Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Ritual

Di Nusantara, nilai-nilai agama dan budaya saling beriringan. Bahkan, studi menunjukkan keduanya tidak bertentangan. Kalau, sekarang ini, agama dan budaya dipertentangkan, maka hal itu tidak ada dalam catatan sejarah atau ahistoris.
Hal itu diungkap saat acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI), dari 5-6 November 2018 ini cukup menarik. Para peneliti, selain menuliskan hasil penelitian dalam bentuk makalah, juga menyajikannya dalam bentuk audio visual atau film.
“Jadi kalau ada penelitian etnografi yang tidak ada foto, tidak ada video, dan film, itu apa ya, kurang afdolah gitu ya. […] Santannya itu kurang, gitu,” kata Adlin Sila, salah satu narasumber seminar.
Penelitian dari para Peneliti Bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan ini bertujuan untuk mengungkap dan memahami nilai-nilai budaya dan agama yang terkandung di dalam tradisi ritual di delapan wilayah. Kedelapan wilayah, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Cirebon, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan Jambi, yang memang termasuk dalam wilayah kerja Balai Litbang Agama Jakarta.
Sedangkan, tradisi ritual yang diteliti yaitu, Ratib Tegak (Ratib Seman) di Kerinci, Seren Taun di Cigugur, Kuningan, Ratib Saman di Kepulauan Riau, Bebaritan di DKI Jakarta, Wuku Taun masyarakat adat Cikondang, Pengalengan, Seren Taun Kasepuhan Cisungsang, Lebak, Sakura Kepaksian Skala Brak di Lampung Barat, dan Melemang di Kabupatan Muara Enim, Sumatera Selatan.
Dan memang, lewat tayangan film, peserta seminar bisa melihat bagaimana ritual-ritual itu berlangsung di tempat asalnya. Tayangan dimulai dengan penjelasan Ketua Tim, Mahmudah Nur, salah satunya tentang alasan pemilihan tempat penelitian. Penelitian sendiri mulai dipersiapkan sekitar pertengahan September sampai Oktober 2018.

Para Peneliti Bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan di acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Ritual pertama yang kemudian ditampilkan lewat tayangan film yaitu Tradisi Sakura pada Kepaksian Skala Brak di Lampung Barat dengan peneliti Helmy Faizi Bahrul Ulumi. Ritual ini, seperti yang dikatakan oleh narator, berlangsung setiap tanggal 1 sampai 7 Syawal, untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri.
“Sakura dalam kebudayaan artinya topeng atau penutup wajah. Sakura terdiri dari dua jenis. Pertama Sakura Bukhak dan kedua Sakura Bethik. Sakura Bukhak yaitu sakura dengan karakter jelek. Bahan dasar topengnya terbuat dari kayu dan memakai perlengkapan dengan tampilan seburuk mungkin. Sedangkan, Sakura Bethik artinya sakura dengan penampilan baik dan perlengkapan yang bagus,” kata si narator di tayangan film.
Pesta atau Tradisi Sakura ini memiliki makna sebagai bentuk kegembiraan masyarakat atas keberhasilan melewati puasa selama satu bulan. Salah satu acara inti dari Pesta Sakura adalah arak-arakan para Sakura mengelilingi pekon (desa) untuk saling sapa, salam kepada kerabat sebagai bentuk permohoman maaf.
“Yang bisa kami tangkap secara nilai budaya, yang paling pokok, menurut saya Sakura itu adalah harga diri. Identitas orang Lampung asli, itu yang paling inti, menurut saya. Kemudian yang kedua baru nilai-nilai yang lainnya mendukung, seperti nilai gotong royong dan lain sebagainya,” kata Helmy saat menjelaskan Tradisi Sakura.
Sementara, nilai agama yang terkandung dalam Tradisi Sakura yang utama adalah nilai silaturahmi dan saling memaafkan. Tujuan diselenggarakannya Sakura yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri adalah agar masyarakat Liwa yang berada di luar daerahnya dapat berkumpul bersama kerabat untuk berisilaturahmi.
Tradisi Sakura ini, menurut Helmy di makalahnya, adalah salah satu bentuk ekspresi budaya orang-orang Saibatin yang berada di Lampung Barat. Awalnya tradisi ini adalah tradisi orang-orang Buay Tumi yang animistk. Kehadiran Islam yang dibawa oleh empat Umpu dari Pagaruyung tidak serta merta menghapus tradisi ini.

