Kearifan Lokal Qadi Banten Abad ke-18 M

Di masa lalu, terutama di kerajaan Islam di Jawa, sudah ada yang mencoba untuk melokalkan nilai-nilai Islam. Di Kesultanan Banten, misalnya, selama tiga abad hanya satu kali ada keterangan hukum potong tangan. Disebutkan, seorang pencuri dipotong tangannya karena mencuri harta perhiasan milik permaisuri Sultan.
Hal itu diungkapkan oleh Ayang Utriza Yakin saat menjadi pembicara di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #9 bertema “Naskah Catatan Pengadilan Qadi Kiyahi Peqih Najamuddin Kesultanan Banten 1778-1780 M”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Jumat (28/12/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta.
Lebih jauh, Ayang Utriza Yakin, yang merupakan doktor dari UCLouvain Belgia ini, mengatakan informasi potong tangan itu berasal dari pelancong utusan Diplomatik Denmark, JP Cortemunde. Tapi, menurut Ayang, harus hati-hati memahami keterangan hukum potong tangan itu, karena yang dicuri adalah harta milik permaisuri. Jadi, layak kalau mendapat hukuman yang berat.
“Tapi lagi-lagi, penerapan potong tangan (terhadap) pencuri bukan untuk bangsawan, bukan untuk yang lain. Hanya ketika menyentuh istri sultan. Hal yang umum dilakukan oleh banyak penguasa saat itu,” kata Ayang, yang juga menginformasikan bahwa di Kesultanan Aceh, hukuman bisa lebih mengerikan.

Ayang Utriza Yakin sebagai pembicara di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #9 bertema “Naskah Catatan Pengadilan Qadi Kiyahi Peqih Najamuddin Kesultanan Banten 1778-1780 M”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Jumat (28/12/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sementara, di Kesultanan Banten, menurut Ayang, lebih banyak menerapkan hukuman denda atau kerja bakti, dan lainnya. Dan masih terkait dengan hukum, di Undang-Undang Banten, yang juga menjadi disertasi Ayang, Qadi lebih mendahulukan hukum adat Jawa ketimbang hukum Islam.
Ayang Utriza Yakin, yang di diskusi ini membahas naskah catatan pengadilan Qadi Kesultanan Banten di abad ke-18, memulai pembicaraan dengan membahas sejarah Banten. Menurut Ayang, secara umum, alur waktu kesultanan Banten bisa dibagi menjadi tiga periode.
Pertama, periode Banten Girang dari 932-1526 (abad 10 sampai 15 M). Ini merupakan periode Hindu-Syiwa. Periodisasi ini berkat kajian arkeologis, sejarah, dan filologis yang dilakukan oleh Claude Guillot, orang Perancis yang ahli tentang Banten.
“Apakah kita tahu Banten Girang sebelum abad ke-10? Tidak tahu. Kita tidak tahu apa-apa mengenai Banten sebelum abad ke-10. Ilmu pengetahuan bicara berdasarkan data dan fakta,” kata Ayang yang studi S2 dan S3-nya di bawah bimbingan Claude Guillot.
Kedua, yaitu periode Kesultanan Banten dari 1527-1813. Di periode ini, Ayang masih memilahnya lagi menjadi dua, yaitu periode ketika Kesultanan Banten ini benar-benar merdeka, yaitu dari 1527 sampai 1682. Jadi, sekitar 150-an tahun Kesultanan Banten ini menjadi kerajaan Islam yang menentukan urusan sosial, politik, dan kebudayaannya sendiri.
“Di antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, Banten ini termasuk kerajaan besar di Nusantara selain kerajaan Islam Aceh atau Kesultanan Aceh,” kata Ayang tentang Kesultanan Banten di abad ke-17 M.
Kemudian, Kesultanan Banten setelah 1682, yaitu ketika diserang oleh VOC. Sejak saat itu, Banten berada di bawah VOC sampai keruntuhan Kesultanan Islam ini di tahun 1813. Dan, konteks pembahasan yang dilakukan Ayang yaitu ketika Banten berada di bawah pengaruh VOC ini.
Dan ketiga, yaitu periode penjajahan, saat dijajah Perancis, Inggris, dan Belanda dari 1813, 1816, 1832 sampai 1945. Pada 1813, Inggris menyerang dan menghancurkan Istana Kaibon. Belanda kemudian menganeksasi Banten ke dalam Hindia-Belanda pada 1816. Dan, Kesultanan Banten baru benar-benar habis ketika Sultan Banten terakhir, Muhammad Syafiyuddin, dibuang ke Surabaya.
