Mengenal Naskah-Naskah Batak

Membaca naskah-naskah Batak, utamanya Pustaha, bisa menjadi satu jendela untuk mendapat pengetahuan asli tentang kepercayaan Batak. Dari zaman pra-kolonial, orang Batak sudah menghasilkan atau menuliskan pengetahuan mereka dalam naskah.
Roberta Zollo, peneliti dari Centre for Studies of Manuscript Cultures, mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara di Seri Diskusi Naskah Nusantara #6 bertajuk “Membaca Pustaha, Jendela untuk Mengetahui Kepercayaan Batak”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (13/8/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta.
“Pada zaman pra-kolonial Orang Batak sudah menghasilkan tiga jenis berbeda naskah yang bisa dibedakan berdasarkan bahan-bahannya,” kata Roberta Zollo, wanita berkebangsaan Italia, dan tengah menyelesaikan PhD di Universitas Hamburg.
Tiga jenis naskah, seperti yang dikatakan Roberta, yaitu Naskah Tulang, Naskah Bambu, dan Naskah Kulit Kayu. Selain perbedaan bahan yang digunakan, masing-masing naskah itu juga memiliki kegunaan yang berbeda. Misalnya, Naskah Tulang digunakan sebagai sihir ajimat.

Roberta Zollo, peneliti dari Centre for Studies of Manuscript Cultures, menjadi pembicara di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #6 bertajuk “Membaca Pustaha, Jendela untuk Mengetahui Kepercayaan Batak”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (13/8/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Naskah Tulang ini menggunakan tulang kerbau, dan pada umumnya yang dipakai adalah tulang rusuk dan tulang bahu. Tulang-tulang itu lantas digores dengan ujung pisau sebagai cara penulisan. Bekas goresan itu lantas dihitamkan.
Sementara, Naskah Bambu digunakan untuk menulis beberapa jenis surat yang berbeda-beda. Misalnya, ratapan, surat ancaman, bahkan termasuk untuk kalender Batak.
“Bambu sebenarnya adalah bahan yang sangat praktis karena bisa diperoleh kapan dan di mana saja. Dan hampir semua jenis bambu bisa dipakai. Jenis mana yang dipilih tergantung pada jenis naskah yang mau dihasilkan,” ujar Roberta.
Naskah Bambu yang paling panjang biasanya ditemukan di daerah Angkola dan Mandailing. Ada Naskah Bambu yang panjangnya sampai lima ruas, sekitar 1.5-2 m dengan diameter 5-8 cm.
“Jenis yang ketiga adalah naskah kulit kayu. Sebenarnya jenis naskah ini adalah jenis yang lebih banyak bisa ditemukan dalam koleksi naskah Batak di museum-museum atau di perpustakaan. Jenis naskah itu dalam Bahasa Batak namanya Pustaha,” kata Roberta yang S2-nya tentang Bahasa dan Naskah Batak, khususnya Pustaha.

Naskah Tulang ditampilkan saat acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #6 bertajuk “Membaca Pustaha, Jendela untuk Mengetahui Kepercayaan Batak”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (13/8/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Kata Pustaha ini, menurut Roberta, merupakan kata pinjaman dari Bahasa Sanskerta yang artinya buku. Pustaha sendiri pada zamannya adalah buku petunjuk yang digunakan oleh dukun atau Datu, dalam Bahasa Batak.
Pustaha terdiri dari dua bagian, yaitu Lak–lak yang merupakan bagian untuk tulisan, dan Lampak yang menjadi sampul. Ukuran Pustaha mulai dari yang kecil, berukuran 3-5cm sampai yang besar, ukuran 40-50cm. Bahan untuk Lak–lak hanya ada di daerah Barus, dan khusus diambil dari pohon Alim.
“Kulit kayu yang dipakai sebagai bahan dasar Pustaha bukanlah kulit luar tapi lapisan dari dalam, yang tidak keras,” terang Roberta yang pernah tinggal di suatu desa kecil di daerah Batak selama satu bulan untuk belajar langsung dari masyarakat.
Proses pembuatan naskah dimulai dengan pemotongan kulit sesuai panjang dan lebar Pustaha yang diinginkan. Lantas kulit luar yang sudah kering dipisah dari kulit dalam. Lak–lak yang sudah bersih dipukul-pukul dengan pemukul kayu agar terlihat rapi. Kedua sisi Lak–lak lantas dipotong dengan pisau sehingga lurus.

