Mengenal Keragaman Wastra Indonesia

Lembaran-lembaran kain dari tiga daerah, dan buku-buku tentang batik dan tekstil terpajang apik di Zona Pameran yang ada di Ruang Auditorium lantai 4, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia (RI), Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, dari tanggal 8-13 Mei 2018 lalu.
Kain-kain itu yaitu, Batik Klasik Kudus Jawa Tengah, Tenun Ende dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Ulos dari Sumatra Utara. Ketiga kain dari daerah yang berbeda itu dipamerkan dalam rangka acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Komunitas Peduli Wastra Indonesia (KPWI) dan Perpusnas.
“Komunitas Peduli Wastra ini adalah sekelompok perempuan-perempuan yang memiliki, sebenarnya diawali dengan, hobi dengan kain. Jadi kami, ya suka kain, kemudian kami menggunakannya dalam berbagai kesempatan,” ujar Sinta Kaniawati, Ketua Komunitas Peduli Wastra Indonesia, kepada KerisNews.com saat ditemui di tempat acara di hari terakhir pameran, Minggu (13/5/2018) lalu.
Sinta mengatakan, Komunitas Peduli Wastra anggotanya terdiri dari berbagai profesi dan bekerja di berbagai bidang usaha. Ada yang bekerja di perusahaan, ada yang ibu rumah tangga, dan juga ada yang sebagai ahli hukum.
“Nah, kami berkumpul karena kami kebetulan kenal satu sama lain dan kita sama-sama senang kain. Kenapa nggak kita menggagas suatu acara atau menggagas suatu komunitas yang tidak hanya bisa mempromosikan, apa namanya, tentang kain tradisional Indonesia tetapi juga harapannya bisa membantu komunitas pengrajinnya di daerah asal,” lanjut Sinta.
Dan, kenapa ada kata peduli di nama komunitas, menurut Sinta, maksudnya ada tujuan yang lebih jauh dari hanya sekadar mempromosikan kain sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat lebih luas. Tetapi dengan adanya promosi juga bisa membantu meningkatkan pendapatan dan penghidupan para pengrajinnya.
Sementara, kata wastra menurut Sinta berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti kain. Kata wastra sendiri dipilih karena sangat unik.
Laman KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Daring (Dalam jaringan) mendefinisikan kata wastra sebagai kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri yang mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan. Contohnya batik, tenun, songket dan sebagainya.
“Misi kami sangat sederhana. Jadi gimana caranya agar masyarakat luas dari berbagai golongan, dari berbagai kelompok usia itu bisa mengenal kekayaan budaya melalui kain tradisional,” kata Sinta yang juga seorang praktisi bisnis, penggiat pemberdayaan masyarakat, dan pecinta wastra ini.
Indonesia memang memiliki keanekaragaman dan kekayaan budaya yang luar biasa. Dan, masih belum semuanya dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah wastra Indonesia yang menyimpan berbagai keunikan yang sangat beragam.
Batik Klasik Kudus Jawa Tengah, Tenun Ende dari NTT, dan Ulos dari Sumatra Utara adalah tiga di antara puluhan wastra Indonesia yang memiliki berbagai cerita menarik di dalamnya.
Batik Kudus yang berasal dari utara Pulau Jawa telah popular sejak era Sunan Kudus (Syekh Jafar Shodiq), di abad ke-16. Pada era itu, Batik Kudus berpusat di Langgar Dalem. Dan, terkenal dengan motif yang sangat unik, yaitu motif Langgar Dalem yang kental dengan sentuhan Islam.

