Diruwat Agar Terhindar dari Bala

Ritual Ruwatan di kalangan masyarakat Jawa dikenal sebagai tradisi membuang aib, cacat spiritual atau kesialan melalui upacara khusus setelah digelarnya pementasan wayang yang membawakan cerita Murwakala. Adapun mereka yang diruwat — bagi yang percaya — diri mereka diangkat menjadi anak Ki Dalang Ruwat, dan seluruh kesialan mereka ditangguh oleh dalang yang memiliki kualifikasi khusus.
Dalam sebulan terakhir, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur terjadi dua kali peristiwa Ruwatan. Yang pertama terjadi pada 10 September 2018 dan yang kedua, pada Sabtu pagi (22/9/2018) baru lalu. Tidak kurang dari 40 orang – 26 di antaranya anak sukerta — menjalani upacara Ruwatan di ruang tengah Museum Pusaka di Taman Mini Indonesia Indah. Dalang ruwatannya adalah Ki Slamet Hadisantoso asal Solo.

Pak Bledheg Samin (kanan) dan kedua anak serta isterinya, termasuk di antara 40 orang yang hari Sabtu (22/9/2018) lalu ikut Ruwatan. Selain buang sial, juga Ruwatan dimaksudkan untuk menepis pengaruh buruk bawaan lahir anak-anak yang disebut, sukerta.
(Kontributor/Tira Hadiatmojo)
“Saya sekadar membuang sial saja,” ungkap pak Bledheg Samin, salah satu di antara 40 orang yang diruwat Minggu pagi itu oleh Ki Dalang Slamet Hadisantoso. Sementara isteri pak Bledheg, serta kedua anaknya, mereka ini diruwat lantaran secara tradisi mereka disebutnya manusia sukerta.
“Isteri saya ontang-anting,” kata pak Bledheg Samin. Ontang-anting adalah anak tunggal dalam keluarga. Sedangkan kedua anaknya, hanya sepasang dan keduanya lelaki perempuan. Dalam keyakinan Jawa, sepasang anak dalam keluarga – lelaki perempuan – disebutnya sebagai “gedhono-gedhini”, maka harus diruwat.
Anak ontang-anting, anak-anak gedhono-gedhini termasuk dalam kategori “manusia sukerta”. Juga dianggap sukerta, adalah tiga anak dalam keluarga yang jenis kelaminnya diapit. Maksudnya, jika ketiga anak itu urutannya lelaki-perempuan-lelaki itu disebutnya “sendang diapit pancuran” (mata air diapit pancuran), sementara jika urutan perempuan-lelaki-perempuan disebutnya “pancuran diapit sendang”… Anak-anak sukerta seperti itu, dalam tradisi Jawa sebaiknya diruwat.

Sejumlah anak-anak sukerta, yang memiliki bawaan khusus sejak lahir (berbaju putih-putih) saat digelarnya Wayang Kulit Ruwatan dengan dalang Ki Slamet Hadisantoso dari Solo, di ruang tengah Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah, Sabtu (22/9/2018) siang. Sebanyak 40 orang diruwat, 26 di antaranya anak-anak sukerta.
(Kontributor/Tira Hadiatmojo)
Anak-anak atau manusia yang digolongkan sukerta, di antaranya juga adalah mereka yang secara ‘weton’ (perhitungan baik buruk hari di tradisi Jawa) yang tidak baik, orang yang kena gendham, pelet, santet, juga lima anak semuanya lelaki (pendawa lima), atau dua anak saja dalam keluarga akan tetapi berbeda warna kulitnya semisal hitam dan putih (disebutnya sebagai ‘gondhang kasih’).
Semua itu, dalam tradisi Jawa masa kini, tentunya hanya dianggap simbolik. Sebagai sekadar sarana saja agar terbebas dari “manusia sukerta”, dihindarkan dari kesialan di masa datang. Sebuah simbolisasi pengharapan.
Sedangkan filosofinya? Lakon Murwakala (yang digambarkan dalam lakon wayang, keburukan-keburukan lahiriah itu ditelah Betara Kala yang juga titisan Wisnu), dimaksudkan sebagai gambaran filosofi Jawa tentang “purwa dumadining menungsa” atau kejadian awal dimana eksistensi manusia di dunia dan semua yang terlibat di dalamnya. Juga, tentang inti dari kehidupan manusia yang disebut sebagai kawruh sejatining urip… *
No Responses