Ketika Anak Muda Berkreasi dengan Tari Betawi

Di tengah arus globalisasi dan kemudahan akses internet, yang membuat masyarakat bisa mendapatkan segala informasi termasuk mengenal budaya bangsa lain, dan ditengarai membuat generasi sekarang lebih menggemari budaya luar, ternyata masih ada anak-anak muda yang peduli dengan budaya bangsa sendiri.
Hal ini terungkap saat Lokakarya bertema “Tari Kreasi Betawi Masa Kini”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya dan Swargaloka, Sabtu (29/9/2018) siang, lalu di Wulangreh Omah Budaya, Jalan Pejaten Barat No 16 D, Jakarta Selatan (Komplek Griya Patria).
Di acara yang bersifat sharing ini, Bathara Saverigadi Dewandoro, yang menjadi pengisi acara, bercerita pengalaman pribadinya selama berkesenian, terutama di seni tari. Ia juga mengungkapkan pandangannya tentang “Tari Kreasi Betawi Masa Kini” dan pengalamannya mengantarkan siswa-siswi SMA 113, Jakarta, selama tiga tahun berturut-turut lolos ke tingkat Nasional di Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), lewat Tari Kreasi Betawi.
“Tari tradisi yang paling penting sekarang adalah komunikasinya kepada khalayak yang lebih ramai. Bagaimana kamu bisa mempromosikan tari itu menjadi sebuah tarian, nggak hanya lokal atau sekitar sanggarmu aja, tapi menjadi karya internasional,” ujar Bathara, menirukan pesan orang tuanya, kepada para peserta lokakarya.

Bathara Saverigadi Dewandoro sebagai pembicara di Lokakarya “Tari Kreasi Betawi Masa Kini”, yang digelar oleh Wulangreh Omah Budaya dan Swargaloka, Sabtu (29/9/2018) siang, lalu di Wulangreh Omah Budaya, Jalan Pejaten Barat No 16 D, Jakarta Selatan (Komplek Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Bathara, pemuda kelahiran Bantul, 1997, memang dilahirkan dari keluarga pecinta seni. Ayah dan Ibunya, Suryandoro dan Dewi Sulastri, adalah lulusan ISI Yogyakarta, dan pendiri Swargaloka Art. Bahkan, sejak kecil, saat di Yogyakarta, Bathara telah menjadikan garasi rumah sebagai panggung pertunjukan. Dan, ia sendiri dibesarkan dengan dasar tari Surakarta dan Jawa Timur.
“Kamu belajar tradisi di sini bareng-bareng langsung saja sama senimannya. Kalau mau belajar tradisi carilah ilmu yang lain, supaya seni tradisi ini semakin hidup,” kata Bathara, masih menirukan pesan orang tuanya. Karena itu, ia kemudian kuliah di Londons School of Public Relation, Jurusan Performing Art. Dan saat ini berada di semester tujuh.
Bathara dalam penjelasannya tentang “Tari Kreasi Betawi Masa Kini” membedakan antara Tari Kreasi dengan Tari Kontemporer. Menurut Bathara, Tari Kreasi adalah kreativitas mengembangkan unsur tari tradisi ke dalam bentuk yang bisa dibilang baru. Dengan tetap bau–bau tradisinya masih kental.
Jadi, kalau ada Tari Kreasi Betawi atau Tari Kreasi Sumatra Barat, maka penonton masih bisa tahu bahwa itu dari Betawi, atau dari Sumatra Barat. Hal ini berbeda dengan Tari Kontemporer.

Chikal Mutiara dan Denta Sepdwiansyah, peraih medali emas (Juara I) Tari Berpasangan Tingkat Nasional di FLS2N, Tahun 2016, saat sharing pengalaman di Lokakarya “Tari Kreasi Betawi Masa Kini”, Sabtu (29/9/2018) siang, lalu di Wulangreh Omah Budaya, Jalan Pejaten Barat No 16 D, Jakarta Selatan (Komplek Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Tari Kontemporer akan lebih, apa ya, menghilangkan, atau lebih bebas, ya. Tanpa batas. Jadi batas-batas tradisinya itu dilanggar menjadi bentuk baru. Menjadi bentuk-bentuk baru meskipun dasarnya adalah dari tradisi Banyuwangi, misalkan,” terang Bathara yang mulai mencoba menggarap tari Betawi di tahun 2016.
Tari Betawi sendiri, kata Bathara, ada tari yang berdasar Topeng, dasar Cokek, dasar Samrah dan masih ada lagi lainnya. Dan, Bathara mengembangkan Tari Kreasi Betawi berdasar Tari Topeng.
Dan, yang dikreasikan Bathara lebih kepada gerak-gerak tradisi atau pakem, ide kreatif, dan konsep garapan. Jadi pola lantai atau posisi penari, dan musik dikreasikan untuk mencari pembaharuan.
“Kalau saya pribadi itu mengembangnya dari Tari Topeng tunggalnya. Jadi biasanya ada pembukaannya itu, tiga kedok. Dia menggunakan kedok, topeng. Nah, itu saya mengembangkan dari kedok itu, dari si penari topeng tunggal,” kata Bathara kepada KerisNews.com.
Sementara, untuk tarian yang mengantarkan para siswa SMA 113, Jakarta, di ajang FLS2N sehingga meraih medali emas di tahun 2016, 2017, dan 12 Besar Nasional di 2018, Bathara membuat koreografi tari berpasangan. Tari berpasangan ini, menurut Bathara, mengedepankan interaksi dan kemistri dalam menyampaikan sebuah pesan.

