Pergelaran Panji dari Tiga Negara Akhiri Festival Panji/Inao Internasional 2018

Pergelaran Panji dari delegasi tiga negara, yaitu Thailand, Indonesia, dan Kamboja yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (11/7/2018) malam lalu, mengakhiri seluruh rangkaian acara Festival Panji/Inao Internasional 2018.
Tarian klasik yang disebut Lakhon Nai berjudul “Inao-Inao Keluar dari Gua”, oleh delegasi Thailand, menjadi penampil pertama. Tarian ini merupakan drama tari istana yang dibawakan sekelompok wanita dengan gerakan elegan dan anggun. Lakhon Nai dikembangkan kembali di bawah perlindungan Raja Rama II pada awal abad ke-19.
Episode yang ditampilkan menggambarkan Inao dan Bussaba yang saling jatuh cinta dan kawin lari. Mereka kemudian bersembunyi di sebuah gua. Sayangnya, Inao harus meninggalkan Bussaba, karena ada masalah yang harus dihadapi. Inao menuju ke Kerajaan Daha dengan mengendarai kuda ditemani para pengiring.

Edi Irawan, Kepala Subdit Seni Pertunjukan Direktorat Kesenian, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sekaligus Ketua Panitia Pelaksana memukul gong sebagai tanda Penutupan rangkaian acara Festival Panji/Inao Internasional 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Penampilan kedua menjadi giliran delegasi Indonesia yang diwakili oleh Sanggar Nusa Budaya. Sanggar Pimpinan Imas Kusmiaty, dengan Penata Musik Andi Supardi ini membawakan “Sendratari Dewi Anggraeni”. Penampilan yang cukup unik, sendratari berdasar kisah Panji muncul dengan garap tari dan musik dari tradisi etnik Betawi.
“Betawinya juga kita ada yang sedikit dimodifikasi, karena di musik pun kita ada kecapi-suling. Karena kita berpikir ini Jakarta. Jakarta lebih banyak suku dan segala macamnya. Jadi kita mengkombinasi itu, tapi kita tidak lewat dari pakemnya. Dengan kostum pun kita agak sedikit dimodifikasi. Ada nuansa cinanya, bajunya juga lebih yang kekinian,” ujar Imas Kusmiaty, yang dalam pementasan ini juga berperan sebagai dalang, kepada KerisNews.com sebelum pementasan.
“Sendratari Dewi Anggraeni” menceritakan Panji Asmarabangun, yang sebelum menikah dengan Dewi Galuh Candrakirana, jatuh cinta pada Dewi Anggraeni. Di sebuah peperangan, Dewi Anggraeni terbunuh ketika mencoba membantu Panji Asmarabangun saat terdesak karena musuh yang sakti.
Sementara, persembahan terakhir dari delegasi Kamboja yang menampilkan pergelaran Tari Klasik “Inao”. Kisah ini menjadi salah satu favorit raja, dan sering ditampilkan pada 1900-an hingga akhir 1940-an, meski saat ini sudah kurang dikenal. Gerakan penari atau Kbach berupa gerakan kaki yang luar biasa, disertai nyanyian yang merdu.
Mengisahkan Pangeran Siyakra, putra Raja Daha, yang berada di hutan melihat makhluk seperti burung merak yang dikirim oleh dewa. Pangeran dan prajurit mengejar burung itu sampai di perbatasan Kerajaan Kalaing.

Tarian klasik yang disebut Lakhon Nai berjudul “Inao-Inao Keluar dari Gua”, oleh delegasi Thailand, saat Pergelaran Panji di Festival Panji/Inao Internasional 2018, Jakarta, yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (11/7/2018) malam lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Pangeran yang menyamar sebagai Yarann lantas bertemu Jenderal Pannyi (Panji) dan saudara angkatnya Sangkhanmorta. Yarann minta diperkenalkan kepada raja sebagai pelayan. Siasat diatur, sehingga Yarann mendapat dukungan dan pangkat yang tinggi. Yarann akhirnya berteman dengan Jenderal Pannyi dan Sangkhanmorta.
Taufik Rahzen, Staf Khusus/Ahli Mentri Pariwisata, yang juga menyaksikan Pergelaran Panji di hari terakhir (11/7/2018) mengatakan yang menarik dari Festival Panji Internasional ini justru yang dari luar (Thailand dan Kamboja), tari klasiknya lebih kuat. Artinya, hubungan dengan teks sangat kuat atau mengikuti teks.

“Sendratari Dewi Anggraeni” oleh Sanggar Nusa Budaya, Pimpinan Imas Kusmiaty mewakili delegasi Indonesia, saat Pergelaran Panji di Festival Panji/Inao Internasional 2018, yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (11/7/2018) malam lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Sedangkan kalau kita lihat dari Indonesia, itu interpretasinya yang lebih luas. Jadi bukan teks, kalau kita lihat. Jadi ceritanya bisa bermacam-macam. Ini menunjukkan bahwa memang ada pendekatan yang… respons berbeda terhadap kisah Panji ini di masing-masing negara,” ujar Taufik Rahzen.
Ia memberi contoh penampilan “Dewi Anggraeni”, dari delegasi Indonesia yang sangat kontemporer. Dewi Anggraeni adalah teks Panji yang sebenarnya lebih berkembang di Palembang. Kematian Dewi Anggraeni di Panji Palembang hanya bentuk lain dari penitisan Anggraeni ke Dewi Galuh Candrakirana. Sementara di “Sendratari Dewi Anggraeni”, hanya berhenti di kematian atau terbunuhnya Dewi Anggraeni. Jadi, ada yang dipotong.
“Justru menunjukkan bahwa masalah demokrasi, keterbukaan untuk menafsirkan itu jauh lebih luas. Kita tetap ada bentuk klasiknya. […] Kalau lihat Bali, Bali itu sebenarnya contoh yang paling bagus, yang berada di antara dua ini. Kesetiaan pada teks dan kemudian pada konteks. Dan itu jauh lebih hidup lagi,” kata Taufik Rahzen kepada KerisNews.com di akhir pergelaran ketiga delegasi.

Tari Klasik “Inao” oleh delegasi Kamboja, saat Pergelaran Panji di Festival Panji/Inao Internasional 2018, yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (11/7/2018) malam lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Penutupan rangkaian kegiatan Festival Panji/Inao Internasional 2018 ditandai dengan pemukulan gong oleh Edi Irawan, Kepala Subdit Seni Pertunjukan Direktorat Kesenian, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang sekaligus Ketua Panitia Pelaksana.
Festival Panji/Inao Internasional 2018 yang melibatkan tiga negara, yaitu Indonesia, Thailand dan Kamboja ini, digelar di Kota Denpasar, Pandaan, Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Yogyakarta, dan Jakarta. Selama Festival ditampilkan acara berupa Pergelaran, Workshop, Seminar Internasional, Kunjungan Budaya, Lomba-lomba, Pameran, dan Penerbitan.
Wardiman Djojonegoro, Direktur Program Festival Panji/Inao Internasional 2018, di akhir acara kepada para awak media yang mewawancarai, menegaskan bahwa pemerintah pusat hanya mendorong daerah-daerah untuk membangkitkan Panjinya sendiri.
“Jadi sesuai dengan kriteria UNESCO bahwa sebuah budaya hidup itu harus didukung oleh masyarakatnya,” kata Wardiman Djojonegoro, yang merupakan mantan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan.
No Responses