Geliat Lima Besalen di Museum Keris Solo

Ketika Jakarta sibuk dengan hingar-bingar deklarasi Capres dan Cawapres Republik ini, Kamis (9/Agustus/2018) malam, lima besalen pembuat keris dari Solo dan Jakarta justru sibuk menempa tosan aji di halaman parkir timur Museum Keris Nusantara di Jalan Bhayangkara 2 Surakarta. Maka cipratan percikan api di kegelapan malam dan denting palu pun bertalu-talu di atas paron.
Kontroversi yang mewarnai dunia politik Tanah Air, tak mengusik para “empu” muda dari lima besalen untuk menempa saton – tumpukan besi dan baja untuk membuat kodokan atau bakalan keris yang mereka bikin dari nol. Mereka menempa untuk membuat keris, dan kemudian dijadikan koleksi milik Museum Keris Nusantara di Solo.
“Kami kebagian membuat bilah Sapukala (keris lurus yang melengkung seperti lengkungan pisang) Bugis…,” kata Mas Tok Andrianto, lurah besalen pembuat keris dari Jakarta Timur, besalen tamu GuloKlopo dari Taman Mini. Bilah yang dipesan panitia gelar lima besalen itu harus diselesaikan dalam tiga hari gelaran pameran.

Para penempa dari besalen Brojobuwono Sragen, Solo ketika menempa bakalan keris Sumatera, Bangkinang, di pelataran parkir timur Museum Keris Nusantara di Jalan Bhayangkara 2 Surakarta, Kamis (9/8/2018) malam.
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Kami kebagian buat Pendawa Cinarita (salah satu jenis keris berlekuk lima) gaya Majapahit,” ungkap Purnomo, penempa lain dari besalen Condrodimuko pimpinan Rony Kristianto. Seperti juga besalen GuloKlopo, maka besalen Condrodimuko juga diminta untuk membikin keris buat museum. Namun tidak seperti empat besalen yang ikut serta dalam “gelaran lima besalen” kali ini, para penempa besalen Condrodimuko sebenarnya adalah penempa dari komunitas pembuat pisau, dari Indonesian Blade (IB) Chapter Solo Raya. Bukan penempa keris.
“Mereka baru kenal membuat keris 2-3 bulan terakhir. Kalau biasa di komunitas pisau mereka dituntut menampilkan performa bilah (kekerasan bilah, ketajaman, dan presisi bilah) maka kali ini pembuat pisau, Wildan, Purnomo, Afan, Lukman dan Joko harus didorong untuk menempa bilah keris, yang berbasis estetika.
“Bikin keris ternyata memiliki tingkat kesulitan berbeda. Jika kami biasanya menggarap bilah pisau yang basisnya Barat, monosteel, kini kami harus bikin keris dengan teknik laminasi, tiga jenis logam harus ditempa agar campur. Tidak sekadar lengket…,” ungkap Purnomo, seraya mengunjukkan hasil karya keris pasupati dengan pamor dari bahan knalpot, serta campur logam mild steel, pada Kerisnews.
“Jika di pembuatan pisau mereka dituntut performa, landep-landepan, tajem-tajeman, di tempa keris mereka digeser dikit ke estetika,” ujar Rony Krist sang mentor besalen Condrodimuko. Alhasil, bengkel tempa anak asuhan Rony Krist tidak hanya di dalam kota Solo, akan tetapi juga di Colomadu, Kartasura, Sukoharjo Solo Raya…
“Mereka belajar berkarya tempa Nusantara di besalen saya, bagaimana cara tempa lipat, dan saya tugasi 5 orang yang belajar di tempat saya untuk membuat masing-masing satu keris, dan wedung pamor. Mereka juga tak kenal teknik ‘menapih’ (membungkus) pamor,” ungkap Rony Krist pula.
Sebelum pembuat pisau Indonesian Blade Chapter Solo Raya, kata Rony Krist, juga datang belajar tempa lipat Nusantara, sejumlah anggota Indonesia Blade dari Bandung. Mereka belajar bagaimana ‘ngulet’ (menempa lapis) pamor…