Ritual Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang yang ditayangkan saat acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Ritual lainnya, yaitu Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang, Lebak Banten, yang diteliti oleh Ayatullah Humaeni. Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang tinggal di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun. Wilayah di ujung Selatan, Provinsi Banten, Kabupaten Lebak, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Upacara Seren Taun merupakan puncak acara ritus pertanian dan puncak pesta bagi masyarakat Kasepuhan Cisungsang yang rutin dilaksanakan setiap tahun setelah panen padi selesai. Dalam Bahasa Sunda, seren berarti serah, dan taun berarti tahun. Jadi seren taun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya.
“Dalam konteks Masyarakat Kasepuhan Cisungsang Banten, Seren Taun merupakan kegiatan yang mengekspresikan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hasil panen yang telah diberikan di tahun ini, serta berharap di tahun depan hasil yang didapatkan semakin baik dan melimpah,” tulis Humaeni di makalahnya.
Berdasarkan analisa Humaeni terhadap beragam aktivitas dan perlengkapan yang digunakan saat pelaksanaan ritual Seren Taun, terdapat beberapa nilai sosial budaya yang tercermin dalam aktivitasnya. Yaitu, nilai kerukunan dan gotong-royong, solidaritas dan kohesi sosial, pelestarian budaya dan identitas kultural, kekerabatan, pendidikan, nilai kepedulian, dan nilai kesenian dan hiburan.

Ritus Baritan di Kelurahan Pondok Ranggon yang ditayangkan saat acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sementara, nilai-nilai agama yang terkandung dalam ritual Seren Taun, yaitu meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan, meyakini adanya yang Gaib, syukur, sedekah, nilai ibadah dan doa, tolong menolong, dan silaturahmi.
“Silaturahmi adalah salah satu ajaran agama (Islam) yang sangat dianjurkan bagi siapa saja agar solidaritas dan ukhuwah tetap terjaga. Nilai Islami ritual Seren Taun ini nampak pada hadirnya beragam elemen masyarakat Kasepuhan Cisungsang dalam rangka bersilaturahmi dan berinteraksi antar tokoh Kasepuhan dan warganya,” catat Humaeni di makalahnya.
Dan, ritual berikutnya yaitu Ritus Baritan yang diselenggarakan oleh masyarakat Betawi, khususnya, di Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Kata Baritan berasal dari kata Baroqah yang dalam ucapan masyarakat menjadi berkah, yang artinya karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan dalam kehidupan.
Ritus ini oleh masyarakat disebut dalam beberapa nama, antara lain Bebarik, Baritan, Sedekah Bumi, Hajat Bumi, dan Bersih Kampung. Dan, maksud ritus atau upacara Baritan yaitu untuk mengembalikan kepada Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan keberkahan yang telah diberikan kepada seluruh warga Kampung Pondok Ranggon.
“Selain itu memohon pula agar pada tahun yang akan datang semoga diberikan kelancaran, keselamatan, kesuburan, dan rezeki lebih melimpah daripada tahun yang lewat,” tulis Yahya Andi Saputra, peneliti Ritus Baritan, di makalahnya.
Keberkahan yang telah diterima warga diekspresikan dengan aneka bentuk persembahan, di antaranya makanan, minuman, hiburan, dan pembacaan tahlilan. Termasuk menanam empat kepala kerbau yang saat ini telah diganti dengan empat kepala kambing di empat penjuru kampung Pondok Ranggon.
Ritus atau Upacara Baritan dilaksanakan setiap tahun. Dahulu dilaksanakan sesudah panen pada hari raya agung. Masing-masing kampung memiliki waktu pelaksanaan yang berbeda-beda. Di Kampung Pondok Ranggon Ritus Baritan biasanya jatuh pada bulan Haji.

Tradisi Melemang di Muara Enim yang ditayangkan saat acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Nilai-nilai budaya Betawi yang baik dan relevan dengan kondisi masyarakat sekarang, seperti nilai-nilai keterbukaan, kebersamaan, kepatuhan terhadap norma agama, kesopanan atau kesusilaan, kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup, dan sebagainya, sebaiknya diaktualisasikan kembali pada masa sekarang dan masa mendatang,” ujar Andi Saputra di makalahnya, sebagai salah satu rekomendasi.
Tradisi ritual lainnya yang dibahas di seminar yaitu Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Kepur, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan peneliti Zulkarnain Yani. Tradisi Melemang ini hanya dilakukan pada bulan Muharram.
Tradisi adat ini berawal dari upaya masyarakat desa untuk menolak bala berupa bencana banjir yang akan melanda desa. Untuk itu, masyarakat mengadakan sedekah desa dengan membuat lemang yang dilakukan oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Lemang dibuat dari campuran beras ketan dan kelapa parut, dicampur pisang, udang atau bawang dan lantas dilapisi daun pisang. Kemudian dimasukkan ke dalam bambu berukuran seruas bambu. Setelah itu lemang dipanggang di atas api. Lemang ini ada tiga macam, lemang gemuk, lemang manis, dan lemang sempaloh.
“Lemang yang sudah masak kemudian dibawa ke masjid atau mushola atau balai desa. Sebelum lemang tersebut dimakan, bersama-sama terlebih dahulu dilakukan ritual keagamaan yang dipimpin oleh ketua pemangku adat atau imam desa,” kata narator di tayangan film.
Sementara, menurut Zulkarnain, Tradisi Melemang Desa Karang Raja dan Kepur mengandung nilai-nilai budaya dan agama yang baik. Nilai-nilai itu selalu tertanam, diikuti, dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat dengan penuh kesadaran dan keyakinan yang begitu mendalam.