Naskah Bambu ditampilkan saat acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #6 bertajuk “Membaca Pustaha, Jendela untuk Mengetahui Kepercayaan Batak”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (13/8/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Setelah Lak–lak kering, lantas digarisi sesuai dengan banyak garis yang akan ditulisi pada setiap halaman. Alat penggaris ini terbuat dari potongan bambu yang disebut Balobas. Terakhir Lak–lak siap ditulisi dengan alat tulis yang namanya Tarugi.
Bahan untuk menulis atau tintanya terbuat dari getah baja dan jeruk nipis. Baja adalah sejenis pohon kecil. Kayu pohon baja ini kalau dibakar akan mengeluarkan getah yang berwarna hitam. Getah baja ini dicampur dengan air jeruk nipis, dan kadang dengan bahan yang lain. Lak–lak yang telah ditulisi lantas dibuat menjadi bentuk yang dikenal dengan nama “Concertina Shape”.
“Waktu itu semua Pustaha ditulis oleh Datu, dukun, yang sebenarnya pada zaman dahulu fungsinya Datu ini bukan penulis profesional. Mereka hanya orang biasa yang hanya punya pengetahuan untuk menulis aksara. Dan, yang lebih penting mereka punya kekuatan untuk mengatur semua upacara terkait ilmu gaib dan memanggil roh-roh,” kata Roberta.
Fungsi para Datu ini, bisa dikata ambivalen, karena di satu segi mereka ini ditakuti orang lain karena berkaitan dengan hal gaib tadi. Tapi di segi lain mereka sangat diperlukan. Karena hanya mereka yang bisa mengatur upacara dan memiliki pengetahuan tentang pengobatan.
Dari segi bahasa, menurut Roberta, semua naskah Pustaha ditulis dengan salah satu varian bahasa yang sangat spesifik. Yaitu yang dinamakan Hata Poda, yang bisa diartikan sebagai bahasa petunjuk. Ragam bahasa Hata Poda ini merupakan sejenis dialek kuno dari rumpun Bahasa Batak Selatan, yang hanya bisa ditemukan di pustaha-pustaha.
Ada tiga fitur khusus yang ada di bahasa Hata Poda ini. Pertama, ada banyak kata-kata pinjaman dari Bahasa Melayu atau dari Bahasa Sanskerta. Kedua, ada beberapa kata yang diambil dari Bahasa Batak biasa, tapi digunakan dengan maksud yang berbeda. Ketiga, setiap Datu biasanya memakai singkatan buatan dia sendiri atau mengambil kata-kata dari Bahasa Batak yang lain.
Sedangkan untuk isi Pustaha, Roberta mengutip pendapat J Winkler, penulis Buku “Die Toba-Batak auf Sumatra in gesunden und Kranken Tagen”, yang pernah tinggal lama di daerah Batak pada pertengahan abad 19.
“Menurut Winkler semua Pustaha terkait dengan ilmu kedukunan yang dalam Bahasa Batak, Hadatuon,” kata Roberta yang mendapat nama Batak, Sibarani.
Winkler ini membedakan tiga jenis ilmu yang paling banyak terdapat di dalam pustaha-pustaha Batak. Pertama, ilmu yang menyambung hidup atau ilmu putih. Kedua, ilmu yang menghancurkan hidup atau ilmu hitam. Dan ketiga, ilmu nujum atau tentang ramalan.
“Jadi beberapa jenis ramalan yang misalnya pakai binatang, bintang, […] dan beberapa jenis yang beda, seperti makanan atau telur,” ungkap Roberta yang menyelesaikan S1 dan S2-nya di Universitas Napoli, Italia.