Para penempa dari besalen Condrodimuko, yang kesemuanya adalah penempa-penempa pisau dari Indonesian Blade (IB) Chapter Solo Raya, ketika menempa bakalan keris Pandawa Cinarita di pelataran Museum Keris Nusantara di Solo, Kamis (9/8/2018).
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Kalau besalen GuloKlopo dari komunitas Paguyuban tosan aji Astajaya Jakarta, ditugasi bikin keris Sapukala Bugis, dan besalen Condrodimuka membuat keris Luk Lima Pendawa Cinarita gaya Majapahit, maka besalen Brojobuwono (penempanya dari mahasiswa dan dosen ISI Surakarta) dari Sragen, kebagian tugas sulit membuat keris panjang Sumatera, yang biasa dikenal sebagai keris Bangkinang…
“Semester kemaren, saya malah kebagian mahasiswa ‘wedok’ (perempuan) enam orang, dan lelaki tiga orang. Mereka mahasiswa Program Studi (Prodi) Keris dan Senjata Tradisional Institut Seni Indonesia,” tutur empu Subandi Supaningrat, salah satu instruktur Prodi Keris di ISI Surakarta, di samping juga instruktur lain di bidang yang sama, Daliman.
“Saya juga kebagian sepasang mahasiswa Inggris, belajar menempa keris. Mereka datang ke Indonesia ‘ngonthel’ alias naik sepeda genjot, selama 20 bulan menuju Indonesia,” ungkap Subandi pula.
Sedangkan besalen Wiryocurigo dari Solo lainnya, kebagian menggarap dalam tiga hari, keris berdapur (model) Jalak Sangutumpeng dengan gaya nom-noman Surakarta.
“Ayah saya sudah meninggal beberapa bulan lalu, saya meneruskannya,” ungkap Andi, lurah besalen Wiryocurigo kepada Kerisnews. Ayah Andi, adalah almarhum Suyanto Wiryocurigo, perintis besalen pembuatan keris yang kini diwarisi Andi — meninggal awal tahun ini.
Sedangkan besalen Meteor Putih yang juga dari Surakarta, yang dibimbing empu senior Instruktur ISI Surakarta, Daliman, kebagian tugas membuat keris berdapur Carang Soka luk 9 dengan gaya Segaluh, sebuah gaya khas keris Jawa Barat yang berpenampilan “monyong” gandhik atau bagian depan kerisnya.
Daliman menyodorkan anak didiknya yang kini memegang besalen Meteor Putih, yakni Eko. Dulu, Eko adalah panjak yang biasa membantu atau asistensi Empu Daliman…

Para penempa dari besalen Meteor Putih dari Solo, ketika menempa bakalan keris di pelataran Museum Keris di Solo, Kamis (9/8/2018) malam.
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Kami Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (Bratasura) ingin menyuguhkan bahwa konsep pelestarian tidak hanya pameran dan bursa, akan tetapi juga membuat karya, karya keris,” kata RM Agus Triatmojo, ketua panitia gelaran pameran dan tempa keris dalam rangka memeriahkan setahun diresmikannya Museum Keris Nusantara di Surakarta.
Berpuluh-puluh pameran yang ramai digelar sepanjang tahun dalam dua tiga tahun terakhir, memang lebih banyak diwarnai dengan pameran dan bursa keris semata, sembari dimeriahkan acara-acara kesenian lainnya. Namun gelaran pembuatan keris? Hampir tidak terlihat digelar. Kali ini, bahkan diramaikan dengan gelaran tempa sungguhan, lima besalen dari Solo Raya dan Jakarta.
“Hampir saja tidak jadi digelar,” ungkap Benny Hatmantoro, pegiat keris yang ditugasi RM Agus Triatmojo, untuk mengemas konsep gelaran kali ini, serta menggalang dana yang didapatkannya pada saat-saat terakhir, dari Bank Central Asia (BCA), dan sedang dalam proses sponsorship, Bank Rakyat Indonesia (BRI) ini pula.
“Sengaja kami ketengahkan dalam pameran, keris-keris baru buatan empu-empu masa kini,” ungkap Ady Sulistyono, salah satu di antara sekian penggagas pameran yang meriah dengan dentuman palu tempa, kemasan pembuat asesoris keris seperti mendhak, selut, pendhok dan juga sejumlah mranggi warangka keris. *
(Reportase Birul Sinari-Adi dan Jimmy S Harianto dari Museum Keris Surakarta)

Para penempa dari besalen Wiryocurigo, Andi dkk ketika menempa bakalan keris di hari pembukaan Gelar Lima Besalen di Museum Keris Solo, Kamis (9/8/2018) malam.
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Eva Juliana, staf Kementerian Perdagangan, ikut melakukan penempaan di besalen kehormatan, pada hari pertama Gelar Lima Besalen di pelataran Museum Keris di Solo, Kamis (9/8/2018) malam.
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Acara Wilujengan saat digelar Pameran Lima Besalen di Museum Keris Nusantara di jalan Bhayangkara Solo, Kamis (9/8/2018) malam, dipimpin Ki Ronggajati Sugiyatno.
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Salah satu sesepuh keris nasional, Wiwoho Basuki Tjokronagoro (batik warna jingga) ketika mengunjungi ruang bursa keris pada Gelar Lima Besalen di Museum Keris Solo, Kamis (9/8/2018) malam.
(KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
No Responses