Keris Pusaka Wiralodra

Eksistensi sebuah tokoh masa lalu tidak lengkap rasanya tanpa membahas mengenai apa saja pusaka yang pernah menyertainya. Seperti kita ketahui para pahlawan pada masa pra kemerdekaan saja banyak yang masih membawa serta pusaka andalannya dalam medan perjuangan, begitupula pada kisah Tokoh pendiri peradaban Cimanuk hilir modern Indramayu yaitu Wiralodra.
Dalam naskah Babad Dermayu yang beredar dimasyarakat berupa buku Babad Dermayu berbentuk tembang Macapat dan Rontal Trah Wiralodra tidak ada data nama-nama Pusaka secara khusus kecuali hanya menceritakan fungsi pada saat digunakanya Pusaka Cakra dan Oyod Mingmang.
Padahal ketika kita mendapat informasi dari Jupel Pusaka dan Pihak Trah Wiralodra, ternyata Raden Bagus Aria Wiralodra atau dalam literatur lain dikenal dengan sebutan Tumenggung Wiralodra juga memiliki Pusaka berjenis Keris. Nama-nama Keris Pusakanya yang utama yaitu Keris Gagak Prenala dan Gagak Wirahandaka. Konon nama tersebut diambil dari nama leluhurnya Wiralodra.
Selama meneliti nama leluhur Wiralodra yang memakai gelar Gagak Handaka dan Gagak Prenala ternyata nama gelar tersebut dianggap sebagai leluhur Wiralodra hanyalah keterangan dari sumber naskah lokal (Babad Dermayu) sedangkan ketika meninjau literatur lainnya nama kedua tokoh tersebut salah satunya adalah nama tokoh era Pangeran Diponegoro. Gagak Handaka atau disebut Wirahandaka adalah merupakan Adipati Loana terakhir yang wafat pada tahun 1836 dan merupakan senopati/prajuritnya Pangeran Diponegoro. Sedangkan Gagak Prenala/Pranolo dianggap tokoh yang lebih tua eranya.

Keris Pusaka Kiai Bengkelung juga dikenal dengan nama Gagak Prenala, tampak lekuknya yang rengkol luwes dengan warangka bergaya gayaman dan hulu nunggak semian, mendhak/cincin keris berbahan emas. Keris ini adalah salah satu pusaka peninggalan. (Kontirbutor/Nang Sadewo)
Kemudian ditemukan salinan Babad Bagelen oleh rekan pegiat naskah Ki Tarka dari sanggar aksara jawa kidang pananjung Indramayu, didalamnya tidak saja berisi tentang nama Kecil Wiralodra juga menceritakan tentang Pembagian pusaka antara Wiralodra dan adiknya Singapati pasca kekalahan pasukan Mataram dalam upaya penyeranganya terhadap VOC di Batavia tahun 1629. Nama-nama Pusaka tersebut adalah Pusaka Keris Ki Panubiru, Si Tracak, Si Kerok batok, Ki Pelus, Ki Bengkelung, dan Pusaka Pepunden semua berasal dari leluhur Banyu Urip Bagelen. Sepintas dari daftar nama-nama Pusaka tersebut tidak ada nama yang dikenal dikalangan masyarakat Indramayu berkaitan dengan Pusaka peninggalan Wiralodra.
Namun, Setelah mendapat data irincian nama-nama Pusaka tahun 1977 dari Staf Disbudpar Indramayu, rupanya memang nama asli keris Wiralodra tersebut sesuai dengan isi Babad Bagelen, hanya saja dalam dalam catatan tersebut memang selain nama pusaka asli terdapat keterangan tambahan didalam kurung tertulis Keris Kiai Pelus (Gagak Wirahandaka) dan Keris Kiai Bengkelung (Gagak Prenala).
Catatan tersebut disusun oleh oleh Alm. R. Sutadji Karta Sujatma dan menurut hasil wawancara dengan R. M. Arief Rahman Putra dari R. Sudarto yang merupakan adik R. Sutadji memang nama Gagak Prenala dan Wirahandaka baru disematkan tahun 1970-an, mungkin karena ingin agar nyambung dengan isi Naskah Babad Dermayu.