Naskah Pustaha yang terdapat di Perpustakaan Nasional di Berlin, ditampilkan di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #6 bertajuk “Membaca Pustaha, Jendela untuk Mengetahui Kepercayaan Batak”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (13/8/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Roberta juga membicarakan aksara yang dipakai di Pustaha. Menurutnya, semua Pustaha ditulis dengan salah satu sistem aksara yang sangat spesifik, aksara Batak. Dan, setiap kelompok orang Batak, Batak Karo, Toba dan semua, memiliki sejenis sistem aksara yang berbeda-beda.
“Dalam Bahasa Batak Toba sistem aksara ini dinamakan Surat na sampulu sia. Yang sebenarnya adalah salah satu keturunan dari sistem tulisan dari India. Tapi sebenarnya kami belum tahu dengan baik dari tradisi yang mana, dapat sistem tulisan ini,” kata Roberta.
Surat na sampulu sia atau sistem aksara Batak ini terdiri dari 19 aksara dasar, dengan vokal “a”. Dan, ada 6 tanda diakritik yang berfungsi untuk mengubah vokal “a”.
Tidak ketinggalan, Roberta memperlihatkan naskah Pustaha yang ia temukan di perpustakaan nasional di Berlin. Pustaha bertanda Berlin 13 979. Pustaha ini berukuran 32×22 dan memiliki 32 halaman yang ditulisi di dua sisi. Seperti di semua naskah Batak, di Pustaha ini juga tidak ada kolofon. Sehingga tidak ada informasi di mana dan kapan Pustaha ini ditulis.
Tapi, berdasar analisa linguistik dan adanya kata-kata yang signifikan, Roberta berhasil merekontruksi penanggalan dan lokasi naskah Pustaha tadi. Diperkirakan Pustaha tersebut ditulis di daerah antara Silindung dan Pangaribuan. Dan, waktunya antara 1830-1910.
“Mungkin terlalu luas. Tapi saya pikir juga ini boleh juga dianggap sebagai data yang cukup penting untuk merekontruksikan zaman yang sudah ditulis,” ujar Roberta.
Pustaha dari perpus Berlin itu, menurut Roberta, memiliki beberapa fitur menarik. Pertama, fitur estetika. Misal, sampul sangat baik dan tepinya diukir dengan motif Batak. Di halamannya juga ada garis tepi untuk merapikan teks. Dan fitur kedua, yaitu bahasa. Pustaha ini ditulis memakai bahasa Hata Poda seperti laiknya pustaha lainnya. Tapi, kata Roberta, ada yang berbeda dari Hata Poda yang biasanya.
“Dan membaca naskah ini saya dapat ide bahwa seorang Datu ini sebenarnya dia bisa menguasai dengan baik, baik Bahasa Batak, Bahasa Melayu maupun beberapa Bahasa Batak lain (Bahasa Andung atau Bahasa Tabas),” ujar Roberta.
Bahasa Andung sebenarnya hanya digunakan untuk menuliskan naskah bambu. Bahasa yang sangat berpuisi atau bersyair. Contoh, Si Morsindung, Si Manari. Sedangkan Bahasa Tabas merupakan bahasa mantra.
Hal menarik lainnya, menurut Roberta, di Pustaha ini terdapat cerita yang berkaitan dengan mitos penciptaan. Padahal di naskah Pustaha, biasanya tidak ditemukan cerita pendek atau mitologi. Topik seperti mitologi, dalam tradisi Batak, hanya diturunkan dalam bentuk tradisi lisan, bukan dituliskan dalam naskah-naskah.

Para peserta diskusi foto bersama selesai acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #6 bertajuk “Membaca Pustaha, Jendela untuk Mengetahui Kepercayaan Batak”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (13/8/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Topik yang sudah saya temukan di dalam naskah ini adalah beberapa mitos penciptaan dunia. Dan terutama saya sudah temukan diskripsi dari tiga tokoh mitologi yang sangat penting untuk mitologi Batak, Naga Padoha, Naga Si Tuldang Bosi, Naga Si Baganding na Gondang,” kata Roberta.
Di antara ketiga tokoh mitologi, Naga Padoha merupakan tokoh yang paling terkenal di dalam mitologi Batak. Dua tokoh lainnya, Naga Si Tuldang Bosi, dan Naga Si Baganding na Gondang, belum ditemukan informasinya selain dari yang Roberta baca di naskah Pustaha ini.
Naga Padoha terkenal dalam cerita penciptaan dunia. Tokoh Naga Padoha ini berlawanan dengan tokoh Si Boru Deang Parujar. Si Boru Deang Parujar adalah cucu dari Mulajadi Na Bolon, yang merupakan anak Batara Guru. Kisah Naga Padoha dan Si Boru Deang Parujar ini, menurut Roberta, merupakan pertarungan atavistik antara kekuatan baik (Si Boru Deang Parujar) dan buruk (Naga Padoha).
Mitologi lain yang ditemukan Roberta di dalam naskah Pustaha yaitu Bindu Jaoa, Bindu Matogu. Meski begitu, ia belum mengerti dengan pasti fungsinya.
“Pelajaran filologi naskah (Batak) sudah mengalami penurunan sangat besar sejak dari abad 20 sampai sekarang. Dan, benar-benar ada sedikit orang yang membaca naskah ini,” ujar Roberta menyimpulkan pembicaraannya di acara seri diskusi naskah.
Kesimpulan lain, menurut Roberta, perlu dihidupkan kembali studi naskah Batak dalam rangka menyelamatkan dan melestarikan budaya asli dan nilai-nilai tradisi Budaya Batak. Dan, juga disebutkan, ada resiko hilangnya unsur tradisi, seperti Hata Poda, dan juga pengetahuan tentang ramuan obat-obatan, dan cerita mitologi.
No Responses