Sanghyang Batara Rudra

Banyak orang yang tidak tahu tokoh wayang bernama Kala Rudra. Jangankan masyarakat umum, barangkali, di kalangan penggemar wayang sendiri, hanya sedikit yang mengenal tokoh sesembahan para raksasa ini. Tapi Rudra dalam wayang, beda dengan Rudra yang dikenal masyarakat Bali.
Perhatikan ketika dalang wayang kulit sedang melakonkan seorang tokoh raksasa. Maka, selalu, dalam setiap awal ucapannya, raksasa atau raja denawa akan berujar : “ “Hyang Kala Rudra, mas patik raja dewaku.”
Jadi kenapa setiap sang raja denawa selalu mengucapkan kalimat puja atau mantra kepada Sanghyang Rudra? Kenapa tidak mengucapkan puja perlindungan kepada Hyang Nurrasa – pucuknya para dewa? Siapa Rudra? Sanghyang Rudra (juga Rodra), atau Bathara Ludra, atau Hyang Lodra, adalah salah satu dewa dengan posisi tinggi lapis ke tiga dalam organisasi para dewa. Dia adalah saudara satu ayah dengan Ki Semar Badranaya – yang dalam posisi dewa adalah Sanghyang Ismaya. Keduanya sama-sama putra Sanghyang Tunggal.
Perkawinan Sanghyang Tunggal dengan Dewi Darmani, melahirkan tiga putra. Yang sulung, Sanghyang Kala Rudra, ke dua Dewi Darmastuti, ke tiga Dewi Dewanjali. Sedangkan perkawinannya dengan Dewi Wiranti, berputra tiga orang : Sanghyang Antaga (Togog), Sanghyang Ismaya (Ki Semar Badranaya), dan Sanghyang Manikmaya alias Batara Guru. Jadi Sanghyang Rudra juga saudara seayah dengan penguasa Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru.

Wayang kulit tokoh Sang Hyang Rodra. (Dok. Istimewa)
Rudra mendapat predikat dewaning angkara murka, karena sifatnya yang kaku, keras kepala, mudah marah serta selalu ingin kuasa dan menang sendiri. Karena selalu merasa ingin lebih ketimbang para dewa lainnya, Rudra mencari dukungan ke mayapada. Kalau kepada para satria, jelas dia tidak akan mendapat pengikut. Maka larilah Lodra ke para denawa yang berwatak serakah dan rakus. Rudra akan bersemayam dalam jiwa-jiwa serakah para raksasa.
Kalau bagi penduduk mercapada, jelas Kala Lodra adalah biangnya kejahatan. Tapi bagi para raksasa, Lodra adalah dewanya kebaikan. Kepada para denawa dan para mahkluk bumi yang menyembahnya, dia akan membagikan kesaktian, atau senjata ampuh, kekuasaan dan harta yang melimpah.
Untuk menebarkan kekuasaannya itu, Sanghyang Rudra juga akan ngejawantah (menjelma) menjadi raksasa. Dalam wujud asyura, dia mengawini para raksesi di mayapada. Keturunannya rata-rata sakti madraguna, dan penebar keangkara murkaan tanpa tanding.
Dalam langkah mengikuti hawa nafsu jahatnya, selain ngejawantah, Rudra juga memakai jalan manitis (melekatkan wataknya) kepada beberapa raja – baik di kalangan raksasa maupun satria. Pada zaman Ramayana, dia manitis pada raja buto Prabu Hiranyakasipu. Juga manitis pada raja Alengka, Prabu Rahwanaraja, yang kesaktiannya tak terkalahkan – hingga akhirnya ditundukkan dengan gabungan kekuatan Rama (titisan Dewa Wisnu) dan Anoman (titisan Dewa Bayu).
Pada zaman Mahabharata, Rudra manitis lagi ke salah satunya kepada Prabu Salya, raja dari Kerajaan Mandaraka. Prabu Salya yang zaman mudanya bernama Raden Narasoma, adalah satria sakti mandraguna. Hanya sayangnya, dia suka pamer dan gila kedigdayaan. Hampir tak ada satria dan raja, yang mampu menandingi kesaktiannya. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang pertapa berwujud raksasa : Resi Bagaspati. Narasoma takluk, karena sang pertapa memiliki panah sakti Rudrarosastra. Keampuhan pusaka jemparing ini, bila dilepaskan dari busurnya, akan berbelah raga menjadi dua, empat, delapan hingga milyaran raksasa berbagai wujud, dan mengejar musuh-musuhnya.
Narasoma kemudian dijodohkan dengan putri Bagaspati yang berparas cantik, yaitu Dewi Pujawati, alias Dewi Setyawati. Satria Mandaraka itu juga mendapat warisan panah sakti Kiai Rudrarosastra.

