“Empu Sombro” dari Blitar

“Empu Sombro” dari Blitar
Intan Anggun Pangestu, "Ni Sombro" dari Blitar ketika menjelaskan tombak karyanya yang dipamerkan di etalase pameran di Museum Keris di Jalan Bhayangkara 2 Surakarta, kepada Branko Windoe, eksekutif Bank BCA, Sabtu (11/Agustus/2018) malam. Tidak hanya tombak bikinannya yang menarik, akan tetapi juga Intan (24) adalah lulusan Program Studi Keris pertama dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Perempuan, lagi... (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)

Sosok perempuan ramping berkacamata Intan Anggun Pangestu (24) menjadi salah satu daya tarik tersendiri di Gelaran Lima Besalen di pelataran parkir Museum Keris Nusantara di Solo 9-11 Agustus 2018 lalu. Tidak hanya lantaran wanita muda asal Blitar ini ikut mengayunkan palu seberat 2 kg ke paron landasan tempa selama gelaran, akan tetapi juga lantaran tiga buah tombak karyanya di ruang pameran yang artistik.

“Itu (tombak-tombak) tugas akhir saya tahun 2017-2018 dari bahan baja ulir tanpa pamor,” tutur Intan, lulusan pertama Program Studi (Prodi) Keris dan Senjata Tradisional Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, pada KerisNews.com Sabtu (11/Agustus/2018).

Tombak-tombak karya tempa Intan – berupa tiga tombak dari logam hitam tanpa pamor itu — terpasang di salah satu etalase pameran, yang digelar dalam rangka peringatan setahun diresmikannya Museum Keris Nusantara di Jalan Bhayangkara 2 Solo, akhir pekan lalu. Tombak pertama berbentuk gulungan pupus daun pisang, tombak kedua berbentuk daun pisang utuh, dan yang ketiga mengambil bentuk klaras atau daun pisang yang sudah kering.

“Daun pisang merupakan daun serba guna, bisa dijadikan pembungkus makanan dan keperluan lain…,” tutur perempuan muda kelahiran Blitar 2 Januari 1994 ini, ketika ditanya Branko Windoe, salah seorang eksekutif Bank BCA yang tertarik melihat tombak-tombak karya Intan, ketika ybs mengunjungi pameran Sabtu petang itu. Konsep daun yang serba guna bagi masyarakat Nusantara, menjadikan pertimbangan mengapa Intan pilih bikin tombak dengan motif daun pisang untuk tugas akhir kampusnya.

Paling menarik memang bentuk tombak pertamanya, pupus daun pisang yang bulat menggulung ke pucuk. Sedangkan dua tombak daun pisang lainnya, juga menarik lantaran ia tempa bergelombang serupa gelombang daun pisang sesungguhnya.

Tombak-tombak karya Intan Anggun Pangestu (24), lulusan pertama Program Studi (Prodi) Keris Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Menurut Intan, ini merupakan karya Tugas Akhir akademis dia yang diselesaikan selama dua bulan.

Tombak-tombak karya Intan Anggun Pangestu (24), lulusan pertama Program Studi (Prodi) Keris Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Menurut Intan, ini merupakan karya Tugas Akhir akademis dia yang diselesaikan selama enam bulan.
(KerisNews.com/Jimmy S Harianto)

Prodi Keris yang ditempuh Intan Anggun Pangestu memang merupakan program studi satu-satunya di dunia. Merupakan program studi yang baru dibuka oleh ISI Solo pada 2012, dan Intan adalah lulusan pertama dari dua mahasiswa yang sudah menyelesaikan studinya pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Jurusan Kriya, Prodi Keris. Di samping Intan, juga lulus Mochamad Hasanudin.

BACA JUGA  Ki Roni Sodewo, Penjaga Semangat Diponegoro

“Mengapa tidak berpamor? Karena saya memang fokus pada bentuk,” ungkap Intan. Bahan tombak yang ia pilih, adalah baja ulir yang banyak dipakai untuk membuat linggis, dengan diameter kurang lebih sebesar ibu jari kaki. Ditempa dan kemudian dibentuk tanpa proses tempa lipat.

Angkatan awal Prodi Keris ISI Solo, pada 2012 itu, ada empat orang. Satu orang di antaranya drop out, sehingga tinggal tiga orang.  Sampai 2018 ini, tiga orang itu meneruskan sampai tugas akhir, dan baru dua (Intan dan Hasanudin) yang dinyatakan lulus. Total mahasiswa yang terdaftar di Prodi Keris sampai 2018 kata Intan, ada 37 orang.

Berapa lama waktu untuk membuat tiga tombak kelengan itu? Kata Intan, sekitar enam bulan dari proses pencarian ide, membuat desain, lalu menggarapnya. Tempat menggarap dan menempanya, selain di besalen Brojobuwono di Sragen (besalen swasta milik dokter Bambang Gunawan dan dipimpin pengajar di ISI Surakarta, Basuki Teguh Yuwono), juga ia lakukan di besalen milik ISI di Mojosongo Surakarta.

Penempa keris perempuan, Intan Anggun Pangestu (mengangkat palu) ketika ikut menempa keris di pelataran parkir Museum Keris Nusantara di Solo, pada hari pembukaan Gelaran Lima Besalen di museum tersebut, Kamis (9/Agustus/2018) malam. Ia menempa bersama grupnya, besalen Meteor Putih bimbingan Empu Daliman.