Keris Kiai Bengkelung saat diletakan dilemari kaca pameran pusaka dan naskah kuno di Pendopo Kabupaten Indramayu. (Kontributor/Donni)
Selain keterangan di atas juga ditambah oleh dokumen surat Peminjaman Pusaka yang ditulis R. Sudarko pada tanggal 7 Juni 1977 kepada Ibu R. Ayu Superti (Garis R. Benggali) di Arjawinangun atas Permintan R. Sumarta Karta Sujatma (Garis R. Benggala). Surat tersebut berisikan permohonan agar Pihak Ibu R. Ayu Superti bersedia meminjamkan Pusaka Kuno berupa Cakra, Keris Kiai Bengkelung dan Baju Kiai Tambal guna keperluan Hari jadi Indramayu.
Ternyata sejak tahun 1977 Trah Wiralodra di Arjawinangun Cirebon memang mengetahui nama Keris tersebut adalah Kiai Bengkelung, persis dengan keterangan Babad Bagelen. Sedangkan Menurut R. Muhammad Arief Rahman keris pusaka lainnya yaitu Kiai pelus memang sejak dirinya kecil sudah ditimang-timang oleh Ayahandanya, dan sejak dulu disebut Kiai Pelus. Jadi dua keris Pusaka tersebut pernah berada dipihak keluarga yang berbeda walau satu Trah (Trah R. Sawerdi/Wiralodra III).
Walaupun demikian antara keluarga Trah R. Benggala (Wiralodra V) dan keluarga Trah R. Benggali (Wiralodra V) yang merupakan kakak beradik tetap menjalin komunikasi dan silaturahmi karena Putri R. Krestal (Wiralodra VII) yang merupakan garis R. Benggali dinikahi oleh R. Wiradibrata yang merupakan cucu dari R. Kartawijaya Bin R. Benggala (Wiralodra IV). Komunikasi dan silaturahmi antara garis R. Benggala dan R. Benggali ini kembali terjalin ketika Bersama-sama merapatkan barisan dalam membahas mengenai pengelolaan dan perawatan Pusaka Wiralodra bersama Pemerintah Daerah Indramayu pasca terjadinya pencurian beberapa Pusaka dikediaman Jupel Pusaka beberapa bulan yang lalu.
Keris Pusaka Wiralodra ditinjau dari sisi Kawruh Padhuwungan maka bisa dijelaskan bahwa kedua Keris Pusaka tersebut berjenis keris Lekuk (luk). Keris Kiai Bengkelung berluk 11 sedangkan Keris Kiai Pelus berlekuk 13.

Keris Pusaka Kiai Pelus juga dikenal dengan nama Gagak Wirahandaka, terlihat bagian ganja keris berwarna hitam (gonjo wulung) dengan jenis warangka Gayaman, hulu nunggak semi dilengkapi dengan tempat anggar keris berbahan kulit. Tampak pada bagian luk terakhir agak aus. Keris ini dipercaya merupakan Keris pegangan sang Wiralodra sebagai senopati atau pemimpin Pasukan Perang. (Kontributor/R. Inu Danubaya)
Keris Kiai Bengkelung memiliki luk yang indah layaknya ular berenang atau disebut dengan istilah ‘sarpa mlangi’, pada bagian gonjo (penopang bilah) terdapat sisa kinatah emas. Sepertinya Keris ini adalah keris berkinatah emas Gajah Singa wedana lima. Kinatah Gajah Singa bisa diliat pada bagian wuwungan Ganja yang masih menyisakan satu dua titik cacah gori yang dihias emas. Sedangkan yang dimaksud dengan Wedana lima adalah ornamen kinatah emas pada lima sisi yaitu wuwungan gonjo, samping kanan gonjo, samping kiri gonjo, samping kanan ghandik dan samping kiri ghandik. Keris Kiai Bengkelung berdhapur Sabuk inten.
Sedangkan keris Kiai Pelus memiliki gonjo wulung, gonjo wulung dalam dunai pekerisan dikenal untuk menyebut jenis bahan gonjo yang warnanya homogen gelap kadang berwarna hitam dan sedikit terdapat bekas lipatan pamor karena memang diambil dari bahan uletan besi kerisnya. Ada juga gonjo wulung yang berwarna hitam kehijauan karena diambil dari olahan baja tersendiri.

