Keris Tangguh Surakarta

Ada penelitian menarik tentang Keris Tangguh Surakarta oleh seorang dosen peneliti Institut Seni Indonesia di Surakarta (ISI Surakarta), Soelistyo Joko Suryono. Penelitian itu dituliskan pada tahun 2009 dalam tesis yang dia ajukan sebagai persyaratan memperoleh gelar Magister Seni pada universitas tersebut.
Soelistyo juga dikenal karena pada 2015 dan 2016 mengeluarkan hasil penelitian bersama timnya, tentang “Peleburan Tradisional Pasir Besi Bengawan Sala dan Pasir Besi Merapi untuk Bahan Baku Besi Keris dan Pamor Keris”. Dan juga “Peleburan Besi Bengawan Sala Desa Tawang Sari dan Pasir Batu Nikel Luwu Sulawesi Selatan untuk Bahan Baku Besi dan Pamor Keris”. Dua penelitian terakhirnya ini dilakukannya selama masing-masing tiga tahun.
Keris Tangguh Surakarta, menurut penelitian Joko Suryono, mempunyai aturan, proporsi maupun gaya yang baku, berbeda dengan keris lainnya. Rumusan serta aturan Keris Surakarta itu menurutnya, tertulis dan dapat dilihat pada Manuskrip Kraton Surakarta bertuliskan aksara Jawa, berjudul “Bab Pandameling Duwung”. Manuskrip, yang belakangan sudah ditransliterasi dalam huruf latin oleh Empu Pauzan Pusposukadgo ini, diterbitkan sekitar awal abad ke-20 semasa pemerintahan Paku Buwana X di Surakarta Hadiningrat.
Pasca Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, kerajaan Mataram terpecah menjadi dua, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahkan menurut sumber lain, dari Gusti Bendara Pangeran Haryo (GPBH) Yudaningrat dari Kasultanan Yogyakarta, Palihan Nagari (Negara dibelah dua sama besar dan sama luasnya) itu juga membagi kebudayaan Mataram menjadi dua melalui perjanjian Jatisari 1755 (menurut Gusti Yudho, hanya dua hari setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani).
Mataram, diwakili Kumpeni (VOC) setelah raja Surakarta PB II yang dalam keadaan sakit berat, menyerahkan kekuasaan kepada kolonial. Sementara, Mangkubumi – saudara tiri lain ibu dengan Paku Buwana II – menjadi Hamengku Buwana I.
“Kanjeng Kiai Ageng Kopek sebagai wahyu ratu, sedangkan tombak Pleret sebagai wahyu senapati,” kata Gusti Yudho. Pada perjanjian Jatisari dua hari setelah Giyanti, raja Surakarta PB III menyerahkan pusaka utama Mataram, KKA Kopek kepada HB I yang juga paman PB III.
“Paku Buwana III mengusulkan agar HB I melanjutkan kostum Mataram sepuh (Senapaten dan Sultan Agung) di Jatisari,” tutur Gusti Yudho pula. Dan tidak hanya kostum saja, akan tetapi juga gaya busana kerisnya. Yogya meneruskan gaya busana keris Mataram. Sementara Surakarta membuat gagrak baru, dengan mengadopsi busana pesisiran yang diperindah. Selain itu, kedua kerajaan bersaudara ini seperti terbelah dua, juga independensi Mataram Surakarta dan Ngayogyakarta secara de facto, berhenti.
Meski PB III tetap menduduki posisi Sultan Surakarta, namun menurut catatan Soelistyo Joko Suryono, kekuasaan politis, ekonomi bahkan juga militer keraton ada di bawah pengawasan Belanda, sehingga pada masa pemerintahannya Surakarta tidak membuat persenjataan tosan aji secara massal. Pemerintahan PB IV setelah itu, juga hanya membentuk prajurit baru Jagasatru yang berjumlah 125 orang bersenjatakan senapan termasuk mayor opsir, tambur dan serulingnya. Prajurit Tamtama Carangan berjumlah 125 orang dengan bersenjatakan piston dan pedang, termasuk satu mayor, opsir dan terompetnya.
Penggunaan keris dan tosan aji, semula berfungsi sebagai senjata, seterusnya berubah hanya dipakai sebagai kelengkapan busana untuk memenuhi simbol-simbol tertentu, menurut catatan Joko Suryono. Melemahnya tosabn aji di Surakarta, kalah dengan senjata api. Sehingga senjata api model Eropa ini masuk juga ke ranah simbolik, dalam tari-tarian sakral seperti Srimpi Sangopati dan Ludira Madu di Kraton Kasunanan. Srimpin Muncar di Mangkunegaran, pecahan Kraton Surakarta setingkat Kadipaten, juga menggunakan pistol sebagai properti tarian Srimpi Muncar, dipakai seorang tokoh sakti yang dinamakan Adanenggar.
Soelistyo Joko Suryono juga menuliskan dalam tesisnya, bahwa seperti diungkapkan dalam catatan seorang dokter Belanda di kraton Yogyakarta, Isaac Groneman (1903), di Surakarta pada masa Groneman itu tidak ada empu di luar kraton, selain empu Kraton. Keris hanya dibuat oleh empu yang diangkat Raja Surakarta, dan dimasukkan ke dalam struktur kepangkatan tertentu.
Empu Kraton Surakarta, diberi gelar Abdi Dalem Penewu Pande, panjak berpangkat Abdi Dalem Mantri Pande, Mrapen berpangkat Bekel Pande. Sedangkan pembantu di bawah itu, diberi pangkat Abdi Dalem Jajar. Karena statusnya di bawah raja, empu Surakarta tidak membuat dhapur baru, melainkan hanya meneruskan dhapur lama. Raja Surakarta biasanya hanya punya 7 orang empu. Selain melayani pembuatan keris atas perintah raja, empu juga dapat menerima pesanan dari masyarakat.

Daftar Para Empu Kraton Surakarta dari tahun ke tahun.
(Dok Soelistyo Joko Suryono)
Seperti juga empu keris di zaman kerajaan terdahulu, para empu Kraton Surakarta juga bekerja di Griya Prapen, dan tidak dapat melakukan di tempat lain.
Di dalam serba pembatasan oleh kolonial, Kerajaan Surakarta sebagai penerus Mataram Kartasura, ternyata bisa membangun dan membentuk sendiri keris Tangguh Surakarta, meski terdampak akibat pergeseran format budaya setelah Perjanjian Giyanti dan Jatisari (1755).
Sunan Paku Buwana III, demikian Joko Suryono, setelah dinobatkan di Surakarta ia membentuk kebudayaan baru agar berbeda dengan saat Mataram Kartasura. Dalam mengawali inovasi dan membuat format baru di perkerisan, PB III menitahkan pada Empu Brajaguna II sehingga menjadi tonggak baru tangguh Surakarta. Garap baru, dan corak baru yang dilahirkan sejak Brajaguna II ini membuat si empu menjadi salah satu empu terbaik, setidaknya setelah kemashuran Empu Supa (Mandrangi) dari Majapahit alias Pangeran Sedayu, serta Supa II alias Supa Anom yang menjadi empu andalan di Mataram Sultan Agung.
Di dalam tesisnya, Soelistyo Joko Suryono juga mengungkapkan rinci secara teknis, ukuran baku dan bentuk bilah Keris Surakarta, yang kesemuanya terangkum dalam Manuskrip Kraton “Bab Pandameling Duwung”. *
No Responses