Memperingati Hari Pengakuan Keris oleh UNESCO

Tak kenal maka tak sayang. Pepatah itu, sepertinya, cocok untuk menggambarkan kondisi perkerisan di Tanah Air. Meski UNESCO telah mengakui keris Indonesia sebagai “a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”, pada 25 November 2005 lalu, tapi masih ada masyarakat yang kurang mengenalnya.
“Sebenarnya dari situ saja, itu paling sederhana dari situ. Semakin orang tidak kenal, dia nggak akan mencintai,” kata Donny Yonatan dari Paguyuban Jayakarta, di acara “Edukasi Keris dan Tosan Aji” sekaligus Selamatan Memperingati Hari Pengakuan Keris oleh UNESCO, Minggu (25/11/2018) sore lalu, di Griya Oetami, Jalan Raya Condet No 7, Cililitan, Jakarta Timur.
Menurut Donny Yonatan, kita tidak bisa hanya menunggu orang mengenal keris dengan datang ke museum. Apalagi masyarakat di Indonesia masih lebih suka pergi ke mall daripada ke museum. Karena itu, Paguyuban Jayakarta berusaha mengenalkan keris kepada masyarakat, termasuk ke sekolah-sekolah.
“Pokoknya kita yang bergerak untuk mengedukasikan masyarakat tentang keris. Ini keris, benda ini bukan hanya cuma dilihat di mata. Dipegang, dirasa di tangan, rasakan beratnya, ya kan,” lanjut Yonatan tentang perlunya mengamati langsung, termasuk memegang, dan bukan hanya sekadar melihat jika ingin lebih mengenal keris.

Pemotongan tumpeng oleh Dandung Danardono di acara “Edukasi Keris dan Tosan Aji” sekaligus Selamatan Memperingati Hari Pengakuan Keris oleh UNESCO, Minggu (25/11/2018) sore lalu, yang digelar oleh Paguyuban Jayakarta di Griya Oetami, Jalan Raya Condet No 7, Cililitan, Jakarta Timur. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Karena itu, saat mengenalkan atau edukasi tentang keris, menurut Yonatan, masyarakat awam perlu diberi kesempatan untuk memegang keris secara langsung. Diajari cara melolos keris dengan baik. Apa yang perlu diamati. Dan juga, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
“Setelah mereka sudah tahu itu, kita kembalikan ke mereka. Anda mau lanjut untuk ini atau Anda cukup tahu segitu. Kita tetap kasih kebebasan, kita nggak bisa memaksa. Kalau kita memaksa kacau jadinya nanti. Kita di sini edukasi bukan memaksa,” ujar Yonatan.
Dan semua itu, menurut Donny Yonatan, harus melibatkan semua orang yang mengerti tentang keris, dan lantas bersama-sama bergerak mengenalkan keris ke lingkungan terdekat. Seperti ke tetangga, ke lingkungan kantor. Dengan begitu akan semakin banyak orang yang mengenal keris.
Di acara yang digelar oleh Paguyuban Jayakarta dan dihadiri para pecinta keris ini, memang tidak menghadirkan narasumber tertentu sebagai pembicara. Sehingga obrolan terasa cair. Mereka yang hadir bisa mengungkapkan pendapat maupun gagasan masing-masing.
Tapi, dari pembicaraan itu ada beberapa poin yang bisa dicatat, seperti tentang perlunya branding, rumusan atau definisi yang jelas ketika akan mengenalkan keris, aspek ekonomi, kolaborasi semua kalangan, termasuk merangkul para ulama, dan juga tentang hari keris.