Penempa keris perempuan, Intan Anggun Pangestu (mengangkat palu) ketika ikut menempa keris di pelataran parkir Museum Keris Nusantara di Solo, pada Gelaran Lima Besalen di museum tersebut, Kamis (9/Agustus/2018) malam. Ia menempa bersama grupnya, besalen Wiryocurigo tempat Andi dkk anak mendiang empu Suyanto Wiryocurigo..
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Bagaimana seorang perempuan menekuni studi keris? Menurut Intan Anggun Pangestu, dia mengaku mula-mula tertarik karena mendapat tawaran studi di program yang baru dibuka di ISI (2012) – ia bisa masuk tanpa tes untuk Prodi Keris.

“Padahal saya di Blitar, baru lulus dari SMK Negeri Blitar jurusan Pattiserie alias bikin kue,” tutur Intan. Menurut catatan tertulis dalam tradisi keris, empu keris dalam sejarah umumnya lelaki. Dan tidak banyak di antara empu keris tradisional di masa lalu yang perempuan. Kecuali sedikit di antaranya, seperti Ni Mbok Sombro di era kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Sombro, kemudian pindah ke Tuban Jawa Timur, bersama saudara-saudaranya untuk membuat keris di sana pada masa kerajaan Majapahit.

BACA JUGA  Keris Ki Empu Sukamdi Laris Ditiru

Intan kemudian mendatangi Badan Pengurus Kampus ISI, dan menanyakan tentang hal itu. Akan menjadi apa sajakah, apabila ia lulus dari Prodi Keris di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Jurusan Kriya dan Program Studi Keris?

“Saya dapat jawaban, kalau saya lulus saya bisa menjadi seniman keris, bisa jadi dosen di ISI, atau bergiat di ruang budaya…,” tutur anak bungsu dua anak dari Keluarga Wasito yang buruh, dan Ari Sumarmi seorang TKW Hongkong dari desa Karang Tengah, Kecamatan Sanan Wetan Blitar ini.

“Oke, saya masuk…,” kata Intan.

Eksekutif Bank BCA, Branko Windoe (kiri) merekam keterangan Intan Anggun Pangestu, untuk karya tiga tombaknya yang dipajang di pameran dalam rangka peringatan Setahun Museum Keris Nusantara di Solo, Sabtu (11/Agustus/2018) malam.

Eksekutif Bank BCA penggemar tosan aji, Branko Windoe (kiri) merekam keterangan Intan Anggun Pangestu, untuk karya tiga tombaknya yang dipajang di salah satu etalase pameran dalam rangka peringatan Setahun Museum Keris Nusantara di Solo, Sabtu (11/Agustus/2018) malam.
(KerisNews.com/Jimmy S Harianto)

Selama studi Prodi Keris di ISI sejak 2012, Intan sudah menghasilkan karya 6 bilah keris – berdapur lurus, Tilamsari dan Mundharang – sebilah pisau kecil berpamor wos wutah, sepucuk senjata Jawa Barat Kujang berpamor, tombak lurus sebilah serta tiga tombak tugas akhir yang dipamerkan di ruang pamer Museum Keris kali ini.

“Setiap semester saya mendapat tugas muatan tugas keris. Sekali seminggu entah membuat desain, menempa keris, atau melakukan finishing keris, tombak atau kujang. Ini wajib…,” kata Intan.

Bagaimana rincian studi kerisnya? Selama tiga tahun pertama, kata Intan, mahasiswa Prodi Keris di ISI Solo menjalani Studio Keris 1-6. Kemudian, dua semester terjun dalam kerja profesi sesuai bidang, bisa mranggi (membuat warangka keris), atau tempa. Intan mengaku bekerja profesi di Perabot Tosan Aji “Cendono Putro” membuat pendok.

Satu semester berikutnya, semester ke-8, Indah fokus pada tugas akhir, tambah tiga bulan lagi. Sempat ada orang asing, wanita, yang ikut belajar di Prodi Keris. Juga, sepasang orang asing – yang mengaku datang ke Indonesia “naik sepeda” selama 20 bulan dari negeri mereka.

Dosen-dosen kerisnya? Ada Joko Suryono yang selain pengajar Studi Keris, juga peneliti pasir logam dari Merapi dan batu besi Luwu, Sulawesi. Basuki Teguh Yuwono untuk Teori Keris dan Tangguh, Sosiologi Keris dan Kuratorial. Aji Wiyoko untuk ilmu dan bahan keris, juga HAKI (Hak Kekayaan Intelektual). Kuntadi Wasidarmojo adalah KaProdi Kerisnya. Sumadi untuk Studi Ornamen. Agus Ahmadi untuk Desain Mebel. Bening untuk Studio Warangka dan Hulu Keris.

Masih ada lagi Instruktur dosen Pengampu, yang membantu Joko Suryono seperti Empu Subandi Supaningrat dari Palur, dan Doni Kustanto untuk Studio Pendhok.

“Yang pasti, kami di kampus ingin keris dipahami tak hanya mistik, tetapi juga eksplorasi budayanya. Bukan ingin meninggalkan tradisi, akan tetapi kami hanya ingin mempelajari keris secara akademis,” kata Intan, yang dalam waktu dekat ini akan meneruskan ke Strata 2 (S2) untuk Studi Keris di ISI… *

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.