Mur Jangkung Musuh Utama Sultan Agung

Mur Jangkung Musuh Utama Sultan Agung
Prasasti berbahsa Belanda di Museum Wayang Jakarta. Konon merupakan (bekas) makam JP Coen. (Kerisnewscom/Birul Sinari-Adi)

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, adalah penguasa tertinggi VOC yang menghadapi langsung serangan tentara Mataram ke bentengnya di Batavia. Mur Jangkung, biasa dia dijuluki oleh orang Jawa, memang seorang pemimpin VOC yang gemilang – meskipun kepemimpinannya penuh lumuran darah kekejaman.

Lelaki di lukisan itu terlihat agak kurus. Postur tubuhnya tinggi. Tangan kanan tampak bertolak pinggang dan tangan sebelah kiri memegang tangkai pedang. Sorot kedua matanya seperti menatap sesuatu di kejauhan dengan bibir tersenyum tipis di bawah kumis melintang.  Jenggotnya yang kemerahan, tercukur rapi dan sedikit menerjang jabot (hiasan leher dari kain berenda warna putih), menyiratkan dagu seorang lelaki yang keras hati. Wajahnya terkesan angker dan dingin.

Sosok lelaki Eropa yang mengenakan kemeja beludru biru tua dengan hiasan bunga emas, yang digambarkan di atas,  tidak lain, adalah Jan Pieterszoon Coen. Seorang gubernur jendral VOC yang sangat kondang, karena berhasil mengalahkan tentara Mataram yang sangat besar, pada awal abad 17. Lukisan itu,  saat ini, masih terpajang dan bisa dilihat di Museum Sejarah Jakarta. Ia memang dikenal sebagai pembesar Kompeni yang kejam – sekaligus gubernur jendral yang sukses menancapkan kuku kolonialnya di bumi Jawa.  JP Coen pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama dua kali, dan tercatat sebagai Gubernur Jenderal yang ke empat (1619-1623) dan ke enam (1627-1629).

Di kalangan prajurit Mataram, namanya sering disebut sebagai Mur Jangkung – mungkin karena posturnya yang tinggi, dan lidah Jawa yang sulit mengucapkan nama Belanda.  JP Coen lahir di kota Hoorn, Belanda. Tanggal serta bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan Tahun 1586 atau 1587. Ia dibaptis pada tanggal 8 Januari 1587.  Ketika berumur 13, ayahnya mengirim JP Coen kecil ke Roma. Di kota ini ia ikut seorang pedagang bernama Joost de Visscher dari Flandria, Belgia. Ia menetap di Roma sekitar enam tahun. Selain berdagang, ia juga menggunakan kesempatan untuk belajar berbagai bahasa. Di tahun 1607, JP Coen yang mulai menginjak dewasa kembali ke Hoorn.

Foto JP Coen. Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama dua kali. Tercatat sebagai Gubernur Jenderal yang keempat (1619-1623) dan keenam (1627-1629). (Foto istimewa/internet)

Foto JP Coen. Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama dua kali. Tercatat sebagai Gubernur Jenderal yang keempat (1619-1623) dan keenam (1627-1629). (Foto istimewa/internet)

Di kota kelahirannya itu, JP Coen hanya tinggal sebentar. Pada tanggal 22 Desember di tahun 1607 itu juga ia menuju Hindia Belanda. Ia bergabung dengan kapal yang mencari rempah-rempah. Di perjalanan ini, ia mengalami peristiwa penting. Konon, JP Coen dan rombongannya berselisih dengan orang-orang Banda saat bertransaksi rempah-rempah. Atasan JP Coen yang bernama Pieter Willemszoon Verhoeff sampai tewas terbunuh.

Peristiwa tadi mungkin menimbulkan dendam di hati JP Coen muda saat itu. Terutama terhadap orang Banda. Ketika menjadi Gubernur Jenderal, tahun 1621, ia berangkat dari Batavia menuju Maluku untuk menumpas perlawanan rakyat Banda. Armadanya terdiri dari 13 kapal besar, 3 kapal perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukan yang dibawanya berjumlah 1.655 orang Eropa, ditambah 250 orang dari garnisun yang ada di Banda. Sekitar 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu masih terdapat 80 – 100 pedagang Jepang. Konon, di antaranya adalah pendekar Samurai.