Ni’matul Winanne dan Shevi Rafsanzhani, 12 Besar Tari Berpasangan Tingkat Nasional di FLS2N, Tahun 2018, saat sharing pengalaman di Lokakarya “Tari Kreasi Betawi Masa Kini”, Sabtu (29/9/2018) siang, lalu di Wulangreh Omah Budaya, Jalan Pejaten Barat No 16 D, Jakarta Selatan (Komplek Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Jadi kalau saya pribadi melihat tari berpasangan kemistrinya nggak dapat menurut saya itu bukan tari berpasangan. Kalau mungkin gini, kalau tari berpasangan tidak ada interaksi antara keduanya, hanya nari bareng, geraknya sama terus mereka nari bareng, menurut saya itu bukan tari berpasangan,” ujar Bathara.
Sementara bicara tentang tubuh dan properti, yaitu dua elemen yang dapat memperkuat sebuah karya, Bathara berpendapat properti harus bisa mendukung gerak , harus bisa memunculkan karakter gerak. Kalau justru membuat karakter gerak hilang, maka properti bisa dihilangkan. Jadi yang harus dikedepankan, menurut Bathara, adalah tari.
“Tubuh yang berbicara, tubuh yang berkomunikasi kepada penontonnya,” jelas Bathara. Dan, kalau melihat, di rekaman video, properti yang dipakai ketiga pasangan penari yang lolos lomba tingkat nasional, terlihat cukup sederhana, seperti topeng, caping, dan selendang.
Bathara mengakui tarian hasil koreografinya menjadi lebih rumit, karena banyak gerak-gerak baru yang ditawarkan. Bahkan bisa dikata tingkat kesulitannya menjadi lebih tinggi, sebab yang dikejar adalah gerak dan rasa.

Para peserta lokakarya berlatih menari bersama Bathara Saverigadi Dewandoro di Lokakarya “Tari Kreasi Betawi Masa Kini”, Sabtu (29/9/2018) siang, lalu di Wulangreh Omah Budaya, Jalan Pejaten Barat No 16 D, Jakarta Selatan (Komplek Griya Patria). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Secara visual lebih menarik, tapi kalau untuk dipelajari mereka bener–bener harus dari basic yang kuat. Jadi visualnya kita coba mengarah kepada tari-tari gaya modern yang sudah ada, seperti dari Royal Family, dari grup The Labs, dari grup-grup tari hip–hoplah, gitu. Mencoba saya masukkan unsur-unsur pola lantai di sana. jadi mungkin akan terlihatnya lebih moving, lebih dinamis, gitu,” terang Bathara.
Dan, Chikal Mutiara dan Denta Sepdwiansyah, peraih medali emas FLS2N tari berpasangan tingkat Nasional Tahun 2016, saat sharing pengalaman mengakui butuh perjuangan untuk bisa masuk ke tingkat Nasional.
“Pokoknya nggak ada berhentinya kita tiap hari latihan hingga meninggalkan pelajaran di sekolah. Tapi sekolah juga mendukung kita, untungnya. Jadi saling mendukung,” cerita Denta, yang sekarang kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sementara, Chikal, yang telah menjadi mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), merasa beruntung karena memiliki dasar tari Jawa, terutama Jawa Tengah. Ia bisa belajar kesabaran, keseimbangan, kekuatan dan banyak gerakan yang bisa diolah untuk gerak tarian yang lain.
“Seharusnya dari mulai diri sendiri pun harus sadar, kita benar-benar harus, apa, mengetahui kebudayaan diri sendiri dulu, mempelajari lebih dalamlah. Intinya tahu dulu baru ke yang lain, boleh,” kata Chikal saat ditanya apakah anak-anak sekarang perlu mempelajari kesenian tradisional.
No Responses