Keris Hamengku Buwana itu Prasaja Tetapi Mrabu

Ciri khas keris Hamengku Buwanan atau keris Ngayogyakarta itu prasaja dan mrabu. Sederhana, tidak gemerlap akan tetapi berwibawa dan memancarkan sifat raja.
“Gagrak Yogya ada banyak. Akan tetapi pakemnya seperti (keris) Mataram Sultan Agung, lebih kecil namun memba-memba (memirip) Mojo,” ungkap Gusti Yudhaningrat, salah satu pengageng kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga adik kandung Sultan Hamengku Buwana (HB) X yang saat ini bertahta.
Gusti Yudho, panggilan akrab adik Sultan HB X yang banyak berkiprah di kesenian tradisional – termasuk keris dan wayang kulit – walau tugas utamanya adalah menjadi penanggung jawab atas kereta-kereta dan kuda kerajaan, mengungkapkan hal ini dalam sebuah sarasehan khusus tentang keris HB. Sarasehan terbuka untuk semua kalangan ini, dilakukan saat menerima tamunya Fadli Zon, politisi yang juga ketua organisasi perkerisan nasional, SNKI (Serikat Nasional Perkerisan Indonesia), Selasa (30/5/2018) malam.
Sarasehannya diikuti berbagai kalangan perkerisan tidak terbatas pada mereka yang berafiliasi ke SNKI, akan tetapi ada individu organisasi lain Senapati yang datang secara pribadi, termasuk juga individu pekeris dari kumpulan independen tosan aji di Jakarta, Astajaya, maupun paguyuban tuan rumah Pametri Wiji dan Mertikarta (Yogyakarta). Juga para perajin, baik mranggi maupun pembuat keris Yogyakarta dan sekitarnya.

Para pembicara Sarasehan di dalem Yudhanegaran, Yogyakarta Selasa (29/5/2018). Tamu khusus Gusti Yudhaningrat, Fadli Zon (nomor empat dari kiri) yang juga ketua organisasi perkerisan SNKI, dan para tokoh keris di antaranya sesepuh keris Yogyakarta, Adam Pratisto Jati (nomor dua dari kanan), Empu Totok serta Basuki Teguh Yuwono (nomor tiga dan dua dari kiri), serta seniman pembuat keris Pramono Pinunggul (paling kiri). Moderator sarasehan, Wisben Antoro (paling kiri) yang juga tokoh artis komedi terkemuka Yogyakarta. (KerisNews.com/Tira Hadiatmojo)
Penghayat perkerisan Ngayogyakarta, Sugeng, juga mengungkapkan hal senada – bahwa keris Ngayogyakarta itu “prasaja dan mrabu”. Pancernya “ke barat” – bisa di artikan Pajajaran, bisa juga ke arah barat dari Ngayogyakarta.
Namun keris yang menjadi simbol kerajaan mataram, adalah keris Kanjeng Kiai Ageng (KKA) Kopek, keris yang berdhapur (model) Jalak Sangu Tumpeng yang konon dulunya berasal dari Sunan Kalijaga. Kalijaga sendiri adalah salah satu dari Sembilan Wali (Walisanga) pada awal-awal Islam di Jawa.
“Kalau dari ceritanya, KKA Kopek itu pusakanya Yudistira, yang diberikan pada Sang Prabu Patah Jimbun dari Demak Bintara,” tutur Gusti Yudho dalam ceramah. Siapa yang menyengkelit KKA Kopek, dia menguasai Tanah Jawi.
Lebih dari sejam, Gusti Yudho bertutur soal keris HB sampai berbagai pusaka Kraton Ngayogyakarta, dari yang berbentuk gamelan, bende, tombak Kiai Ageng Plered, Bendera sobekan Kiswah dari Mekkah (KK Tunggul Wulung), Songsong (Payung) KK Tunggul Naga yang berjari-jari 99 buah dengan tulisan lafal Asmaul Husna, sampai kitab pandom (panduan) Prabu Nata.
“KK Suryojoyo, yang berupa kitab pandom Prabu Nata itu harus dibaca setiap raja Ngayogyakarta,” kata Gusti Yudho pula. Kitab ini berisi ular-ular HB II atau Sultan Sepuh, putra pendiri Yogyakarta HB I.
Sarasehan di dalem Yudanegaran malam itu berlangsung unik. Tamu utama sarasehan, Fadli Zon adalah putra Sumatra Barat. Namun, seperti kebiasaan utama kraton Ngayogyakarta, Gusti Yudho membawakan ceramahnya dalam bahasa Jawa mlipis, krama inggil halus. Bahasa yang tentu saja tak dimengerti begitu saja oleh Fadli Zon.
Meski demikian, sarasehan berlangsung hangat sampai lewat tengah malam. Selain sarasehan, di latar belakang penceramah, ada gelaran etalase keris yang berisi sampel-sampel keris Tangguh Hamengku Buwanan, dari HB I sampai HB VIII.
“Semoga sarasehan seperti ini bisa dilakukan setiap bulan atau dua bulan sekali, tanpa mempedulikan dari organisasi mana. Terbuka bagi semua kalangan,” kata Gusti Yudho pula.

