Dipati Ukur yang Disalahkan

Serangan tentara Sultan Agung dari Mataram ke Markas VOC di Batavia, 1628, gagal total. Dipati Ukur, salah satu panglima Mataram yang ikut menyerbu, setelah kekalahan itu, enggan menghadap junjungannya di Mataram itu. Dia dianggap pengkhianat dan pemberontak.
Seluruh warga Jawa Barat agaknya tidak ada yang tidak mengenal nama Dipati Ukur. Meskipun banyak juga yang tidak tahu siapa sebenarnya tokoh tersebut, namun pengabadian namanya sebagai salah satu jalan utama di Bandung yang bernama Dipati Ukur, menandakan bahwa pemilik nama tersebut sangat dihormati di wilayah Priangan. Namanya juga diukir sebagai nama jalan utama di sejumlah kota lain di Jawa Barat, seperti Banjaran, Cicalengka, dan Majalengka.

Plang nama Jalan Dipati Ukur di Bandung masa kini. Selain di Bandung, nama pahlawan Tatar Pasundan ini juga dipakai nama Jalan utama di kota Jawa Barat lain seperti di Banjaran, Cicalengka dan Majalengka.
(Dokumentasi Istimewa)
Siapa sosok legendaris ini? Menurut catatan lama, Dipati Ukur adalah wedana umbul (pimpinan pasukan) papat-papat (44) di Priangan. Reputasinya sebagai prajurit linuwih cukup baik, yang teruji dalam setiap medan tempur, ketika Mataram melebarkan sayap dengan menundukkan wilayah-wilayah di pesisir Utara yang dulu di bawah kekuasaan Demak. Namun jasanya agak ternoda, ketika dia gagal dalam memimpin pasukan menyerbu Sumenep, Madura. Pasukannya dipukul mundur oleh militer Sumenep. Namun kekalahan masih diampuni Sultan Agung. Dipati Ukur bahkan mendapat tugas baru, yaitu membantu Tumenggung Bahureksa, panglima Mataram, menyerbu Markas VOC di Batavia.
Persiapan penyerbuan ke Markas VOC sudah dimulai sejak April 1628, sedangkan untuk pengepungan dan penyerbuan direncanakan selama September-Oktober 1628. Pasukan Dipati Ukur yang berkekuatan 10 ribu prajurit akan melalui jalur darat, dan menunggu di Kerawang. Sementara, pasukan Tumenggung Bahureksa yang berkekuatan kurang lebih sama, melalui jalur laut. Kedua pasukan besar ini akan bergabung di di Kerawang.
Agaknya ada faktor tidak terduga yang menjadi kesalahpahaman yang berbuntut panjang. Hingga hari ditentukan, ternyata pasukan laut Mataram yang dipimpin Bahureksa tak kunjung datang. Pasukan Dipati Ukur yang sempat menunggu selama tujuh hari, akhirnya tidak sabar menunggu kedatangan pasukan Bahureksa itu. Khawatir semangat prajuritnya menurun, juga karena logistik yang menipis, Dipati Ukur memutuskan untuk menyerbu dulu ke Batavia.
Pasukan Ukur ini mengepung sendiri Markas VOC, pada pertengahan Oktober 1628. Namun medan pengepungan yang berat karena musim hujan, membuat pasukan Dipati Ukur mengalami kegagalan. Mereka dengan mudah dipukul mundur oleh tentara VOC, pada tanggal 21 Oktober 1628. Pasukannya tercerai berai, dan sebagian kembali ke Ukur dan sebagian lain melarikan diri ke wilayah Banten.
Peristiwa itu tidak diketahui oleh pasukan di bawah Bahureksa. Ketika tumenggung, yang menurut cerita tutur, kebal terhadap segala jenis senjata – termasuk senjata api itu – merapat ke Kerawang, pasukan Dipati Ukur sudah tidak mesanggrah (berkemah) di sana lagi. Tak ada tanda atau sandi pesan yang ditinggalkan Dipati Ukur. Karena itu, Bahureksa menduga bahwa Dipati Ukur telah melarikan diri secara pengecut. Inilah kesalahpahaman tersebut.
