Memayu Hayuning Bawana

Memayu Hayuning Bawana
Peserta berfoto bersama setelah acara “Sekolah Minggu, Seri Religi Jawa 101” dengan tema “Memayu Hayuning Bawono”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya, Minggu (14/10/2018) siang, di Jalan Pejaten Barat No 16D, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Jika suatu kondisi sudah indah untuk apa diperindah atau dipercantik? Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan di pengantar acara “Sekolah Minggu, Seri Religi Jawa 101” dengan tema “Memayu Hayuning Bawana”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya, Minggu (14/10/2018) siang, di Jalan Pejaten Barat No 16D, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria).

“Memayu Hayuning Bawono”, yang bisa diartikan mempercantik atau memperindah kondisi yang sebetulnya sudah indah, merupakan tema terakhir dari Seri Religi Jawa 101, dengan pembicara Turita Indah Setyani.

“Indah dalam kondisi seperti apa? Kondisi atau sesuatu atau apapun bentuknya dalam kehidupan ini tentang kesemuanya,” terang Dosen Prodi Jawa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), yang biasa dipanggil dengan nama Rita ini.

Menjadi tema terakhir yang dibicarakan, karena Memayu Hayuning Bawana merupakan bagian akhir dari tahapan suatu perjalanan. Sebelumnya, perlu dikenal atau mengetahui Sangkan Paraning Dumadi. Dan selanjutnya, maka Dumadi Paraning Sangkan.

Tahapan lebih lanjut, yaitu tercapai atau mengerti Manunggaling Kawula Lan Gusti. Yaitu, penghambaan manusia kepada Gustinya. Namun, dalam kesadaran atau realitas sebetulnya, menurut Rita, adalah Manunggaling Gusti Kalawan Kawula.

Ketika seseorang sudah mencapai tahapan kesadaran Manunggaling Gusti Kalawan Kawula, maka sampai ke Kasampurnaning Urip. Nah, ketika seseorang sudah sampurna atau Kasumparnaning Urip, maka tinggal melakukan Memayu Hayuning Bawana.

“Namun, kita perlu tahu dulu konsep, sikap atau pandangan sikap hidup manusia Jawa tentang konsepsi manungsa lan Gusti,” kata Rita.

Mengutip dari Serat Wirid Hidayat Jati, Rita menjelaskan konsepsi tentang Manungsa dan Gusti, yang terdiri dari Manungsa dalam tatanan moral, Manungsa dalam tatanan sosial, Manungsa dengan lingkungan alam, Manungsa secara individu atau pribadi.

Turita Indah Setyani sebagai pembicara di acara “Sekolah Minggu, Seri Religi Jawa 101” dengan tema “Memayu Hayuning Bawono”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya, Minggu (14/10/2018) siang, di Jalan Pejaten Barat No 16D, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Turita Indah Setyani sebagai pembicara di acara “Sekolah Minggu, Seri Religi Jawa 101” dengan tema “Memayu Hayuning Bawono”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya, Minggu (14/10/2018) siang, di Jalan Pejaten Barat No 16D, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Selanjutnya, yaitu Gusti dengan Dzat-Nya, Gusti dengan Sifat-Nya, Gusti dengan Asma-Nya, Gusti dengan Af’al-Nya. Istilah yang bukan istilah Jawa ini, kata Rita, karena memang dari Wirid Hidayat Jati yang mendapat pengaruh Islam.

Nah, dari Sangkan Paraning Dumadi yang Dumadi Paraning Sangkan, maka Manungsa dan Gusti, ketika manungsa sudah memahami Gusti dan Gusti sudah dalam Kemanunggalan manungsa itu sendiri, manusia akan Waskhita. Waskhita itulah Manunggaling Gusti Kalawan Kawula.

Manunggaling Gusti Kalawan Kawula ini kemanunggalan dengan apanya kalau menurut sikap dan pandangan manusia jawa? Yaitu Kemanunggalan dengan Dzat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af’al-Nya.

BACA JUGA  Gotong Royong dalam Arsitektur Nusantara

“Di sinilah kita tahu bagaimana Dzat itu mengandung sifat, sementara Sifat menyertai nama, dan nama atau Asma menandai perbuatan, dan Af’al menjadi wahana dari Dzat. Jadi satu kesatuan kemanunggalan dalam kehidupan ini, baik di dalam kehidupan manusia maupun, jelas, alam semesta. Nah, inilah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,” ujar Rita.

Di dalam kehidupan maupun di dalam diri kita, keempat unsur tersebut, yaitu Dzat, Sifat, Asma, dan Af’al, tidak terpisahkan satu sama lain. Rita juga mengutarakan bahwa di dalam Wedhatama dijelaskan adanya empat sembah di Islam, yaitu Syariat, Tarikat, Hakekat, dan Makrifat. Yang di dalam konsepsi Jawa adalah sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa.

Keempat unsur ini terwujud dalam diri manusia. Dan ini merupakan satu kesatuan dalam kehidupan. Menurut Rita, manusia yang sudah memahami atau mencapai Kasampurnaning Urip, pasti sudah memiliki kesadaran Kemanunggalan itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa pun yang dilakukan adalah tentang Kemanunggalan Gusti Kalawan Kawula.

“Nah, Kesadaran Kemanunggalan inilah dari Kasampurnaning Urip manungsa […] Dan kalau sudah sampurna pasti Memayu Hayuning Bawana,” terang Rita.

Di acara yang bersifat diskusi dan sharing ini, kembali dimunculkan pertanyaan mungkinkah kita melakukan itu, Memayu Hayuning Bawana. Bawana itu, kata Rita, adalah dunia yang luas. Apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia dalam konteks kehidupan ini.

