Ngopi : Ngobrol Inspiratif tentang Keris di Be Dee Cafe

Bermalam minggu nongkrong di kafe bersama sahabat, dan bersantap menikmati hidangan yang dipesan sambil ngobrol, sepertinya, sudah menjadi hal biasa. Tapi, akan terasa berbeda ketika obrolan itu lantas diisi tema-tema tertentu yang bisa menambah pengetahuan atau wawasan.
Dan, itulah yang terjadi pada Sabtu (1/9/2018) malam lalu, di acara bertajuk “Ngopi : Ngobrol Inspiratif—Suka Keris? Bukan Mistis”, bersama Cakra Wiyata, Penggiat Pelestarian Keris, di Be Dee Cafe, Jalan Cinere Raya OD 54, Bukit Cinere Indah, Cinere, Depok, Jawa Barat.
Acara yang digelar oleh Komunitas Kreatif Cinere, didukung oleh Wawan Kardiman dari Be Dee Cafe, Okky Vanda dari Sate Kurai, Agung Hardoko dari Kedai Miss–U, Muhammad Soleh dari sellbuytime, dan Agus Black Yulianto dari Warna–Warni Project, ini merupakan acara kedua yang berlangsung secara bulanan. Acara pertama, sebulan yang lalu, mengambil tema bagaimana beriklan di Instagram dan Facebook.
“Target kami sebenarnya hanya untuk awareness dan branding dulu. Yang harapannya para pelaku-pelaku yang lain juga bergabung dengan kami di sini, meramaikan Cinere khususnya, apa pun itu ragamnya,” kata Okky Vanda yang biasa dipanggil dengan nama Ivan.

Suasana tempat acara bertajuk “Ngopi : Ngobrol Inspiratif—Suka Keris? Bukan Mistis”, bersama Cakra Wiyata, Penggiat Pelestarian Keris, Sabtu (1/9/2018) malam lalu, di Be Dee Cafe, Jalan Cinere Raya OD 54, Bukit Cinere Indah, Cinere, Depok, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Berkaitan dengan branding, Ivan, yang juga Chief Operating Officer sellbuytime, mengaku tidak khawatir mengangkat topik apa pun, termasuk tentang keris, yang bagi sebagian orang masih sering dikaitkan dengan hal yang mistis. Menurut Ivan yang penting sebenarnya adalah sharing–session.
“Adapun topik yang diangkat sekarang, kami mencoba memberikan wacana kepada publik, khususnya Cinere, maupun nanti di luar kalau ada yang datang, adalah keris itu bukannya mistis. Seperti judulnya kita usung sekarang, “Suka Keris? Bukan Mistis”. Nah, itu yang memang kita coba diskusikan,” terang Ivan.
Sementara, Cakra Wiyata, yang malam itu menjadi pengisi acara, berbicara tentang seluk-beluk keris secara umum. Mulai dari pengertian apa itu keris, anatomi keris, istilah dalam perkerisan (seperti dapur, tangguh, pamor), etika, penilaian keris, keilmuan keris, pembuatan, pemeliharaan, termasuk keris di masa sekarang dan pengakuan dunia terhadap keris.
Misal, Cakra mengatakan bahwa banyak istilah lain untuk penyebutan keris. Beda daerah, bisa beda penyebutan atau istilah. Ada yang menyebut keris dengan kris, karih, kareh, kalis, sele maupun sundang. Di Jawa namanya banyak sekali, ada dhuwung, curigo, wangkingan. Di naskah-naskah Eropa sebutannya macam-macam, ada cryse, criss, crise, kriss, crees.
“Tapi apakah keris itu? Keris itu sebetulnya asalnya ya dari senjata. Alat tikam, kemudian berkembang. Dulu sebagai alat tikam, tapi lama-lama berkembang, non-bendawinya semakin muncul,” terang Cakra.
Dan masih ada lagi, kata Cakra melanjutkan, syarat keris pertama tidak boleh simetris, harus asimetris, kanan dan kiri berbeda. Jadi beda dengan tombak atau pedang yang kanan dan kiri sama. Kemudian ada sudut kemiringan yang disebut condong leleh.