Figur Wayang Kulit narasoma dan bagaspati. (Dok. Istimewa)
Menyangkut kesaktian Bagaspati yang diturunkan kepada mantunya, Narasoma, ada versi lain. Bahkan mungkin, versi panah sakti agak dtinggalkan oleh para dalang saat ini. Kesaktian yang diperoleh dari Sanghyang Rudra kepada Bagaspati adalah berupa Ajian Candra Birawa atau Candha Birawa. Bila ajian ini dibaca manteranya, maka akan muncul seorang raksasa yang akan menyerang musuh-musuh dari pemilik ajian. Begitu raksasa dibunuh, tubuhnya akan membelah menjadi dua raksasa, dan seterusnya. Seperti deret hitung dalam matematika, maka di laga peperangan akan penuh dengan raksasa Candha Birawa.
Kesamaan kedua versi kesaktian yang diperoleh dari Hyang Rudra ini, adalah sama-sama tidak akan manjur melawan satria yang berdarah putih. Dalam Perang Bharatayuda, Salya mati oleh raja Amarta, Prabu Puntadewa yang berdarah putih.
Tentu saja, Rudra dalam pewayangan Jawa, sangat berbeda dengan pengertian Rudra dalam tradisi Hindu Bali. Rudra, atau disebut Siwa Rudra, adalah aspek kedewataan yang dipuja sebagai kekuatan untuk memancarkan energi spiritual Tri Murti – yaitu dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut ditiadakan.
Umat manusia, dalam menghadapi tantangan dan kesukaran hidup, sangat membutuhkan kekuatan moral, spiritual dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itulah, salah satu caranya, adalah dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya yang menyatu dalam aspek Dewa Siwa Rudra – seperti yang disebutkan dalam kutipan Parisadha Hindu Dharma, Pura Luhur Uluwatu Stana Dewa Rudra.
Kisah kelahiran Rudra ini dalam cerita rakyat Pulau Dewata, juga bisa dijumpai dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wisnu-Purana.
Alkisah, Dewa Brahma sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat dari kemarahannya itu, tiba-tiba, dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru muncul itu diberi nama Rudra. Dari tubuh Rudra yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu tercipta sepuluh anak lagi. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wisnu-Parana, merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Marrkandeya Purana agak berbeda. Disebabkan oleh keinginan Brahma untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahma pergi bertapa. Saat sedang hanyut dalam keheningan tapanya, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan, menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa menangis, si anak ternyata meminta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra.

Figur Wayang kulit sanghyang tunggal. (Dok. Istimewa)
Rudra, merupakan unsur hidup dan kehidupan yang disebut sebagai Rudraprana. Kesebelas Rudra – yaitu Kapali, Pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava – inilah yang menguasai semua arah penjuru angin dan yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit) dalam keharmonisan semesta.
Upacara Bhuta Yadnya yang paling besar yang ditujukan kepada kesebelas Rudra dilaksanakan setiap seratus tahun sekali di Pura Besakih yaitu upacara Eka Dasa Rudra – tatkala angka satuan dan puluhan Tahun Saka mencapai angka 0. Dalam catatan di Pura Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan pada 9 Maret 1963.
Tapi pada 28 Maret 1979, kembali digelar Tawur Agung Eka Dasa Rudra – sesuai dengan perputaran Tahun 1900 (Saka). Jadi upacara agung itu pernah dilakukan di luar ketentuan interval waktu, tapi juga diadakan ketika terjadi bencana alam dan sosial yang besar.
Bahan : 1. Ensiklopedi Wayang Indonesia
- http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/11/dewa-rudra.html
- www. Beritabali.com/read/2018/04/15/201804150003/Upacara-Terbesar-Yadnya-Eka-Dasa-Rudra-di-Pura-Besakih.html.
- Berbagai sumber
No Responses