hitungannya, kalau tidak tiga empat, satu enam, atau dua lima.
“Sebetulnya sangat, sangat filosofis ya, semua kain tenun Lurik. Dan, tenun Lurik itu tidak hanya dipakai oleh masyarakat biasa, raja pun juga memakai kalau pada saat-saat tertentu,” kata Ibu Neneng.
Sementara, pembicara lain, Afrian Irfani, mengatakan di lingkup Keraton Yogyakarta, seorang abdi dalem wajib memakai Lurik Telu Pat. Bahkan, kalau ada pengunjung umum memakai Lurik Telu Pat maka tidak akan diperbolehkan masuk ke keraton.
“Selain Telu Pat ini, di Jogja juga banyak sekali motif-motif yang klasik. Di Jogja itu ada beberapa prajurit keraton. Di setiap daerah itu ada prajuritnya. Nah, itu mempunyai motifnya sendiri, seperti Jogokaryan, Mantrijero itu punya motif sendiri, dan itu juga Lurik,” kata Afrian atau Rian yang merupakan cucu pendiri Lurik Kurnia, Yogyakarta.
Lingkungan sekitar juga merupakan sumber inspirasi lain dalam penamaan wastra Lurik. Biasanya berupa flora dan fauna (Telo, Mlati Seconthong, Jaran Dawuk, Kunang Sekebon), nama makanan tradisional (Ketan Ireng, Ketak Salak), kejadian alam (Kluwung), nama gending (Gambang Suling, Kinanthi), tokoh dalam pewayangan (Sembodro, Kumbokarno), cerita rakyat (Kleting Kuning). Termasuk benda-benda yang dianggap memiliki makna tertentu, misal Tuluh Watu.

Alat pintal tangan ikut dipamerkan di acara Bincang-Bincang bertema “Lurik Garis yang Menarik”, Sabtu (23/3/2019) siang, di Sarinah Department Store, Lantai UG, Jalan MH Thamrin Nomor 11, Jakarta Pusat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sampai saat ini, perkembangan tenun Lurik cukup menggembirakan. Selain sebagai produk fashion, Lurik juga dibuat dalam bentuk aksesoris. Disebutkan, tantangan selanjutnya yaitu pembuatan tenun Lurik secara tradisional menggunakan alat tenun gedhog atau ATBM, serta kemungkinan pengembangan produk baru yang dapat diserap oleh pasar.
“Hasil dari pada tenun gedhogan dan ATM (Alat Tenun Mesum) itu beda sekali. Bedanya adalah tekstur. Jadi kelihatan sekali bahwa itu adalah memang buatan tangan,” kata Ibu Neneng.
Karena itu, jika memang ingin melestarikan wastra Lurik maka Ibu Neneng menyarankan untuk membeli Lurik yang asli atau yang dibuat secara tradisional. Lurik dari ATM, menurut Ibu Neneng, memang lebih terjangkau bagi banyak kalangan, terutama masyarakat bawah.
“Tetapi kalau untuk yang menengah atas seyogyanya, menurut saya, belilah dengan kualitas yang baik. Jadi, paling tidak mengangkat dan juga tetap melestarikan yang tradisi,” saran Ibu Neneng.
Rian mengakui meski di Lurik Kurnia masih memakai ATBM, tetapi untuk mencari tenaga penenun yang muda, tidaklah mudah. Jadi ada kendala regenerasi. Dari sekitar 30 penenun, rata-rata usianya sudah di atas 60 tahun. Bahkan, ada satu penenun yang berusia 85 tahun.
“Melihat fashion, (Lurik) itu mulai dilirik. Hanya kalau menurut saya, coba diterapkan, kadang-kadang si pembuatnya ini nggak muncul. Kan kalau sudah jadi baju, itu yang muncul kan designer-nya. Padahal sebetulnya harus dimunculkan (nama penenunnya),” kata Ibu Neneng.
Dengan cara seperti itu, kata Ibu Neneng, maka masyarakat akan tahu bahwa ada produk-produk wastra tertentu dari daerah-daerah yang ada di Indonesia. Termasuk bisa diketahui berbagai nama dan kualitas wastra yang ada. Sekaligus sebagai penghargaan terhadap para pembuatnya.
Acara Bincang-Bincang ini digelar dalam rangka Pekan Lurik Indonesia, tanggal 19-31 Maret 2019, yang diselenggarakan oleh Himpunan Wastraprema dan Sarinah, serta didukung oleh Unit Pengelola (UP) Museum Seni, Rumah Wastra, dan Mitra Seni Indonesia.
No Responses