“Jadi ini kalau ditarik garis datar, garis lurus ada sudut kemiringan. Sudut kemiringan ini juga punya arti. Kalau arti dasarnya adalah dia menunduk, menunduk kepada Tuhan ya. Dia tidak sombong, menunduk kepada Tuhan,” terang Cakra menjelaskan apa itu condong leleh.
Sudut kemiringan ini masih berbeda-beda. Ada yang tinggi, ada yang landai sekali. Dan, masing-masing juga memiliki arti. Syarat ketiga, keris terdiri minimal dari dua unsur logam. Tapi biasanya ada tiga unsur logam, yaitu besi, baja, dan pamor. Pamor bisa dari meteor atau nikel. Dulu, kata Cakra, pamor biasanya dari meteor.

Cakra Wiyata, Penggiat Pelestarian Keris, mengenalkan apa itu keris di acara bertajuk “Ngopi : Ngobrol Inspiratif—Suka Keris? Bukan Mistis”, Sabtu (1/9/2018) malam lalu, di Be Dee Cafe, Jalan Cinere Raya OD 54, Bukit Cinere Indah, Cinere, Depok, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Kemudian pembuatannya adalah harus ditempa. Itu syaratnya keris. Jadi kalau ada keris yang cuma dicetak, digergaji, ada yang dari drum digunting, dari seng, berbentuk keris tapi tidak memenuhi kaidah sebagai keris. Jadi keris harus melalui proses tempa. Syaratnya adalah itu dulu,” kata Cakra menjelaskan syarat keempat untuk layak disebut keris.
Cakra juga mengungkapkan adanya banyak ragam keris. Lewat tayangan proyektor, diperlihatkan aneka ragam bentuk keris, seperti keris Minangkabau, keris Jogja dan keris Solo, keris Palembang, keris Bugis, keris Bali. Termasuk keris dari Filipina.
Kemudian pembicaraan tentang anatomi keris. Secara umum, Cakra melanjutkan, keris itu terdiri dari tiga, yaitu bilah, hulu, dan warangka. Hulu ini memiliki banyak sebutan, seperti handle, deder, jejer, gagang dan masih ada lagi istilah lainnya. Warangka juga memiliki banyak variasi, baik dari bahan maupun bentuk.
Sementara untuk perabot keris atau aksesori keris ada deder/handle, gandar, mendhak, selut, dan pendok. Perabot ini sangat bervariasi, sehingga ada orang yang khusus mengoleksi deder saja, misalnya. Atau mengoleksi pendok, karena pendok memiliki motif yang bermacam-macam.
Tidak ketinggalan, Cakra juga menjelaskan bagian bawah bilah keris yang disebut sor–soran dan memiliki banyak ricikan (pernik–pernik?=Bhs Ind—Red ) dengan nama-namanya. Seperti, ada gandik, kembang kacang, jalen, pijetan, greneng, dan masih banyak nama lain. Cakra menerangkan bahwa masing-masing ricikan mempunyai arti yang berbeda.
“Jadi setiap segi dari keris memiliki arti. Ini yang membuat sangat menarik dari keris itu. […] Kalau mendalami keris itu nggak bakal habis. Nggak ada orang yang bener-bener expert di dalam keris karena semuanya banyak sekali variasinya,” kata Cakra.
Menginjak istilah dalam keris, Cakra menjelaskan, ada tiga istilah yang umum, yaitu dapur, tangguh, dan pamor. Dapur keris adalah penamaan ragam bentuk atau tipe keris, sesuai dengan ricikan yang terdapat pada keris itu dilihat dari jumlah luk-nya. Gampangnya, dapur adalah model keris. Keris bisa berupa keris luk maupun lurus.

Para peserta di acara “Ngopi : Ngobrol Inspiratif—Suka Keris? Bukan Mistis”, bersama Cakra Wiyata, Penggiat Pelestarian Keris, Sabtu (1/9/2018) malam lalu, di Be Dee Cafe, Jalan Cinere Raya OD 54, Bukit Cinere Indah, Cinere, Depok, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Dan, tangguh adalah perkiraan zaman pembuatan keris atau perkiraan era, dengan cara meneliti ciri khas atau gaya pada rancang bangun keris, jenis besi, dan pamor-nya.
