Jamasan Alat Tempa dan Pusaka di GuloKlopo

Acara peringatan menyambut 1 Muharam 1440 Hijriah bagi umat Islam, sekaligus juga jelang 1 Sura 1555 Syaka bagi masyarakat Jawa hari Senin (10/9/2018) kemaren dirayakan dengan berbagai cara – baik di Surakarta, Yogyakarta maupun Jakarta.
Di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur, selain upacara utama kirab jelang 1 Muharam di anjungan terdepan TMII, juga ada acara tersendiri di Museum Pusaka – tak jauh dari danau Taman Mini dekat Museum Air Tawar.
Acara jelang 1 Sura di besalen GuloKlopo di samping Museum Pusaka TMII, diisi dengan jamasan (memandikan, simbol bersih-bersih jelang tahun baru 1 Muharam) seluruh peralatan tempa, dari tanggem, tang jepit, palu, paron landasan tempa. Juga, menjamas dua pusaka berupa keris dan tombak karya besalen – sebuah tradisi Jawa yang biasa dilakukan pada malam jelang 1 Sura.

Setelah dijamas, tombak bikinan besalen TMII GuloKlopo, diserahkan oleh paguyuban tosan aji Astajaya kepada Kepala Museum Pusaka TMII, Ibu Syuhada (kanan) beserta sertifikatnya. Tombak dengan 20ribu lapisan tempa itu, resmi menjadi koleksi museum tersebut.
(Kontributor/Tira Hadiatmojo)
Salah satunya, tombak Kiai Muntab bikinan GuloKlopo, diserahkan malam itu seusai dijamasi untuk dijadikan koleksi Museum Keris Taman Mini. Sedangkan satunya lagi keris semi patrem dengan model keris lurus Paku Buwanan (Solo) diserahkan GuloKlopo menjadi koleksi sesepuh perkerisan Jakarta, Pak Guntur Bledheg Samin. (Tulisan khusus tentang Kiai Muntab bisa dibaca dalam artikel lain di Kerisnews)
Air untuk jamasan diambil khusus dari sungai Cikahuripan, mata air di wilayah Kebun Raya Bogor. Setelah jamasan, tombak Kiai Muntab karya besalen GuloKlopo – yang dibuat dari bahan baja lunak (mild steel) serta pamor nikel dengan lebih dari 20.000 sap atau lapisan – diserahkan malam itu juga kepada Kepala Museum Ibu Syuhada, dan sertifikat pembuatannya pada Andi Aziz juga dari museum.
Besalen GuloKlopo, merupakan tempat pembuatan tosan aji yang khusus dibangun dari dana swadaya (patungan) kelompok penggemar tosan aji Jakarta, yang bergabung di Paguyuban Astajaya (Ajang Silaturahmi Tosan Aji Jakarta Raya). Setelah berdiri, besalen yang terletak di samping kanan Museum Pusaka TMII ini kemudian dihibahkan oleh Ketua Paguyuban Cakra Wiyata November 2017 lalu ke pengelola museum untuk menambah daya tarik museum tersebut.

Dua tosan aji buatan besalen GuloKlopo yang dijamas pada malam menjelang 1 Sura, Senin (10/9/2018) malam kemaren. Tombak dan sertifikatnya, diserahkan pada Museum Pusaka untuk dijadikan koleksi tetap museum tersebut.
(Kontributor/Tira Hadiatmojo)
“Keris Kanjeng Kiai (KK) Tunjung Kamulyan dibuat dari bahan yang saya peroleh dari tujuh tempat di Jawa,” ungkap Guntur Setianto alias Pak Bledheg Samin, tentang keris koleksi barunya – bikinan besalen GuloKlopo. Proses pembuatannya, menurut lurah besalen Mas Tok Andrianto dan juga salah satu pande besalen, Purbo Kuncoro, berlangsung selama sekitar sembilan bulan.
“Besi berasal dari tujuh tempat di Jawa, dan kesemuanya berupa bahan asal besi sudut yang biasa dipasang di tiang gedung tua,” kata Bledheg Samin, yang selama ini dikenal sebagai kolektor keris dengan jumlah koleksi keris, tombak maupun tosan aji lainnya mencapai ratusan bilah – baik tosan aji Jawa maupun luar Jawa.
Tujuh tempat asal bahan pembuatan pusakanya itu, menurut pak Bledheg Samin, mewakili “perjalanan” udara, darat, laut, dan juga perjalanan spiritual, ataupun perjalanan hidup. Bahan besi penyangga sudut (tiang ataupun jendela) yang dimaksud Bledheg Samin itu di antaranya berasal dari jendela sebuah gedung tua di kawasan pelabuhan Tanjung Priok (simbol perjalanan laut), gedung tua di kawasan bekas bandar udara Kemayoran (perjalanan udara), besi penyangga di stasiun Kota Tua Jakarta (perjananan darat), besi dari bekas gedung Pusat Perdagangan di Kota Tua Jakarta (simbol kehidupan), besi sudut penyangga tiang di Mabes Polri (simbol penegakan hukum), besi sudut dari Gereja Blendhuk Semarang (simbol pelayanan spiritual), dan dari Lawang Sewu Semarang (simbol perjalanan massa).
Saton bilahnya, menurut Bledheg Samin, dulu sengaja ditempa sampai bentuk saton (batang besi yang sudah ditempa lipat) di Ciomas Banten (sekitar 400 sap, atau lapis), kemudian di GuloKlopo TMII ditempa lipat lagi dengan ditambah slorok baja per mobil, plus tambah besi strip. Desain diblak (ditiru) dari sebuah keris pusaka dengan gaya Paku Buwanan (Solo) milik Bledheg Samin.
“Sengaja dibuat kelengan (tanpa pamor), untuk menyimbolkan keabadian. Bilah berpamor, masih melambangkan keduniawian,” kata Bledheg Samin pula. Dibuat tidak hanya asal buat, akan tetapi juga dilakukan dengan ulah spiritual, baik oleh Bledheg Samin, maupun para pembuatnya.

Tidak hanya terbatas pada anggota paguyuban tosan aji, Astajaya. Akan tetapi juga sejumlah penggemar tosan aji Jakarta, Bogor dan bahkan ada tamu dari Klaten Solo datang dalam acara tumpengan dan jamasan di samping Museum Pusaka TMII Senin (10/9/2018) malam itu.
(Kontributor/Tira Hadiatmojo)
Dari perenungan saat proses pembuatan berlangsung, menurut Bledheg Samin, bahan serba lebih, akan tetapi tetap mencerminkan kesederhanaan, tidak “nggege mongso” (tak mendahului kehendak yang di atas, ambisius berlebihan), sumeleh (pasrah), tidak mubyar (tidak gemerlap).
Sedangkan arti Tunjung Kamulyan – penamaan tombak menurut sang pemilik – adalah “dasar tegaknya kehidupan menuju kemuliaan abadi, manunggaling kawula Gusti…,”
Selain dibuat cermat, baik presisi ukuran maupun ketebalan bilah seperti layaknya keris sejenis pada tangguh Paku Buwanan, keris era Indonesia modern ini tetap dibuat dengan laku spiritual.
Hal ini, dilakukan sesuai dengan pengakuan dunia (UNESCO) 2005 bahwa keris adalah warisan budaya tak benda (Intangible Heritage) dari Indonesia. Keris, tidak hanya dinilai sebagai benda fisik senjata (weapon), akan tetapi juga ‘spiritual object’ atau obyek spiritual bagi pemesannya. *
No Responses