Melestarikan Pemakaian Kebaya Indonesia

Melestarikan Pemakaian Kebaya Indonesia
Para pembicara dan moderator di acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Acara bertajuk #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, berlangsung Selasa (16/7/2019) lalu, di Auditorium Basement Gedung B, Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta.

Diskusi yang dihadiri berbagai organisasi dan komunitas yang ada di Ibukota ini, dipersembahkan oleh Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (KPBI), dibantu para mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH).

Sebagai narasumber atau pembicara, yaitu Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid, Dosen FPTK UPI, Suciati, Perancang Busana Indonesia, Musa Widyatmodjo, dengan moderator Dosen FIB UI, Woro Mastuti.

“Menurut kami kebaya itu adalah busana asli kita yang perlu kita cintai bersama-sama. Sebagai warisan budaya, kebaya memiliki sejarah, filosofi, keterlibatan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia yang luar biasa besarnya. Kebaya juga menjadi busana yang diterima masyarakat dari Sabang sampai Merauke,” kata Rahmi Hidayati, dari KPBI, saat memberi sambutan.

Suasana acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Suasana acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Dan untuk menjaganya, menurut Rahmi, dengan cara sering memakainya, serta memperkenalkan kebaya kepada generasi muda. Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia secara bersama-sama telah menggaungkan gerakan berkebaya sejak tahun 2014.

Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, menyambut baik gagasan yang digaungkan oleh Komunitas Perempuan Berkebaya. Gerakan yang berbasis busana ini, menurut Hilmar, memiliki dampak yang sangat jauh. Indonesia memiliki banyak tradisi, busana, dan juga wastra. Dengan gerakan Indonesia Berkebaya, diharapakan nantinya akan ada Indonesia Berwastra, dan yang lainnya.

Sementara, Suciati, salah satu pembicara, mengungkapkan ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa kebaya itu berasal dari Cina, dari Arab, dari Persia, dari India, dari Portugis, dan Belanda.

Fashion Show Kebaya oleh Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia di akhir acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Fashion Show Kebaya oleh Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia di akhir acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

“Jadi intinya karena kita orang Indonesia, asli tidak aslinya itu adalah sebagai proses yang akhirnya membentuk ciri khas yang lengkap, gitu,” kata Suciati.

BACA JUGA  Babad: Antara Fiksi dan Fakta

Dan, busana Nasional selain Kebaya, kata Suciati, ada Kemben, Baju Bodo, dan Baju Kurung. Tapi kenapa kemudian kebaya? Menurut Suciati, keempat ciri atau empat jenis busana tadi, ada membentang dari barat sampai ke timur Indonesia. Tetapi di setiap belahan Nusantara bagian barat, bagian tengah, dan timur, kebaya itu ada. Jadi yang lebih popular akhirnya kebaya.

Pembicara lainnya, Musa Widyatmodjo, saat diskusi mengungkapkan bahwa Indonesia sebetulnya adalah budaya berkain. Kita memiliki banyak warisan kain. Dari Sabang sampai Merauke memiliki budaya berkain.

“Kita sudah diwariskan resep berkebaya. Oleh siapa? Oleh leluhur kita. Contohnya, Kebaya Kartini, berpadu dengan  kain panjang. Itu resep budaya. Berpadunya dengan kain panjang, jadi bukan berpadu dengan sarung,” kata Musa.

Kemudian ada Kebaya Noni. Kebaya berenda ini, kata Musa, berpadunya dengan kain sarung. Dinamakan Noni karena tercipta dari pengaruh noni-noni Belanda. Kebaya Noni yang berwarna putih ini, aslinya bukan bordir tapi disambung dengan renda-renda. Sebagai bawahannya adalah kain sarung.

“Kebaya yang nomer tiga, itu adalah Kebaya Nyonya. Atau kita bilang Kebaya Encim. Karakternya selalu dibordir,” jelas Musa yang mempelajari semua bentuk fashion tradisi, adat, dan budaya.

Fashion Show Kebaya oleh Mahasiswi UPH di akhir acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Fashion Show Kebaya oleh Mahasiswi UPH di akhir acara #Indonesia Berkebaya—“Sebuah Ruang Diskusi Untuk Melestarikan Kebaya Indonesia”, Selasa (16/7/2019) lalu, di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Nomor 12, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Kebaya Nyonya atau Encim ini, menurut Musa, dulu biasanya dipakai nyonya-nyonya Tionghoa. Dipakainya dengan dengan kain pagi-sore. Dan, Kebaya Encim ini selalu berwarna karena pengaruh Cina atau Tionghoa.

Kemudian, Kebaya Kutu Baru yang merupakan kebaya klasik Indonesia dan memakainya harus dengan kain panjang. Keempatnya tadi adalah resep-resep berkebaya. Musa mengatakan kita boleh merekayasa resep berkebaya tadi, tapi tidak bisa asal-asalan.

BACA JUGA  Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Ritual

Menurut Musa, kita harus berjuang untuk melestarikan kebaya. Kebaya itu bisa lestari kalau terus dipakai. Dan, orang memakainya karena ada event. Ada alasan. Karena itu, kita itu harus menciptakan eventevent itu. Musa berpesan saat berkebaya harus melihat situasinya, dalam kategori seperti apa.

“Nah, ini tugasnya kita adalah mengedukasi semua pihak. Dari level yang paling atas sampai level yang paling bawah,” kata Musa.

Hilmar Farid, saat ditemui para awak media selesai acara, berharap gerakan Indonesia Berkebaya ini bisa semakin meluas dan berkembang terus.

Karena, selain sebagai sebuah gerakan kebudayaan, gerakan ini juga bisa berdampak ekonomi.

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.