Dentuman Guntur Kiai Jagur

Suara gelegar meriam Kiai Jagur, selalu membuat ciut nyali para musuh. Inilah meriam yang dirampas Belanda dari Malaka, ketika pelabuhan besar itu diduduki pada awal Abad ke 17. Yang menarik, meriam ini pernah dipercaya bisa menyuburkan kandungan wanita yang mandul.
Udara panas terasa menyengat hingga ke dalam daging pada suatu Hari Minggu siang di awal tahun ini, di halaman Museum Fatahillah, Jakarta. Langit biru sangat cerah. Seperti biasanya, pada hari libur, halaman museum itu selalu didatani para pelancong. Sepeda-sepeda sewaan, berkeliling di antara para pengamen figur-figur tokoh. Ada figur Raden Gatotkaca dalm kostum wayang orang, pejuang kemerdekaan bercat silver mencolok dan beberapa lagi. Tentu saja, mereka butuh kedermawanan para pelancong untuk melemparkan sekeping dua keping lima ratus rupiah.
Tampak pemuda-pemudi cekikak-cekikik berfoto selfi di samping benda bulat panjang hitam yang mendekam di halaman museum itu. Mereka tersenyum bangga, bisa berfoto di samping meriam legendaris abad ke 17 itu. Itulah meriam peninggalan Portugis, yang kemudian dikenal dengan nama Kiai Jagur. Meriam Portugis ini dibawa ke Batavia oleh Belanda sesudah berhasil merebut Malaka, tahun 1641 dari tangan Portugis.
Dalam versi sejarah, meriam Si Jagur dibuat oleh orang Portugis di pabrik senjata “St. Jago de Barra” di Macao, Cina. Diduga, nama Si Jagur diambil dari nama pabrik pembuatnya itu, namun karena dialek bahasa, ucapannya menjadi sedikit meleset menjadi ‘jagur.’ Meriam perunggu seberat 3,5 ton atau 24 pound ini kemudian ditempatkan di Benteng Batavia (Kasteel Batavia) untuk menjaga pelabuhan dan kota Batavia.
Namun setelah Kasteel Batavia dihancurkan oleh Gubernur Jendral Daendels, perwakilan penguasa Perancis yang menjajah Belanda di Eropa, meriam bersuara guntur ini dipindahkan pada tahun 1809 ke Museum Oud Batavia (sekarang Museum Wayang). Kemudian dipindahkan lagi dan ditempatkan di bagian utara Taman Fatahillah, di antara gedung Kantor Pos Jakarta Kota dan Kafe Batavia. Moncong meriam diarahkan ke arah Pasar Ikan, lurus ke arah Jalan Cengkeh, serta membelakangi Balai Kota (Stadhuis). Pada tahun 1960, meriam tersebut dipindahkan lagi ke halaman utara Museum Fatahillah, hingga saat ini.
Meskipun tidak seberat meriam Kiai Jimat yang berbobot enam ton, yang kini berada di situs peninggalan Kesultanan Banten itu, toh mitos tentang Kiai Jagur tak kalah menarik. Kisahnya banyak dikaitkan dengan meriam pusaka Keraton Kesunanan Surakarta, Nyi Setomi, yang hingga kini masih dikeramatkan. Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa : Silang Budaya – Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, meriam Si Jagur pada zaman dulu sering didatangi para wanita-wanita mandul yang menginginkan keturunan.

Penampakan bagian belakang Meriam Si Jagur. (Dok. Istimewa)
Meriam ini dipercaya bisa memberi berkah kesuburan bagi wanita. Dalam bukunya, Lombard menceritakan tentang banyak pengembara dari pelbagai daerah yang menceritakan tentang pemujaan para kaum wanita terhadap meriam itu. Lombard juga mengutip catatan Comte de Beauvoir yang mampir di Jawa pada tahun 1866 tentang wanita-wanita Melayu yang datang minta keturunan kepada Makhluk Halus Meriam.
Keyakinan masyarakat zaman dulu terhadap kekeramatan meriam itu, mungkin, dengan melihat bentuk pangkal meriam. Di pangkalnya, berbentuk kepalan tangan dengan jempol menyelusup dibawah tekukan telunjuk itu adalah lambang hubungan seksual lelaki dan perempuan. Dari simbol yang dianggap “seronok” itulah, mitos tentang meriam pembawa berkah keturunan merebak – hingga keluar wilayah Batavia. Tapi ini kisah zaman dulu, tentu saja. Kalau sekarang, jelas-jelas akan dianggap musrik dan tak masuk akal.