“Sekarang mengenai Qadi Banten sendiri. Apa yang kita tahu tentang Qadi Banten. Sedikit sekali yang kita tahu tentang Qadi Banten, bahkan tidak ada… yang serius mengkaji mengenai Qadi Banten. Bukan apa-apa, memang sulit sekali,” ujar Ayang.
Sumber-sumber tentang Qadi ini, menurut Ayang, informasinya masih berupa serpihan-serpihan. Pada awal abad ke-16, menurut Ayang, di Banten dikenal Ki Ali atau Kiai Ali, dikenal juga sebagai Kiai Dukuh. Dan, di dalam Sejarah Banten (SB) dikenal dengan gelar “Pangeran Kasunyatan”.
“Menurut Sejarah Banten, Pangeran Kasunyatan ini adalah anak penguasa Madinah, Syaikh Muhammad Madani Syah. Tentunya harus dibaca kiasan. Apakah betul Kiai Ali ini keturunan Madinah? Sebetulnya pesan pentingnya apa dari sini? Bahwa Banten ingin terhubung dengan pusat keislaman,” kata Ayang.

Reruntuhan Istana Kaibon, Banten, difoto tahun 2007. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Pada 1596, ada kesaksian dari Belanda bahwa di Banten ada Qadi. Kesaksian ini datang dari para pelancong pertama di bawah pimpinan JP Coen. Saat itu Qadi belum ada gelarnya. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa semua Qadi Banten mendapatkan gelar “Kiyahi Peqih Najamuddin”.
Gelar ini, menurut Ayang, merupakan perpaduan antara Jawa dan Arab. Dan gelar pertama diberikan kepada Enthol Kawista pada tahun 1651, setelah Pangeran Jaya Santika menolak posisi sebagai Qadi Agung ini. Pangeran ini kemudian lebih memilih berangkat ke Mekah untuk menjadi santri.
“Kesimpulannya Qadi adalah jabatan pemegang tampuk wewenang hukum, sementara Kiyai Peqih Najamuddin adalah gelar bagi Qadi yang berkuasa. Dan gelar itu masih dipakai sampai Kiyahi Peqih Najamuddin yang terakhir meninggal, yaitu haji Muhammad Adian pada 1855/1856. Berarti ada sekitar dua ratus tahun, ya,” terang Ayang.
Yaitu, dari 1651 sampai 1855 lembaga Qadi ini ada di Banten. Karena berlangsung selama 200 tahun, menurut Ayang, tentunya bukan hanya satu orang saja yang menjadi Qadi. Dan, diperkirakan ada 13 orang, Qadi Agung atau yang menyandang nama Kiyahi Peqih Najamuddin.
Menurut Ayang, hanya Kesultanan Banten dan Aceh yang memiliki lembaga pengadilan Qadi, dan memiliki gelar sendiri. Di Banten Kiyahi Peqih Najamuddin, dan di Aceh namanya Qadi Malikul Adil. Selain itu, seluruh kesultanan di Indonesia tidak ada yang meninggalkan arsip tertulis atau catatan-catatan pengadilan. Terutama dari pra-Islam.
“Nah, baru Kesultanan Bantenlah yang meninggalkan arsip tertulis. Ini luar biasa. Ini adalah sumber hukum yang sangat luar biasa, tidak ternilai harganya. Bukan saja bagi Banten, bagi Indonesia secara umum. Bagi Asia Tenggara bahkan. Tidak ada di Asia Tenggara, ya, Kerajaan Islam yang meninggalkan warisan berharga catatan pengadilan agama seperti ini. Tidak ada,” ujar Ayang.
Dan, naskah Banten yang tertua, kata Ayang, berasal dari abad ke-18. Lantas, bagaimana naskah itu bisa sampai ke tangan kita saat ini. Ayang mempunyai dua tesis tentang hal itu. Pertama, tesis dari Ayang sendiri. Ia menduga naskah-naskah itu berasal dari Snouck Hurgronje (1857-1936).
Ketika Snouck datang ke Jawa, salah satu tugasnya utamanya adalah melakukan penelitian pemberontakan petani Banten 1888. Ia tertarik dengan naskah-naskah dan membangun hubungan yang baik dengan Penguasa Serang, Soetadinata. Ayang menduga Snouck mendapatkan naskah-naskah Kiyahi Peqih Najamuddin dari penguasa Serang ini.