Sampel keris-keris tangguh HB VII, salah satunya nomor tiga dari kanan adalah koleksi Gusti Yudhaningrat pemberian dari sang ayah, Hamengku Buwana IX. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)

Sampel-sampel pusaka keris tangguh Hamengku Buwana I sampai IV di sarasehan di dalem Yudhanegaran Yogyakarta pada Selasa (29/5/2018) malam. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)
Perjanjian Giyanti 1755 tidak hanya membelah kerajaan Islam Mataram di Jawa, menjadi belah dua – Ngayogyakarta Hadiningrat (dimulai dengan Sultan HB I) dan Surakarta (mulai Paku Buwana atau PB III). Akan tetapi juga mengakhiri masa independensi Mataram sejak dibangun oleh Sutawijaya 1685.
Dua hari setelah perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), yang berlangsung antara pihak penguasa Mataram diwakili Kumpeni (VOC) setelah PB II raja di Sala menyerahkan kekuasaan ke kolonial, dengan pihak Mangkubumi, saudara lain ibu. Mangkubumi setelah perjanjian, diangkat menjadi Hamengku Buwana I di Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Kanjeng Kiai Ageng Kopek sebagai wahyu ratu, sedangkan tombak Pleret sebagai wahyu senapati,” kata Gusti Yudho. Pada perjanjian Jatisari dua hari setelah Giyanti, raja Surakarta PB III menyerahkan pusaka utama Mataram, KKA Kopek kepada HB I yang juga paman PB III.
“Paku Buwana III mengusulkan agar HB I melanjutkan kostum Mataram sepuh (Senapaten dan Sultan Agung) di Jatisari,” tutur Gusti Yudho pula. Dan tidak hanya kostum saja, akan tetapi juga gaya busana kerisnya. Yogya meneruskan gaya busana keris Mataram.
Sementara Surakarta membuat gagrak baru, dengan mengadopsi busana pesisiran yang diperindah. Selain itu, kedua kerajaan bersaudara ini seperti terbelah dua, juga independensi Mataram Surakarta dan Ngayogyakarta secara de facto, berhenti.
Dalam salah satu pasal perjanjian Giyanti (1755) misalnya, para pepatih dalem maupun bupati Ngayogyakarta yang diangkat sultan, harus mendapat persetujuan dari Kumpeni (Belanda) untuk mengucapkan sumpah setiap kepada Gubernur VOC.
Ini sama halnya pemerintah kolonial melarang Sultan mengangkat pepatih dalem, atau bupatinya tanpa persetujuan Kumpeni. Dan tidak hanya independensi politik saja yang terhenti. Perjanjian Giyanti 1755 ini juga mewajibkan Sultan Yogyakarta memasok dan menjual semua hasil buminya kepada Belanda, dengan harga yang ditentukan secara sepihak. *

Menata etalase sampel keris Hamengku Buwanan, dari kiri Cakrawiyata (Ketua Umum paguyuban Astajaya dari Jakarta), Rahadi Saptata Abra (trah Diponegaran keturunan ke-6), Heru Yuwono (salah satu penyelenggara sarasehan), dan Teguh Iman Santoso anggota Mertikarta selaku perseorangan. (KerisNews.com/Tira Hadiatmojo)

Gusti Yudho ketika berbicara tentang keris-keris Hamengku Buwanan di dalem Yudhanegaran. Di samping kanan, adalah sesepuh perkerisan Yogyakarta, Adam Pratisto Jati. (KerisNews.com/Cakrawiyata)
No Responses