Tampak gagah Meriam Si Jagur. (Dok. Istimewa)
Ada sejumlah versi legenda yang beredar di masyarakat Sunda di Jawa Barat, menyangkut keberadaan Si Jagur ini. Vesi pertama, berhubungan dengan Kerajaan Pajajaran. Syahdan, Raja Pajajaran memiliki seorang puteri yang cantik jelita. Sayangnya, putri rupawan itu mengidap penyakit aneh, yaitu dari selangkangannya keluar sinar menyilaukan. Keanehan ini membuat semua para pangeran atau raja tetangga yang ingin mempersuntingnya, mengurungkan niat.
Melihat masalah ini, Raja lalu membuat sayembara : barangsiapa yang berhasil menyembuhkan putrinya, akan dinikahkannya. Sontak semua orang pandai dan para tabib di seluruh penjuru negeri berbondong-bondong mendaftar diri mengikuti sayembara. Namun, semuanya gagal. Hingga pada suatu hari, datang utusan dari Kompeni Belanda yang menawarkan diri untuk mengobati dan memboyongnya ke Batavia. Baginda raja menyetujui dengan syarat, agar diberi semacam mas kawin berupa tiga pucuk meriam. Utusan VOC itu menyanggupinya, dan selang beberapa waktu kemudian diserahkanlah tiga pucuk meriam tersebut, yang kemudian diberi nama Ki Amuk, Nyai Setomi dan Si Jagur.
Versi kedua, masih di Kerajaan Pajajaran atau Pasundan. Raja Pajajaran bermimpi buruk. Ia mendengar suara gemuruh dari sebuah senjata yang kelihatan sangat dahsyat dan tak dikenal tentaranya. Sang Raja memerintahkan patihnya, Kiai Setomo, untuk mencari senjata ampuh seperti dalam mimpinya itu. Titah dari baginda kali ini dirasa sangat berat bagi Kiai Setomo, sang patih. Sebab ancamannya, apabila dirinya gagal memperoleh senjata seperti yang diimpikan raja, dia akan dihukum mati.
Kiai Setomo dan istrinya, Nyai Setomi, kemudian mencari wangsit dengan cara bersemedi di dalam rumah. Berhari-hari, pasangan suami istri itu mesu diri – menjauhkan diri dari kegiatan sehari-hari – untuk mendapatkan petunjuk dewata. Karena itu pula, untuk sekian lama Sang Patih tidak kelihatan dalam setiap pertemuan yang digelar oleh sang prabu. Tak ada satupun punggawa yang bisa menjawab pertanyaan raja, menyangkut keberadaan patih. Sang Raja kemudian memerintahkan para prajurit menggeledah rumah Kiai Setomo.
Namun Sang Patih dan istrinya tidak ditemukan dalam rumah itu. Seluruh abdi kepatihan juga ikut mencari ke seluruh sudut rumah kepatihan. Hasilnya nihil. Namun ada sesuatu yang menarik perhatian para abdi dalem dan prajurit yang mencarinya. Dua buah benda aneh di dalam kamar Sang Patih dan istrinya. Benda itu berupa dua buah pipa besar. Rupanya, saking setianya Kiai Satomo dan Nyai Setomi kepada raja, mereka merelakan dirinya berubah wujud menjadi dua buah meriam seperti dalam impian Sang Raja.
Cerita berubahnya suami istri menjadi meriam tersiar kemana-mana, hingga terdengar oleh Sultan Agung di Mataram. Sultan Agung memerintahkan agar Raja Pajajaran itu bersedia menyerahkan kedua meriam itu ke Mataram. Karena khawatir akan diserbu Mataram, Raja Pajajaran merelakan kedua meriam itu dibawa pergi ke Mataram. Meriam Nyai Setomi diboyong ke Mataram, dan kini masih tersimpan di tengah Bangsal Witono di kompleks Sitihinggil Keraton Surakarta, dan dianggap sebagai benda keramat yang tak sembarang orang bisa melihatnya.

Prosesi Jamasan Meriam Nyi Satomi. (Dok. Istimewa)
Sedangkan meriam jantan Kiai Setomo menolak dibawa ke Mataram, dan menghilang. Suatu ketika masyarakat Batavia menemukan meriam Kiai Setomo tergeletak di pintu gerbang kota. Mereka sangat terheran-heran dengan bentuk pipa besar itu. Benda besar yang nantinya dikenal sebagai Kiai Jagur atau Sang Harimau, oleh Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen, digunakan sebagai senjata pertahanan kota.
Tentu saja, ini hanya mitos yang bisa dikatakan isapan jempol belaka. Cerita itu fiktif, namun meriamnya memang fakta. Kisah orang yang berubah wujud menjadi meriam, agaknya bisa dikesampingkan. Bisa jadi, Kiai Jagur ini adalah salah satu dari ribuan meriam yang masih tersisa dari sejarah masuknya bangsa Eropa ke Asia. T
Benarkah meriam dibawa oleh orang-orang Eropa? Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa : Silang Budaya – Jaringan Asia, bahwa ketika orang-orang Eropa pertama datang ke kawasan Asia, semua negara Nusantara yang terpenting sudah memiliki senjata berat yang ampuh. Di Malaka, Albuquerque pada tahun 1511 dapat merebut 3.000 buah meriam – 2.000 buah terbuat dari perunggu dan 1000 buah dari besi – yang teknik pembuatannya sangat bagus, tak tertandingi, dan tidak pula oleh Portugal. Jadi Kiai Jagur asli buatan bangsa di Nusantara?
No Responses