Adlin Sila dan Pudentia sebagai narasumber di acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Nilai-nilai budaya dalam tradisi Melemang, seperti yang dimaksud Zulkarnain, yaitu silaturahmi dan gotong-royong. Sementara, nilai-nilai agama berupa nilai aqidah, ibadah, dan moral.
Adlin Sila, narasumber dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, mengatakan bahwa agama-agama yang datang ke Indonesia itu melalui sarana budaya. Karena itu, mengherankan kalau akhir-akhir ini agama dan budaya, agamawan dan budayawan, dicoba untuk diadu-domba.
Dan, hasil penelitian yang dilakukan oleh para Peneliti Bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan ini, menurut Adlin, hanya mengembalikan hubungan harmonis antara agama dan budaya yang memang sejatinya dari dulu tidak bertentangan sama sekali.
Sedangkan, Pudentia, narasumber lainnya, mengatakan tradisi lisan, dan ritual, sebetulnya sudah hidup dalam masyarakat kita sejak ratusan tahun yang lalu. Jadi bukan barang baru. Dan, mereka yang paham, termasuk para akademisi, tidak berupaya memberitakan hal ini, maka dapat dipahami kalau masyarakat awam akan sangat mudah menghakimi sesuatu tanpa pengetahuan.
“Jadi memang konteks ini tidak bisa dihilangkan, tidak bisa ditanggalkan dari perayaan, dari peristiwa, dari tradisi, dari peragaan, dari tuturan, dari apa pun,” ujar Pudentia yang merupakan Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI).
Pudentia memberi contoh Seren Taun. Ritual ini konteksnya adalah lingkungan agraris, bukan maritim. Jadi semua wacananya nantinya adalah agraris. Bagaimana penghormatan kepada yang dianggap tinggi, yaitu nasi atau beras. Dalam konteks ini, untuk memberi pengajaran, misal, kalau makan jangan berceceran, nasinya tidak boleh dibuang-buang.
“Nah ini kan sebenarnya sistem pedagogik pada masa lalu, ini konteks kan, sistem pedagogik, sistem pengajaran pada masa lalu yang belum ada ruang-ruang kelas. Belum ada ruang ketemu ada guru, ada ustad,” terang Pudentia yang juga menjelaskan bahwa ritual itu sebenarnya simbol.
Karena itu, kata Pudentia, perlu adanya pemahaman terhadap simbol-simbol itu. Misal, sebagai contoh bunga melati, rasa melat saking njero ati, segala sesuatu harus dilakukan dari hati. Maka ada rangkaian melati di mana-mana, di sanggul, dan sebagainya.
Konteks yang lain yaitu masyarakat. Misal, di acara peringatan seribu hari kematian, ada pemotongan kambing. Dagingnya dimasak untuk disajikan kepada orang-orang yang datang. Ini juga, menurut Pudentia, adalah simbol. Masyarakat perlu untuk berkumpul, saling menguatkan.
“Jadi konteks ini, di mana tradisi itu bisa berlangsung sangat memegang peranan. Selain lingkungan tadi, apakah dia agararis, atau dia maritim, atau gunung, misalnya. Tradisi gunung, tradisi sungai. Itu juga ada,” kata Pudentia.

Foto bersama selesai acara Seminar Hasil Penelitian “Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat”, Selasa (6/11/2018) pagi, di Hotel Amaroossa Grande Bekasi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sedangkan konteks ketiga, setelah lingkungan, dan masyarakat, yaitu tradisi itu sendiri. Pengertiannya, ada kode-kode budaya, kode bahasa yang memang melekat pada satu tradisi. Karena itu, kata Pudentia, ada tradisi yang kalau bahasanya sudah tidak ada maka tradisi itu tidak bisa lagi bertahan.
“Sehingga saya selalu mengatakan dan selalu menguatkan, gitu ya, hasil bahwa kalau mau melestarikan bahasa, apakah itu bahasa daerah atau indigenous language, itu harus melestarikan tradisinya duluan. Kalau ada program macem–macem untuk pelestarian bahasa tapi tradisinya tidak diperhatikan, bahasa itu nggak akan hidup. Biar sudah masuk kurikulum sekolah,” kata Pudentia.
Pudentia menegaskan bahwa apa yang ada di dalam budaya tidak bertentangan dengan agama. Atau dengan kata lain, sesuatu yang dianggap tidak cocok atau tidak sesuai dengan aturan agama, pada umumnya juga tidak sesuai untuk budaya.
“Jadi sebenarnya itu sangat-sangat berhubungan, berkaitan. Sesuatu yang dianggap bernilai di dalam sebuah komunitas budaya tertentu, itu juga bernilai untuk menjalankan agamanya, begitu. Dari penelitian yang ada,” terang Pudentia yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan.
No Responses