Pasukan JP Coen yang besar itu dengan mudah mengalahkan rakyat Banda. Mereka menangkapi semua penduduk yang tidak tewas dalam pertempuran. Beberapa penduduk yang tidak mau menyerah segera melarikan diri. Konon, mereka kemudian melompat ke tebing pantai yang curam sampai tewas. Sementara para pimpinan rakyat Banda yang tetap menolak bekerjasama lantas dihukum mati.

BACA JUGA  Mat Jawa dan Keris GuloKlopo

Cerita tentang eksekusi ini sangat mengerikan. Enam pendekar Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda itu dan 36 orang lainnya lantas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuh mereka dibelah empat. Belum selesai di situ, kepala dan bagian tubuh orang-orang Banda yang dipotong, ditancapkan di ujung bambu untuk dipertontonkan.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka kemudian dibawa dengan kapal ke Batavia. Mereka kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia ada 883 orang. Mereka terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. Tercatat 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena disiksa, kelaparan atau terkan penyakit. Konon, akibat peristiwa itu pulau Banda sampai kosong, sehingga perlu didatangkan penduduk dari daerah lain.

Kekejaman tidak hanya berakhir di situ, pasukan JP Coen kemudian berusaha menyingkirkan orang-orang Inggris yang menjadi saingan dagang mereka di kepulauan Maluku. Dua tahun setelah peristiwa Banda, JP Coen memerintahkan para serdadu bayaran untuk membantai para pedagang Inggris. Para pedagang Inggris itu kabarnya dibunuh dengan digorok lehernya.

Catatan kekejaman JP Coen memang terhitung panjang. Bahkan ia pernah menyiksa anak gadis dan menghukum mati kekasihnya karena mereka dianggap melakukan perbuatan cabul. Ceritanya, JP Coen mengasuh anak gadis bernama Saartje. Saarjte ini anak Jacques Spincx dari hasil kumpul kebo dengan wanita Jepang. Saat wanita Jepang itu kembali ke negaranya Saarjte ikut Spincx ke Batavia. Saat Spinck  harus kembali ke Belanda, Saartje kemudian dititipkan di rumah JP Coen.

Singkat cerita, Saartje yang telah berumur 16 tahun diam-diam menjalin kasih dengan seorang perwira muda bernama Pieter Contenhoeff. Perwira muda ini sering menemui Saartje di kamar tidurnya dengan cara menyogok para budak dan pembantu di rumah JP Coen. Lama kelamaan JP Coen mengetahui  perbuatan Saarjte dan kekasihnya itu. Karena kejadian itu dianggapnya memalukan, ia menyerahkan sepasang kekasih itu ke pengadilan. Perwira muda itu kemudian dihukum mati dan Saarjte disiksa di Balai Kota.  Saarjte, konon, lantas dipertontonkan di depan masyarakat umum dengan tubuh bagian atas terbuka.

JP Coen mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1623 dan digantikan oleh Pieter de Carpentier. Pada tanggal 23 Januari tahun itu juga,  ia pulang ke negeri Belanda. Tapi rupanya JP Coen masih dibutuhkan tenaganya. Pihak Kompeni memanggilnya kembali ke Hindia Belanda. Maka tanggal 19 Maret 1627 JP Coen berlayar menuju Batavia. Ia sampai di Batavia tanggal 27 Juli dan kembali menjadi Gubernur Jenderal.

Di masa pemerintahannya yang ke dua ini, JP Coen menghadapi perlawanan dari Sultan Ageng Tirtayasa dari  Banten,  dan Sultan Agung dari Mataram. Sultan Agung tercatat dua kali menyerang Batavia, yaitu tahun 1628 dan 1629.  Kedua serangan pasukan Sultan Agung itu gagal mengalahkan pasukan Kompeni. Salah satu penyebabnya, konon, karena ada penghianat di pihak Mataram. Serangan pertama gagal, karena logistik yang disiapkan pasukan perintis yang dipimpin Dipati Ukur, lenyap begitu saja. Hal ini membuat pasukan besar berikutnya yang dikomandani Tumenggung Bahureksa kesulitan logistik.

Sosok Sultan Agung di Film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta" diperankan oleh Ario Bayu. (Foto Istimewa/sultanagung.themovie IG)

Sosok Sultan Agung di Film “Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta” diperankan oleh Ario Bayu. (Foto Istimewa/sultanagung.themovie IG)

Pada penyerbuan ke dua ke Batavia, dari pengalaman soal logistik, Sultan Agung telah memerintahkan untuk membangun lumbung-lumbung bahan makanan sepanjang jalan yang akan dilalui laskar Mataram menuju Batavia. Tapi ada seorang pengkhianat bernama Tumenggung Endranata yang membocorkan strategi ini ke pihak Kompeni. Kompeni lantas membakar lumbung-lumbung yang telah dipersiapkan pihak Mataram tadi, sehingga pasukan Sultan Agung kekurangan bahan makanan.

