Manunggaling Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar

Manunggaling Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar
Abdullah Wong sebagai pembicara di acara Kelas Sabtuan bertajuk “Manungkali Lemahing Gusti--Sebuah Kajian Batin tentang Lemah Jaga & Kali Abang”, yang digelar oleh Rumah Belajar dan Kedai Béto di Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, Sabtu (5/5/2018) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, oleh masyarakat umum, keduanya dianggap sebagai wali. Meski begitu, mereka diberitakan sebagai sosok yang saling berlawanan. Bahkan, konon, Sunan Kalijaga merupakan eksekutor Syekh Siti Jenar. Anggapan seperti ini muncul karena informasi tentang keduanya berasal dari film atau bioskop.

Hal itu dikatakan oleh Abdullah Wong  ketika menjadi pembicara di acara Kelas Sabtuan bertajuk “Manungkali Lemahing Gusti–Sebuah Kajian Batin tentang Lemah Jaga & Kali Abang”, yang digelar oleh Rumah Belajar dan Kedai Béto di Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, Sabtu (5/5/2018) lalu.

Di Kelas Sabtuan yang khusus membahas Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar ini, Abdullah Wong memulainya dengan informasi tentang wali. Menurut Abdullah, di tradisi kita, tradisi Kapitayan, sudah dikenal yang namanya sembilan dewa. Ini merupakan pancaran dari Sang Hyang Widhi.

“Jadi, delapan penjuru mata angin dengan lokus tengahnya. Ini pancernya. Jadi delapan, sanga pancer. Bukan lagi pengetahuan tentang papat lima pancer, tapi tentang delapan sanga pancer. Dan ini Siwanya,” kata Abdullah Wong yang merupakan Pujangga dari Umah Suwung ini.

Abdullah Wong sebagai pembicara di acara Kelas Sabtuan bertajuk “Manungkali Lemahing Gusti–Sebuah Kajian Batin tentang Lemah Jaga & Kali Abang”, yang digelar oleh Rumah Belajar dan Kedai Béto di Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, Sabtu (5/5/2018) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Tradisi Kapitayan, lanjut Abdullah, sudah lama mempunyai konsep sembilan itu. Bahkan ketika tradisi Hindu-Bunda datang pun, muncul konsep Sanga yang begitu kuat. Apa-apa yang bernilai sembilan, dianggap sudah pasti yang paling baik.

“Jadi karena tradisi saat itu adalah Sembilan Dewa, begitu para wali, (…) datang, ada satu dewan, yang katakanlah mencoba untuk menggeser, menggantikan situasi itu, yang disebut Sembilan Wali,” kata Abdullah.

Kata Sembilan ini, yang Bahasa Jawanya adalah Sanga, terdapat beberapa pendapat. Pertama, Sanga yang memang berarti angka sembilan. Kedua, Tsana, dari bahasa Arab, yang artinya terpuji atau yang mulia. Jadi wali yang mulia, Wali Tsana. Ketiga, Sana yang berarti tempat. Jadi, Sembilan Wali yang menguasai suatu wilayah.

Sana itu kaitan zona atau otoritas wilayah. Karena kebetulan kata wali ya, itu juga bisa bermakna dalam pengertian walayah, bisa juga berpengertian wilayah. Kalau walayah berpengertian sebagai makomah, stasiun spiritualitas. Kalau wilayah berkaitan dengan zona atau teritori. Ini menunjukkan memang setiap wilayah itu ada walinya. Nah, ini Sana,” kata Abdullah.

BACA JUGA  Kongres Kebudayaan Indonesia 2018

Kita, menurut Abdullah, bisa menggunakan pendapat yang mana pun. Termasuk kalau tetap mau menggunakan pengertian Wali Sanga sebagaimana biasa dipahami. Dan, tentang tokoh-tokoh yang termasuk sebagai Wali Sanga, kalau memasukkan nama Syekh Maulana Malik Ibrahim pasti akan meminggirkan Syekh Siti Jenar.

Tapi kalau Syekh Maulana Malik Ibrahim itu dianggap sebagai tokoh-tokoh awal sebagaimana Syekh Datuk Kafi, Syekh Hasanudin alias Syekh Kuro, Syeh Jumadil Kubro, Syekh Zubakir, maka Syekh Siti Jenar akan masuk ke deretan nama-nama wali.

Dan, urutannya dimulai dari Kanjeng Sunan Ampel, Kanjeng Sunan Giri, Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Syekh Siti Jenar, Kanjeng Sunan Drajat, Kanjeng Sunan Gunung Jati, Kanjeng Sunan Muria, dan Kanjeng Sunan Kudus.

Nah, kata manungkali yang menjadi tema acara kali ini, seperti yang dikatakan Abdullah, maksudnya adalah manunggaling antara Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.

“Mereka yang datang ke sini justru sudah tidak lagi menampilkan kearaban, tapi justru menyadari lokalitasnya karena justru menemukan spiritualitas tauhidnya dalam konteks kejawaan,” ujar Abdullah.

Menurut Abdullah, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar sama-sama mengikuti Tarekat Akmaliyah. Tarekat Akmaliyah ini ada dua. Yaitu, Akmaliyah Kawitan dan Akmaliyah yang, bisa dibilang, merupakan tingkat lebih lanjut.

“Jadi kalau yang pertama tarekatnya kekalijagaan. Dari yang syariat menjadi tarekat pertama, sampai ketemu Dewa Ruci,” ujar Adullah yang juga merupakan Sekjen LESBUMI PBNU.