“Jadi orang keris rata-rata tahu sejarah. Karena mau nggak mau jadi ngikuti. Karena serunya di situ. Oh, ternyata ini peninggalan… Nah, nanti kita membayangkan, oh ini peninggalan zaman tahun sekian…,” ujar Cakra.
Tidak lupa, Cakra juga mengatakan adanya empu-empu baru di masa kemerdekaan yang juga berkreasi. Keris karya empu-empu di masa ini disebut dengan “Keris Kamardikan”.
Kemudian, Pamor keris adalah sebuah corak yang terdapat di antara bilah besi dalam keris yang terbuat dari material meteor ataupun nikel. Corak pamor ini terbentuk dari material yang berbeda, karena ditempa, dilipat, sehingga akhirnya kemudian keluar perbedaan tadi atau pamor.
Karena keris bukan hanya benda fisik saja, bendawi, tapi juga non-bendawi ada cara-cara atau etika-etika dalam keris. Yaitu, etika ketika memberikan keris, melolos keris, menghormati keris, memegang keris, dan memberi pendapat tentang keris.
“Ini ada istilah Jawa, ojo dirasani bojone, ojo diseneni anake, ojo dicacat kerise. Jadi kalau misalnya kita tidak diminta untuk memberikan pendapat akan keris dari orang yang memberikan kita keris, jangan beri pendapat,” kata Cakra.
Cakra lantas menjelaskan bahwa keris itu secara fisik mungkin tidak bagus, tapi secara non-fisik bagi pemiliknya memiliki banyak arti. Jadi, keris itu memang multidimensi. Bisa saja secara fisik kerisnya tinggal separuh, tapi pemiliknya demikian cinta karena ada sejarahnya.
“Jadi hati-hati dalam memberi pendapat tentang keris terutama orang yang baru kita kenal. Ini adalah etika umum dalam perkerisan,” terang Cakra yang juga menjelaskan misal di suatu pertemuan ada bilah keris yang dikelilingkan untuk dilihat orang-orang di pertemuan, maka nanti yang memasukan keris itu ke warangkanya harus orang yang awalnya melolos keris itu.
Tentang penilaian keris, Cakra mengutip penilaian keris yang dikenalkan oleh Haryono Haryo Guritno (tokoh perkerisan yang sudah meninggal). Menurut Cakra ini sebenarnya istilah lama hanya mendapat tambahan, yaitu akronim “Tuh simor rapuh jongun datatingka rahpu ngguh2”. Merupakan kependekan dari kata-kata : utuh, wesi, pamor, garap, sepuh, wojo, wangun, daphur, tantingan, tintingan, kelangkaan, sejarah, empu, tangguh, dan pungguh (serasi, harmoni antara bilah dan aksesori).
Sejarah keilmuan keris atau sejarah perkembangan keilmuan keris sendiri kata Cakra, berawal dari Kawruh Phaduwungan yang non-ilmiah, subjektif, dan hanya berdasar tuturan dari orang yang menuturkan, ilmu tutur atau dari mulut ke mulut.
Kemudian beranjak di masa Pakubuwono (PB) IV, mulai ada dokumen-dokumen klasik yang membahas tentang keris, seperti di Serat Centhini. Tapi ini juga masih subjektif, belum bisa disebut ilmu ilmiah. Baru di era Hadiwijoyo, yang merupakan cucu PB X, mulai ditulis dan juga digambar keris-kerisnya.
“Sekarang, yang sekarang coba dijelaskan adalah kerisologi. Sekarang sudah ada universitas yang (menjadi tempat untuk) belajar tentang keris, di ISI Solo. Itu dia belajar membuat keris. Nah, diharapkan keris ini bisa lebih dijelaskan secara keilmuan,” terang Cakra.
Karena, lanjut Cakra, keris sudah diakui UNESCO maka kita berkewajiban pada dunia untuk memberi penjelasan yang lebih ilmiah tentang keris. Perlu diketahui, UNESCO pada 25 November 2005 mengakui keris sebagai “A Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”.
Pengakuan UNESCO atas “Aspek Non-Bendawi Keris” ini meliputi unsur sejarah, tradisi, fungsi sosial dan politik (kerajaan), seni (teknik tempa), estetika, falsafah, simbol, dan juga mistik.
Menurut Cakra, ini menjadi pekerjaan rumah (PR) kita, tidak semua orang di Indonesia paham tentang keris. Padahal dunia sudah mengakui. Sementara, anak-anak muda kita kurang mengenal keris.