BACA JUGA  Mipis Tradisi Membuat Boreh Keraton Kanoman Cirebon

Pengkhianatan Tumenggung Endranata itu akhirnya ketahuan. Ia berhasil ditangkap. Kepalanya lantas dipenggal sebagai peringatan agar tidak ada yang berani berkhianat lagi. Endranata dihukum dengan sangat sadis. Badannya dipotong menjadi 3 bagian. Potongan pertama, kepala, dikubur  di lantai Gapura Supit Urang (pintu masuk) Makam Raja-raja di Imogiri.  Kuburan kepala Endranata ditandai dengan batu hitam – tapi sekarang telah diplester oleh Dinas Purbakala DIY. Potongan ke dua, badan, ditanam di tangga pertama (bawah) gapura. Sedangkan potongan ke tiga, kaki, dikubur di tangga bawah yang diapit  kolam di kiri kanannya.

Meski Mataram gagal menaklukkan Batavia, tapi JP Coen sendiri tewas tanggal 20 atau 21 Desember 1629, beberapa hari setelah penyerangan itu.  Tentang kematian JP Coen ini ada banyak versi. Satu versi mengatakan ia meninggal karena terjangkit penyakit kolera. Versi lain,  ia mati karena diracun. Ada juga beranggapan, ia dibunuh oleh orang-orang Banda yang membalas dendam. Tidak kalah menarik cerita, bahwa Mur Jangkung mati karena ketakutan. Kabarnya waktu itu JP Coen akan segera ketemu Jacques Spincx.  Ayah Saartje ini telah menjadi musuhnya, bahkan akan menggantikan kedudukan JP Coen sebagai Gubernur Jenderal. Mungkin karena ketakutan, jantungnya kemudian berhenti berdetak.

Tapi versi yang lebih sering terdengar mengatakan JP Coen berhasil diculik oleh laskar Mataram di tengah berkecamuknya pertempuran. Tubuhnya lantas dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Kabarnya bagian kaki kemudian dikubur di daerah Bendungan Hilir, Jakarta. Kepalanya yang dipenggal lantas dikirim ke Mataram. Kepala itu dikubur di bawah salah satu kaki tangga Makam Imogiri.  Ini dimaksudkan agar setiap orang yang menaiki tangga menginjak makam JP Coen, sebagai bentuk penghinaan.

Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara No. 25, Kawasan Kota Tua, Jakarta, tempat (bekas) makam JP Coen berada. (Kerisnewscom/Birul Sinari-Adi)

Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara No. 25, Kawasan Kota Tua, Jakarta, tempat (bekas) makam JP Coen berada. (Kerisnewscom/Birul Sinari-Adi)

Entah versi mana yang benar, yang jelas di dalam Museum Wayang, Jakarta,  ada makam JP Coen. Menurut cerita waktu itu belum ada gereja di dekat Balai Kota (sekarang Museum Sejarah Jakarta). Para pejabat Belanda terpaksa harus ke gereja Imanuelle yang ada di dekat stasiun Gambir. Maka pada 1640 dibangun gedung yang bernama De Oude Hollandse Kerk dan dipergunakan sebagai gereja. Tahun 1732 gedung itu diperbaiki dan berganti nama menjadi De Nieuwe Hollandse Kerk yang bertahan sampai tahun 1808 karena kemudian hancur akibat gempa bumi. Di bekas reruntuhan itu lantas dibangun gedung yang sekarang dipakai sebagai Museum Wayang.

Konon,  makam JP Coen sendiri pada abad 18 telah dipindah ke taman pemakaman yang ada di lokasi Museum Prasasti, Tanah Abang. Ia memang tidak tahu pasti siapa yang memindahkan makamnya itu. Bahkan ada khabar, sebenarnya kerangka Coen telah dipindahkan ke Belanda, oleh anak turunnnya.

Sekarang ini di Museum Wayang memang hanya bisa dijumpai prasasti berbahasa Belanda. Tidak tampak lagi adanya pekuburan atau nisan satu pun.

 

Birul Sinari-Adi dan Riyo S. Danumurti

 

Bahan : Dari berbagai sumber

 

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.