Tombak Kiai Tlempek peninggalan R. Wirapati/Ingabehi Wirapaty/Wiralodra II. Tombak tersebut digunakan oleh keturunanya yaitu R. Arkat KS saat menghalau dampak angin puting beliung yang akan menimpa rumahnya pada sekitar tahun 1949-1950. (Kontirbutor/R. Muhammad Arief Rahman)
Penggunaan Gonjo wulung dan kinatah Gajah Singa konon menurut para sesepuh Pekerisan dimulai pada era Kerajaan Mataram Islam dipimpin Kangjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo yang bertahta antara tahun 1613-1645. Pada saat itu keris yang memiliki Gonjo sekar (berpamor) polos tanpa kinatah emas hanya boleh digunakan oleh para Pangeran, jika kalangan biasa memiliki Keris demikian maka gonjonya harus diganti dengan gonjo polos ‘wulung’. Ada juga pendapat bahwa mengapa ada keris bergonjo wulung dikarenakan bagian gonjo adalah bagian yang bisa menentukan keindahan garap sebuah keris dan bisa menebak derajat pemliknya. Hal ini kadang tidak membawa kondisi yang baik bagi pemiliknya karena bisa saja sang atasan tertarik dengan keris tersebut dan memintanya. Sedangkan keris kinatah Gajah Singa adalah hiasan kinatah yang diberikan kepada mereka para senopati yang berjasa dalam penumpasan pemberontakan Adipati Pragola dari Pati terhadap Mataram pada tahun 1627.
Keris Kiai Pelus berdhapur Sengkelat, keris yang banyak digunakan oleh para Perwira atau Senopati. Menurut penuturan R. Muhammad Arief Rahman selain Keris Kiai Pelus yang merupakan Keris andalan Wiralodra pernah juga pusaka berbentuk Tombak bernama Kiai Tlempek mengeluarkan tuahnya. Istilah yang digunakan untuk menyebut peristiwanya adalah “digunakannya kekuatan untuk kemaslahatan”. R. Arief mengisahkan bahwa sewaktu ayahnya (R. Sudarto) dan kakak-kakaknya masih kecil, pernah melihat R. Arkat Kartasujatma (Kakek R. Arief) mengeluarkan Tombak Kiai Tlempek (Peninggalan R. Wirapati/Wiralodra II) diarahkan ke pohon-pohon kelapa yang hampir menimpa rumah keluarga R. Arkat KS saat terjadi musibah angin puting beliung melanda desa Leuwi Munding Kabupaten Majalengka sekitar tahun 1949-1950. Saat itu R. Arkat KS membuka tutup Mata tombak lalu ujung bilahnya dikeluarkan melalui jendela rumah, sambil memegang bilahnya R. Arkat KS membaca doa-doa khusus untuk mengaktifkan tuahnya kemudian ditiup dari ujung bilah kearah Pohon-pohon yang akan menghantam rumah. Tidak berapa lama setelah itu arah pohon berubah dan tidak menimpa rumah keluarga R. Arkat KS , peristiwa tersebut disaksikan oleh putra-putra R. Arkat KS sendiri yaitu R. Nuralim, R. Sutadji, R. Sumarta dan R. Sudarto pada saat beliau-beliau masih kecil.

R. Inu Danubaya Bin R. Sumarta Karta Sujatma saat menjamas Keris Pusaka Kiai Pelus. R. Inu Danubaya adalah generasi ke-11 dihitung dari putra Wiralodra. (Kontributor/R. Inu Danubaya)
Disamping kisah tuah dari beberapa Pusaka Trah Wiralodra di atas yang pasti ada hal yang menarik dimana nama dua keris Wiralodra yang diketahui oleh keturunanya sama dengan nama keris yang disebut dalam naskah Babad Bagelen, sebuah naskah yang disusun diluar daerah Indramayu. Semoga naskah ini bisa menjadi bahan tambahan untuk kajian para sejarawan untuk meneliti seputar masa hidup Tokoh Wiralodra daintara dua versi yang beredar (teori Wiralodra sezaman Demak dan Mataram Islam). Rahayu.
No Responses