Suasana di acara Kelas Sabtuan bertajuk “Manungkali Lemahing Gusti–Sebuah Kajian Batin tentang Lemah Jaga & Kali Abang”, yang digelar oleh Rumah Belajar dan Kedai Béto di Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, Sabtu (5/5/2018) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Di Tarekat Akmaliyah lanjutan, kalau sudah bertemu dengan Dewa Ruci ini, perjalanan tidak boleh berhenti. Perjalanan berikutnya ini merupakan Tarekat Akmaliyah lanjutan yang merupakan tarekatnya Syekh Siti Jenar.

“Tapi nggak bisa langsung mengikuti tarekatnya Siti Jenar kecuali harus masuk dulu ke tarekatnya Kalijaga. Jadi gini, kalau Kalijaga kita akan mencari guru, siapa pun gurunya. Kan di situ, Werkudoro digambarkan gurunya (adalah) Durna atau Drona,” kata Abdullah.

Padahal Durna dikenal sebagai tokoh yang jahat. Menurut Abdullah, hal ini menggambarkan bahwa untuk urusan suluk, urusan spiritual, tidak penting siapa yang menjadi guru. Tidak penting gurunya seperti apa. Yang penting adalah kepatuhan dalam menjalankan suluk.

“Guru Durna itu hanya mengantarkan supaya diri si salik itu, diri pejalan itu menemukan gurunya sendiri, yaitu dirinya, yaitu Dewa Ruci. Ruh Suci, Ruci,” ujar Abdullah.

BACA JUGA  Ajaran Kepemimpinan Asthabrata Kadipaten Pakualaman

Tarekat Akmaliyah lanjutan, yaitu setelah menemukan Dewa Ruci, adalah Tarekat Syekh Siti Jenar. Di tahap ini perjalanan masih tetap berlanjut dengan melepaskan semuanya. Tidak ada lagi kemelekatan apa pun, termasuk identitas, keakuan, maupun konsep-konsep.

“Nanti yang sifatnya kesitijenaran adalah melepaskan semua, apa pun. Bahkan upaya untuk melepaskan pun harus dilepaskan. Dan, yang paling berat itu identitas-identitasnya” kata Abdullah.

Padahal, lanjut Abdullah, kita semua ini ingin tampil, mendapatkan pujian, gelar, maupun apresiasi dari orang lain bahwa kita ini baik, sholeh. Kita merasa punya kepribadian, punya kehormatan. Kita juga mematut-matut diri sedemikian rupa dengan cara apa pun. Itu benar, tapi itu tidak memengaruhi spiritualitas sama sekali.

Dua wanita berkain kebaya dan berkonde mengikuti acara Kelas Sabtuan bertajuk “Manungkali Lemahing Gusti–Sebuah Kajian Batin tentang Lemah Jaga & Kali Abang”, yang digelar oleh Rumah Belajar dan Kedai Béto di Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, Sabtu (5/5/2018) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Apa yang kita lakukan adalah supaya orang lain melihat diri kita, menilai kita seperti apa. Maka yang kita lakukan adalah upaya agar orang lain selalu memperhatikan kita. Kita ingin diperhatikan, ingin dianggap. Hal ini sebenarnya karena kita ingin diakui keakuannya.

“Kalau keakuan semakin menumpuk makin menumpuk, aku lebih kuat, aku lebih pintar, aku lebih jago, akulah paling benar. Kalau sudah kayak gitu, berakumulasi lagi, pasti akan merendahkan, menyingkirkan yang lain. Kamu hina, kamu jelek, kamu buruk. Kamu layak dijajah, kamu layak dieksploitasi dan seterusnya,  dan seterusnya,” kata Abdullah.

Mengutip Syekh Atha’illah, Abdullah mengatakan bahwa akar dari kemaksiatan, pembangkangan, kelalaian dan pemenuhan rasa sendiri, tidak lain adalah karena kita mencintai diri sendiri. Jadi akar dari semua problem adalah mencintai diri sendiri.

Bahkan, kita mau berbuat kepada orang lain pun sebenarnya itu dalam rangka membanggakan diri sendiri. Memuji orang lain pun dalam rangka membanggakan diri sendiri.

“Atau mau menampilkan kebudayaan, tradisi, agama bahkan. Tidak lain adalah dalam rangka menunjukkan kehebatannya sendiri. Nih, gua paling saleh. Nih, aku paling dekat sama Allah. Nih, aku paling spiritual. Nih, aku paling. Kalau perlu aku harus… bagaimana kostum saya, kalau perlu saya harus menggunakan aroma-aroma yang agak-agak Arabian. Kalau perlu saya harus ngomongnya selalu ada Masya AllahMasya Allah-nya, Insya AllahInsya Allah,” ujar Abdullah.

Itu semua, lanjut Abdullah, adalah kemelekatan-kemelekatan yang harus dilepaskan. Dan menariknya, berkaitan dengan kemelekatan itu, Syekh Siti Jenar tidak mengatakan harus begini, harus begitu. Kalimatnya sederhana, yaitu “Mati saja sajroning urip”.

Para peserta berfoto bersama setelah mengikuti acara Kelas Sabtuan bertajuk “Manungkali Lemahing Gusti–Sebuah Kajian Batin tentang Lemah Jaga & Kali Abang”, yang digelar oleh Rumah Belajar dan Kedai Béto di Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, Sabtu (5/5/2018) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

“Saat ini kan kita hidup, nih. Selama kita masih takut mati. Atau tidak mau mengalami mati, maka janganlah mencicipi wilayah ruhaniah yang begitu dalam, dalam dan dalam. Selama kita masih tidak mau mencicipi kematian,” terang Abdullah.

Jelasnya, menurut Abdullah, seperti layaknya orang yang benar-benar mati, baik pujian maupun celaan semestinya tidak berpengaruh sama sekali terhadap batin kita.

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.