“Inilah salah satu yang mendorong komunitas untuk berusaha memopulerkan dan memberi pengetahuan tentang keris,” ujar Cakra yang merupakan Ketua Komunitas Astajaya, salah satu komunitas perkerisan yang ada di Jakarta.
Nah, ngobrol tentang keris di cafe memang terasa menjadi lebih menyenangkan. Malam itu, peserta obrolan bisa mendengarkan penjelasan tentang apa itu keris sambil menyeruput kopi, dan menikmati menu lain, seperti minuman dari olahan susu dan menyantap sate bumbu kuah kuning.
Selain itu, peserta juga bisa langsung bertanya jika ada yang ingin diketahui tentang keris. Bahkan, mereka bisa melihat, memegang, dan mengamati keris-keris yang memang sengaja dibawa oleh Cakra Wiyata. Kohin Abdul Rohim, penggiat perkerisan, yang turut hadir di acara Ngopi di BeDee Cafe, juga sempat menjelaskan fungsi warangan.
Sementara, Ihsan Andika, salah seorang anak muda yang ikut hadir, mengatakan ada bagusnya malam minggu di kafe ngobrol tentang keris. Karena spiritnya membuat keris relevan dengan anak muda. Jadi tidak harus lewat forum yang serius seperti seminar-seminar, atau hanya di tempat ngumpul-ngumpul para generasi tua.

Kohin Abdul Rohim mendemontrasikan keseimbangan keris di acara bertajuk “Ngopi : Ngobrol Inspiratif—Suka Keris? Bukan Mistis”, bersama Cakra Wiyata, Penggiat Pelestarian Keris, Sabtu (1/9/2018) malam lalu, di Be Dee Cafe, Jalan Cinere Raya OD 54, Bukit Cinere Indah, Cinere, Depok, Jawa Barat. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Ada bagusnya juga, mungkin dicari titik temunya antara apa yang dibutuhkan sama anak muda gitu ya, dengan apa yang sudah disediakan oleh nilai-nilai dari keris itu sendiri gitu. Jadi, mungkin ini awalanlah, buat saya juga, saya juga mau terus menggali lebih dalam tentang keris, sih,” kata Andika kepada KerisNews.com saat ngobrol bebas setelah acara selesai.
Andika juga memberi masukan, kalau bisa cerita-cerita tentang keris itu dijauhkan dari mistis. Seperti anak muda “zaman now” lainnya yang akrab dengan internet, Andika sedikit tahu tentang keris dengan mencari informasi sendiri lewat google dan juga bertanya ke orang yang lebih tahu.
“Perlu juga dicari cerita-cerita apa sih yang cocok, misalnya, seperti tadi saya bilang Panglima Jendral Sudirman, bagaimana dia memandang keris, apa hubungannya keris dengan perjuangan Beliau. Pangeran Diponegoro, itu kan pesan-pesan kemerdekaan. Bahkan sampai Asian Games sekarang itu saja masih dibahas bahwa atlit itu pahlawan kita. Mungkin itu lebih relevan dengan anak-anak muda, gitu ya, terutama spirit keindonesiaan itu sekarang sedang mulai bergairah dicari lagi. Bhinneka Tunggal Ika mulai digaung-gaungkan lagi, Pancasila. Itu kira-kira. Harusnya ada hubungannya dengan kebudayaan terutama keris, gitu,” terang Andika.
Cakra Wiyata sendiri mengakui pentingnya meluruskan persepsi yang salah selama ini di masyarakat. Secara umum, masyarakat kenal keris hanya dari sisi negatifnya. Karena itu sisi-si yang tidak diketahui harus secara gencar disampaikan ke masyarakat awam.
“Jadi selama ini hanya terkait dengan sisi mistisnya saja, terutama sisi mistis. Kemudian sisi-sisi benda tajamnya. Tapi nilai-nilai positif, filosofis atau semangat-semangatnya rata-rata nggak tahu. Dan setelah mereka tahu banyak yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam lagi. Nah, selanjutnya harus di-follow up oleh komunitas supaya mereka bisa lebih mendalami kawruh tentang keris itu,” kata Cakra di akhir acara.
No Responses