Buku-buku tentang batik dan kain ikut dipajang di acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPWI dan Perpusnas, di Ruang Auditorium lantai 4, Perpusnas RI, Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, dari 8-13 Mei 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Setelah masa Sunan Kudus, di tahun 1920-an sampai 1930-an, Batik Kudus mengalami asimilasi dengan kebudayaan Cina. Muncul nama seniman seperti Liem Boe In yang memberikan warna baru pada motif Batik Kudus. Kemudian di tahun 1950-an muncul nama-nama Liem Boen Gan, Kwe Suiauw, Ok Hwa, dan Gan Tjioe Gwat ,yang juga memberi ide-ide baru dalam motif Batik Kudus.
Batik Kudus memiliki motif dan corak yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 200 ragam. Warna Batik Kudus juga mengalami evolusi. Dari awalnya didominasi warna sogan tambelakan (cokelat kehijauan) menjadi warna-warna yang cerah, seperti biru indigo, merah, hijau, dan kuning.
Dan, sejak awal dilahirkan, motif Batik Kudus ini tidak hanya mengekspresikan aspek keindahan dan detail kehalusan semata. Tetapi juga mengandung makna filosofis dan simbolis.
Selain batik, tenun ikat bukan suatu produk asing bagi rakyat Indonesia. Salah satu seni tenun yang ada di Indonesia adalah Seni Tenun Ikat Ende dari Kabupaten Ende yang terdiri dari suku Ende dan Lio.
Tiap suku Ende mempunyai keunikan masing-masing dalam hal corak dan motif. Bahkan, tiap kain yang ditenun juga unik, dan tidak ada satu pun yang sama. Motif atau pola yang ada merupakan manifestasi kehidupan sehari-hari masyarakat. Dan, memiliki ikatan emosional yang erat antara masyarakat dengan alam dan budayanya.

Salah satu Batik Kudus yang dipamerkan di acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPWI dan Perpusnas, di Ruang Auditorium lantai 4, Perpusnas RI, Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, dari 8-13 Mei 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sedangkan Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya, atau antara seorang dan orang lainnya. Seperti filsafat Batak yang berbunyi, Ijuk pengihot ni hodong, Ulos penghit ni halong. Artinya, ijuk pengikat pelepah pada batangnya, Ulos pengikat kasih sayang di antara sesama.
Pada mulanya, Ulos berfungsi untuk menghangatkan badan. Tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Bisa dikata, Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak.
Dari Batik Klasik Kudus Jawa Tengah, Tenun Ende dari NTT, dan Ulos dari Sumatra Utara, masing-masing ditampilkan 20 lembar kain. Sehingga ada sekitar 60 lembar kain yang dipamerkan. Menurut Sinta memang sangat terseleksi, karena sengaja memunculkan motif-motif khusus yang khas dari daerah masing-masing. Meski begitu, kain yang dipamerkan mulai dari yang motif tradisional dan juga, terutama Tenun Endi, yang menggunakan cara pewarnaan baru.

Tenun Ende yang dipamerkan di acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPWI dan Perpusnas, di Ruang Auditorium lantai 4, Perpusnas RI, Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, dari 8-13 Mei 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Jadi poinnya, kami memang memilih kain yang, mungkin, bukan selama ini yang sudah dikenal. Jadi kita mencoba justru menggali kain-kain yang orang justru nggak terlalu kenal gitu, justru kita ingin angkat, kita populerkan. Jadi memang salah satu misi kita untuk mempopulerkan, orang makin kenal, bisa apresiasi, mungkin membeli dan menggunakan. Itu yang diharapkan,” kata Sinta.
Selain pameran kain, pada saat pembukaan acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, di hari Selasa (8/5/2018) juga diadakan pemutaran video Batik Kudus, Tenun Ende, dan Ulos I, Fashion Show, bincang buku “Batik Kudus” karya Ibu Miranti Serad, dan bincang kain-kain Indonesia. *

Beberapa Ulos yang dipamerkan di acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPWI dan Perpusnas, di Ruang Auditorium lantai 4, Perpusnas RI, Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, dari 8-13 Mei 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Pengunjung tengah mengamati koleksi yang dipamerkan di acara “Bincang Buku Wastra & Karya Perempuan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPWI dan Perpusnas, di Ruang Auditorium lantai 4, Perpusnas RI, Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, dari 8-13 Mei 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
No Responses