Meski tanpa bantuan pasukan Dipati Ukur, pasukan Bahureksa tetap memutuskan untuk menyerbu Batavia. Namun karena VOC memiliki senjata yang lebih modern, ditambah strategi perang gaya Eropa yang taktis, pengepungan tentara Mataram bisa diporak-porandakan. Diduga, sekitar 1300 prajurit terbunuh, dan lebih dari 2.500 orang menjadi tawanan. Selebihnya lari menyelematkan diri. Pasukan Mataram telah kalah, dalam serangan pertama ke Batavia itu. Tumenggung Bahureksa bersama putranya gugur dalam pertempuran itu.
Mengenai kematian Tumenggung Bahureksa, versi lain menyebutkan, bahwa Bahureksa dipancung kepalanya atas perintah Sultan Agung, di Alun-alun Mataram. Alasannya, prajurit Mataram harus pulang dengan kemenangan. “Mukti, atau mati.” Itulah doktrin militer Sultan Agung terhadap para prajuritnya.
Sejak itu, tokoh yang disalahkan oleh kawula Mataram dalam kekalahan itu adalah Dipati Ukur. Raja Mataram itu sangat marah terhadap bawahannya yang dianggap khianat itu. Namun rencana untuk menghukum penguasa dari Ukur, Jawa Barat, itu terpaksa ditunda. Sultan Mataram itu berencana untuk menyerang kembali Batavia.
Pada sekitar Mei 1629, Mataram kembali sibuk mempersiapkan penyerbuan ke dua ke Batavia. Meskipun dengan strategi yang lebih terencana baik, namun karena adanya pengkhianatan di tubuh militer Mataram, maka penyerbuan ke dua itu lagi-lagi gagal. Dalam serangan kedua, logistik telah dipersiapkan dengan matang. Pantai Utara dari Karawang, Bekasi hingga Pantai Marunda dibuat lumbung-lumbung beras yang tersembunyi. Namun toh info ini sampai juga ke telinga Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang segera memerintahkan untuk melakukan operasi inteljen dengan membakar lumbung-lumbung tersebut. Akibatnya fatal, tentara Mataram kehabisan logistik, dan kalah. Hanya saja, serangan kedua ini bisa menewaskan secara tidak langsung penguasa tertinggi VOC itu. Gubernur Jenderal Batavia itu tewas karena penyakit kolera yang menyebar, akibat Kali Ciliwung yang melintasi Batavia, dibendung dan dicemari bangkai oleh tentara Mataram.
Sejak kegagalan itu, semangat raja ke tiga Mataram untuk mengusir orang-orang Belanda dari Pulau Jawa, agaknya, mengendor. Sementara amarah Sultan Agung untuk menghukum Ukur, justru berkobar-kobar. Maka pada tahun 1630, Sultan Agung mempersiapkan penyerbuan besar-besaran ke Sumedang dan Ukur. Dengan dibantu puluhan ribu prajurit dari Cirebon, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa, mengepung Gunung Lumbung. Kabarnya, seluruh tentara Mataram yang dikirim ke Ukur sebanyak 40 ribu prajurit – melebihi jumlah tentara yang dikirim untuk menyerbu Batavia.
Dipati Ukur, dalam persembunyiannya, juga membangun benteng pertahanan di Gunung Lumbung – yang terletak di sebelah barat laut Kota Bandung sekarang. Dalam peta wilayah sekarang ini, Gunung Lumbung termasuk dalam wilayah Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
Pertahanan di Gunung Lumbung akhirnya dapat dihancurkan oleh tentara Mataram, dan Dipati Ukur dengan dua ribu pengikutnya kabur ke Bungbang, wilayah Kesultanan Banten. Namun karena terus menerus diburu, pemimpin Ukur itu akhirnya menyerah. Dia beserta seluruh pengikut laki-lakinya dihukum mati di Mataram, pada tahun 1636.