Bawana ini terdiri dari Jagat Gedhe atau Ageng dan Jagat Cilik atau Alit. Dan kata Rita, sebelum masuk ke Memayu Hayuning Bawana Ageng, harus dimulai dengan Memayu Hayuning Bawana Alit, yaitu diri kita sendiri. Karena tanpa kita memayu hayuning bawana diri (Jagat Cilik), belum tentu bisa melakukan sesuatu yang lebih besar.

Rita memberi contoh, bagaimana kita menjadi diri kita sendiri dan apa yang memang menjadi peran diri kita. Ibaratnya, “pada karo wayang”, sama dengan wayang. Kalau tokoh Gatutkaca ya berperan sebagai Gatutkaca. Kalaupun perannya merebut yang lain, itu merebut untuk negaranya dan sebagainya.

“Ketika kita sudah manunggal, katakanlah kita sudah paham akan kemanunggalan, kita bisa bertanya apa tugas kita. Bisakah kita memayu hayuning bawana diri? Baru tugas itulah kita laksanakan untuk Memayu Hayuning Bawana (Ageng),” kata Rita.

Suasana acara “Sekolah Minggu, Seri Religi Jawa 101” dengan tema “Memayu Hayuning Bawono”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya, Minggu (14/10/2018) siang, di Jalan Pejaten Barat No 16D, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Suasana acara “Sekolah Minggu, Seri Religi Jawa 101” dengan tema “Memayu Hayuning Bawono”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya, Minggu (14/10/2018) siang, di Jalan Pejaten Barat No 16D, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Karena tidak mungkin, kata Rita, setiap manusia diciptakan tidak dengan misinya. Pasti ada misinya. Dan, sekecil apa pun peran itu, pasti bermanfaat. Bermanfaat untuk sesama, untuk alam itu sendiri. Tapi mesti berawal dari diri masing-masing. Ini yang lebih dulu diajarkan dalam kontes kesadaran tentang “memperindah keindahan dunia”.

BACA JUGA  Wayang Golek Sunda di GOR Bulungan

“Ketika kita tahu ada yang belum bersesuaian, bukan orang yang harus menyesuaikan (dengan) diri kita, bukan semesta yang harus menyesuaikan (dengan) diri kita. Tapi di mana kita berada, kita yang harus menyesuaikan. Itu adalah salah satu kunci Memayu Hayuning Bawana juga,” kata Rita.

Hal lainnya, menurut Rita, Memayu Hayuning Bawana adalah ketika kita sudah bisa menolong diri kita sendiri baru kita bisa menolong yang lain. Itu akan lebih baik.

Memayu Hayuning Bawana adalah bagian dari tugas atau peran kita dalam kehidupan ini. Ketika kita berterima, itulah jalan hidup. Setiap manusia punya “tuhannya masing-masing”, yang menggerakkan dia harus ke mana, atau tidak ke mana-mana. Bermanfaat atau tidak bermanfaat sama sekali.

Memayu Hayuning Bawana diri adalah pokok dari kita bisa melakukan sesuatu lebih besar. Kalau toh tidak bisa yang lebih besar, ya urus diri saja dulu,” kata Rita.

Sementara, menjawab pertanyaan KerisNews.com apakah ritual-ritual seperti Labuhan atau Sedekah Laut—yang beberapa waktu lalu sempat ditentang oleh sekelompok orang karena dianggap syirik, dan yang lainnya ada hubungannya dengan Memayu Hayuning Bawana. Ritual Labuhan, kata Rita, adalah melabuhkan sesuatu. Dan yang dilabuhkan adalah benda-benda yang pasti kita senangi.

“Itukan lagi olah rasa, di situ sebetulnya. Itu sudah rasa yang tertinggi, kan. Membuang atau melepaskan milik kita yang kita sayangi. […] Bagian mengikhlaskan sesuatu yang kita senangi,” terang Rita.

Menurut Rita, masalah hal-hal semacam itu belum dibuka atau tentang pemaknaan. Bagi orang Jawa dan bahkan semua manusia, itu adalah simbol. Kalau ada simbol itu apa maksudnya. Karena hanya dilihat secara jengrenge (apa adanya), tidak tahu maknanya akhirnya hanya sekadar menyampaikan ketidaktahuan dan sesuai dengan pengetahuannya.

Kalau kemudian ada yang beranggapan hal seperti itu (syirik), bagi Rita, tidak apa-apa. Karena itu dalam tataran pengetahuan mereka. Dan orang-orang yang melakukan Labuhan atau Sedekah Laut, dasarnya pengetahuan juga.

Nek wong Jawa pun belum tentu juga memahami itu. Tapi karena nenek moyang, leluhur melakukan itu ya dilakoni. Untuk apa, sampai suatu saat pun juga akan tahu,” kata Rita.

Ritual, kata Rita, pasti memberikan makna sesuatu. Apa pun bentuknya pasti ada maksud di balik itu. Seperti juga dengan mitos yang disampaikan oleh orang tua-orang tua kita.

Orang Jawa mengenal apa yang disebut sebagai ilmu titen. Karena itu, menurut Rita, sebetulanya sifatnya bukan konseptual. Semuanya adalah realitas ketika kita tahu maknanya, dalam konteks kehidupan ini. Dan itu merupakan manfaat untuk kehidupan ini sendiri.

“Dalam konteks itu tadi, memayu Hayuning bawana, itu adalah sebenarnya memayu hayuning bawana diri. Ketika kita sudah memayu hayuning bawana diri sudah tahu, pasti nanti kesemestaan pun tahu. Begitu, kalau mau dibilang Memayu Hayuning Bawana,” ujar Rita.

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.