Perdana Menteri (Mangkubumi) dan Qadi pada tahun 1596. (LOdewycksz : 1929: 114). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Tesis kedua, berasal dari informasi di buku “Inventory of the Oriental manuscripts” karya Witkam. Witkam, di bukunya itu, menyebutkan bahwa pemerintah Hindia-Belanda merampas sejumlah 149 naskah dari seorang Syaikh yang dituduh melakukan perbuatan zindiq.
“Nah, diduga naskah-naskah Kiyahi Peqih Najamuddin termasuk yang disita oleh pemerintah Kolonial Belanda. Yang kemudian diserahkan oleh Snouck, Snouck kemudian mengirimkan ke Leiden,” kata Ayang.
Ayang memperkirakan, dari sekitar 200 tahun berlangsungnya lembaga Qadi, ada banyak sekali arsip Qadi Banten ini. Tapi sayangnya, yang sampai ke tangan kita hanya lima naskah. Yang pertama, satu naskah Undang-Undang (UU) Banten (Kode L.Or.5598).
Sedangkan empat naskah asli lainnya, berupa catatan hukum setiap hari yang dilakukan oleh Kiyahi Peqih Najamuddin. Masing-masing dengan kode (Leiden Oriental) L.Or.5625, L.Or.5626, L.Or.5627, dan L.Or.5628. Naskah-naskah asli ini disalin oleh TM Nurdin pada tahun 1924/26 atas suruhan Snouck Hurgronje, dan didaftar dengan kode Cod.7740A-F. Baik naskah asli dan salinan ini disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Keempat naskah itu meliputi periode antara 1151-1263 H atau 1739-1847(?) M. Dan, naskah yang mencakup tahun berkesinambungan, yaitu 1167-1169 H/1754-1756 M, 1188-1194 H/1774-1780 M, dan 1223-1226 H/1809-1811 M.
Naskah asli catatan Qadi Banten ini sekitar 600 halaman, sementara naskah salinannya 2000 halaman lebih. Dan, ada sekitar 5000 kasus. Selain naskah UU Banten, Ayang sudah mengerjakan naskah bertahun 1754-1756 (L.Or.5626), naskah tertua yang berkesinambungan. Dan, saat ini Ayang sedang mengkaji naskah lainnya, yaitu naskah L.Or.5627. Naskah-naskah ini beraksara Arab dan berbahasa Jawa.
“Nah saya kerja dengan dua naskah. Pertama naskah salinan karena lebih jelas lebih bagus. Dan alasan administratif, oleh perpustakaan yang diizinkan adalah selalu naskah salinannya dulu,” kata Ayang.

Foto Naskah asli catatan hokum Kiyahi Peqih Najamuddin, L.Or.5627. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Dari kajian yang dilakukan Ayang, pada tahun 1778 hanya ada tiga bulan, yaitu Syawal ada 26 kasus, Zulkakdah 55 kasus, dan Zulhijjah 47 kasus. Sehingga totalnya ada 128 kasus. Menariknya berlangsung tiap hari, dari Senin sampai Minggu.
“Dari sini saja kita sudah bisa membahas bahwa ternyata lembaga pengadilan dulu itu dua puluh empat jam. […] Saya menggambarkannya Kiyahi Peqih Najamuddin dulu itu, ya seperti halnya Ustad, Kiai, dan Ulama, yang tidak bisa tidak menerima orang ketika datang. Ya udah terima saja, catet,” ujar Ayang.
Pada tahun 1779 ada 565 kasus, dan tiap bulan ada kasus, dari Muharram sampai Zulhijjah. Tiap bulan rata-rata 40-an kasus, dari Ahad sampai Sabtu, dan kasus terbanyak ada di hari Sabtu.
Sementara pada tahun 1780 ada 178 kasus, hanya ada di lima bulan (Muharram, Safar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Tsani). Perbulan rata-rata 40-an kasus, dan terjadi setiap hari dengan rata-rata 30-an.
“Jadi semua kasus ada 871 yang bertanggal dan bertahun. Sisanya, kadang tidak bertanggal, kadang tidah bertahun, kadang satu tanggal untuk beberapa kasus atau sama,” terang Ayang.
Dari jenis kelamin, Ayang mendata kasusnya melibatkan baik lelaki dan perempuan. Tercatat, lelaki 400-an orang, perempuan 250-an orang. Jadi masih lebih banyak lelaki yang terlibat di dalam kasus. Menurut Ayang, di catatan, banyak lelaki yang tidak bertanggungjawab dan istri minta cerai.