Penyerahan tumpeng dari Dandung Danardono ke Donny Yonatan di acara “Edukasi Keris dan Tosan Aji” sekaligus Selamatan Memperingati Hari Pengakuan Keris oleh UNESCO, Minggu (25/11/2018) sore lalu, yang digelar oleh Paguyuban Jayakarta di Griya Oetami, Jalan Raya Condet No 7, Cililitan, Jakarta Timur. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Seperti diketahui, pengakuan UNESCO atas aspek non-bendawi keris, meliputi unsur sejarah, tradisi, fungsi sosial dan politik (kerajaan), seni (teknik tempa), estetika, falsafah, simbol, dan juga mistik. Jadi, memang memiliki ruang lingkup yang cukup luas.
“Ketika sudah punya rumusan yang jelas, […] Semua orang akan berani jadi edukator kalau, misalnya, yang paling gampang ya, nih bukunya, […] Jadi menjadikan orang, siapa pun juga, akan makin berani untuk bisa menularkan itu,” kata Dandung, salah satu peserta acara, yang menekankan perlunya definisi yang jelas ketika mengenalkan keris ke masyarakat awam.
Sementara, Unggul Sudrajat, dari Galeri Omah Nara, melihat gerakan untuk mengkaji keris dari berbagai sisi, termasuk sisi agama, sudah mulai dilakukan oleh berbagai paguyuban dan juga pemerhati keris. Meski masih sporadis dan dengan cara mereka masing-masing.
“Satu hal yang menarik, misalnya, kalau kita sekarang lihat pameran-pameran keris mulai mendatangkan siswa-siswa sekolah. Di hampir beberapa pameran yang sudah muncul. […] Siswa-siswa sekolah diajak, kemudian teman-teman keris pada memperkenalkan keris meskipun secara tingkat dasar,” ujar Unggul.
Unggul juga menginformasikan bahwa tahun 2014 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sudah membuat semacam buku panduan muatan lokal keris bekerjasama dengan pusat kurikulum. Ini bisa diadopsi atau menjadi satu panduan jika akan dilakukan di tiap daerah.
“Nah, ini tinggal kemudian kita perlu sinergikan antara paguyuban, misalnya, dengan dinas pendidikan,” kata Unggul yang ikut memberi masukan dan men-support keris di film Sultan Agung.
Sementara, dari sisi ekonomi, keris memiliki potensi yang cukup menjanjikan. Menurut Unggul, yang pernah melakukan riset pada bulan November 2014 di Sumenep, jumlah uang yang beredar selama satu tahun di tiga kecamatan ada sekitar 10,8 milyar. Dengan catatan, 70% penjualan masih berada di dalam negeri.
Unggul mengungkapkan bahwa dalam konteks industri budaya keris, Sumenep saat ini, menjadi yang terbesar. Di Sumenep ada 652 empu pengrajin. Sementara di Yogyakarta ada 237 empu pengrajin. Daerah lain yang memiliki potensi besar yaitu Sulawesi, diperkirakan ada sekitar 300-an lebih pengrajin. Dan masih ada daerah-daerah lainnya yang juga memiliki potensi besar
“Nah, di konteks ini upaya-upaya untuk memperkenalkan keris menurutku ya, apa namanya, harus mulai kita membuka pasar yang paling luas, pada ceruk milenial. Kenapa? Ya mereka yang akan menggantikan generasi-generasi sebelumnya,” kata Unggul.

Ngobrol santai di acara “Edukasi Keris dan Tosan Aji” sekaligus Selamatan Memperingati Hari Pengakuan Keris oleh UNESCO, Minggu (25/11/2018) sore lalu, yang digelar oleh Paguyuban Jayakarta di Griya Oetami, Jalan Raya Condet No 7, Cililitan, Jakarta Timur. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sedangkan tentang perlunya hari keris, semua yang hadir sepakat bahwa dengan adanya hari keris nasional, paling tidak, bisa menjadi semacam payung hukum ketika daerah-daerah akan mengadakan perayaan yang berkaitan dengan perkerisan.
“Bayangkan kalau kemudian hari keris ada. […] itu kan nanti di tiap daerah tradisi itu akan dimaknai dengan perayaan, dengan upacara, misal kalau di Jawa Tengah ada satu hari khusus memakai pakaian adat. […] Ini kan kemudian akan menghidupkan kembali tradisi keris,” kata Unggul.
Hal yang tidak kalah penting, yaitu perlunya melibatkan para ulama. Sehingga keris tidak lagi dianggap sebagai benda syirik atau musrik. Dan, diungkapkan pula suatau fenomena menarik, yaitu ketika di Youtube mulai muncul ulama yang berkeris, ulama yang senang keris. Terlepas dari latar belakang mereka masing-masing.
“Untuk tujuan kebudayaan, untuk pemajuan kebudayaan kita harus merangkul semua kalangan. Karena kita tidak bisa bertarung sendiri. […] Toh, tujuan kita juga untuk menghidupkan keris, memuliakan para pengrajin, sehingga dunia keris itu hidup,” kata Unggul.
No Responses