Arca batu di Gunung Lumbung, Cililin, Bandung Barat. Lokasi arca diyakini masyarakat sebagai petilasan dan makam Dipati Ukur.
(Dokumentasi Istimewa)
Cerita tutur Dipati Ukur sangat banyak ragamnya. Yang paling banyak dikisahkan di daerah-daerah bekas perlawanan tokoh Priangan itu, adalah bahwa tentara Mataram tak akan bisa mengalahkan dan meringkus tokoh yang konon sangat sakti itu. Beberapa kali, tentara Mataram dapat dipukul kocar-kacir dalam berbagai penyerbuan. Hingga suatu ketika ada petunjuk gaib yang datang kepada seorang pintar di Priangan, bahwa Dipati Ukur hanya bisa dikalahkan dan ditangkap hanya oleh orang Sunda.
Pesan gaib yang diterima seorang ajeungan itu sampai ke telinga bupati wedana di Sumedang, dan diteruskan kepada pimpinan pasukan Mataram. Maka dibukalah sayembara : Barangsiapa orang-orang Sunda yang dapat menangkap Dipati Ukur, akan diberi ganjaran besar oleh Sultan Agung dan akan diberi kedudukan bupati di Ukur, menggantikan Dipati Ukur. Maka muncullah tokoh Entol Wirawangsa dari keumbulan Surakerta, yang akhirnya bisa mengalahkan Dipati Ukur dan memenggal kepalanya. Wiramangsa kemudian dikukuhkan menjadi bupati di Ukur, dan menjadi vasal Mataram yang setia. Pengangkatan itu menandai hilangnya pembangkangan di Priangan.
Kenapa Dipati Ukur memberontak kepada Mataram? Kemungkinan besar Dipati Ukur khawatir akan dihukum mati oleh Sultan Agung, karena kegagalannya dalam penyerbuan ke Batavia. Banyaknya senapati dan prajurit yang pulang ke Mataram tapi justru dipenggal kepalanya, membuat Dipati Ukur memilih bersembunyi di Gunung Pongporang, dan membangun benteng pertahanan di Gunung Lumbung. Berdasarkan catatan dalam dokumen Belanda yang sangat minim, tokoh Dipati Ukur jelas-jelas ada. Namun sejarah seputar perjalanan hidupnya, masih berupa cerita tutur, atau hanya tertulis dalam babad – yang kebenarannya masih sangat diragukan.
Hingga kini, tokoh yang termashyur di wilayah Priangan ini masih gelap diliputi misteri. Ini tentu saja, karena minimnya dokumen tentang tokoh tersebut. Ada sejumlah petilasan di Jawa Barat, yang selalu diyakini sebagai peninggalan dan makam sang tokoh tersebut. Saat ini, ada delapan tempat yang diyakini sebagai makam Dipati Ukur. Puncak Gunung Geulis, misalnya, yang terletak di perbatasan Desa Manggahang dan Rancakola di Ciparai, diyakini warga sekitar sebagai petilasan asli Dipati Ukur. Ada lagi sebuah makam di Astana Luhur di Desa Bojongmanggu, Pameungpeuk, Garut, juga diziarahi warga sekitar sebagai makam mantan panglima Mataram itu. Belum lagi, sebuah petilasan di Kampung Cikatul atau Pabuntelan, Desa Tenjonegara, Kecamatan Pacet. Dan masih ada lima tempat lain yang disebut-sebut sebagai makam pemimpin tanah Ukur itu.
Riyo S Danumurti
Bahan:
- “ Ceritera Dipati Ukur” – desertasi di UI karya E. Sukardi Ekadjati;
- “Sejarah Indonesia Modern” karya MC. Ricklefs;
- Berbagai sumber
No Responses