“Nah, terus uang. Ini menarik. […] Ternyata uang dalam proses pengadilan, ini melibatkan uang yang begitu banyak. Kenapa, karena hukuman yang paling terbanyak adalah mengenai denda, dan kasus yang terbanyak hutang-piutang,” ujar Ayang.
Dari tahun 1778 sampai 1789 selama 20 bulan, tercatat pada tahun 1778 (1192 H) ada 2.169,5 reyal, 2.000 tali, 300 uang, 0,5 katun. Tahun 1779 (1193 H) ada 12.160 reyal, 7 suku, 131 arta, 15 bara, 4.000 samas, 14 dhuwit, dan 1 suku lebih. Tahun 1780 (1194 H) ada 3.679,5 reyal, 5 tali, dan 6 suku.
“Dulu mata uang kita di Nusantara reyal ya. Reyal itu harus disamakan dengan dolar sekaranglah. Sebelum ada dolar, yang berkuasa di dunia ini, mata uang dunia itu adalah reyal, dari abad 16 sampai abad 18, sampai ditemukan cadangan emas di Meksiko,” kata Ayang.
Reyal di Banten ini, kata Ayang, berasal dari perdagangan internasional. Banten adalah kota terbuka. Negara-negara di Eropa, Asia banyak yang datang ke Banten untuk melakukan perdagangan.

Foto bersama seusai acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #9 bertema “Naskah Catatan Pengadilan Qadi Kiyahi Peqih Najamuddin Kesultanan Banten 1778-1780 M”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Jumat (28/12/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sementara, kalau dilihat dari asal daerah, Ayang mencatat, terdapat 633 kasus yang disebutkan asal daerah. Dan, 261 kasus yang tidak disebutkan asal daerah. Dari 633 itu, ada 253 nama daerah disebutkan. Terdata, Kampung Tengahan 124 kasus, Kampung Bojonegoro 37 kasus, Kemuning 20 kasus, Terate 12 kasus, dan Tanahara 11 kasus.
Dari jenis kasus, dengan bahasa hukum sekarang, ada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum publik. Ada hukum keluarga, seperti nikah, cerai, talak, waris/tirkah, dan nafkah. Kalau memakai bahasa naskah, disebutkan Utang-piutang 600-an kasus, Talak 90-an kasus, Budak 80-an kasus, Kesaksian 40-an kasus, dan lain-lain yaitu sekitar 40-an jenis lebih kasus.
“Kita lihat, nggak ada pembedaan antara hukum material sama formil ya. Pakai konsep hukum sekarang tidak ada. Berarti peradilan dulu ya semuanya dikumpulkan, semuanya,” kata Ayang yang tertarik untuk memperdalam kajian tentang talak.
Talak di Banten disebutkan terjadi karena beberapa hal, seperti talak karena diabaikan, karena madat dan candu, karena berjudi, karena tidak diberi nafkah, talak tanpa alasan, talak Iwadl (khuluk), dan Taklik Talak.
Di naskah, juga ditemukan tindak pidana terhadap perempuan. Dikutipkan dari naskah, yang sudah dialihbahasakan, disebutkan, “Abdinya Ngabehi Jaya Suraga bernama Siku dipidana oleh Bumi sejumlah tiga puluh reyal disebabkan mengurung/menyekap perempuan, pada hari Senin, tanggal 5, bulan Muharam, tahun Wawu 1193 H.”
Kata pidana ini, menurut Ayang, atau konsep pidana bukan berasal dari masa kesultanan peradilan Islam. Tetapi konsep hukum yang berasal dari Hindu-Budha.
“Masih digunakan. Itu artinya apa? Itu artinya Kesultanan Banten ingin mengatakan bahwa konsep hukum Jawa yang katakanlah manusiawi, yang masih menghargai tradisi… Itu diambil. Oh, kalau ada persoalan cukup didenda. Inilah yang disebut kearifan lokal menurut saya,” terang Ayang.
Hal menarik melihat Qadi lebih mengambil hukum adat Jawa, yaitu denda daripada hukum Islam. Bahkan ketika ada kasus perkosaan terhadap perempuan, hukumannya denda dan bukan hukum rajam. Menjadi pertanyaan, mengapa Qadi lebih arif dan bijaksana dalam menentukan hukuman.
“Ulama, Qadi, peradilan dulu lebih melihat, mempertahankan hukum adat agar keselarasan masyarakat terjaga. […] Misalnya hukum pancung, apa yang terjadi. Tentu ada, apa ya, akan terjadi pergolakan-pergolakan dan dianggap suatu hukum yang sangat kejam pada saat itu,” terang Ayang.
No Responses