Jejak Keris Gresik di Jakarta dan Surabaya

Jejak pembuatan keris di Gresik Jawa Timur boleh dibilang tidak kalah panjang dari Madura, kata Andrianto yang sehari-hari akrab disapa Mas Tok ini. Selain Gresik dulu merupakan salah satu pelabuhan penghubung kota-kota di pesisir Jawa sejak setidaknya abad ke-17 di samping Batavia di Jawa belahan Barat, Tegal di Jawa Tengah dan Tuban dan Blambangan di ujung Timur Jawa (Denys Lombard, 1996) rupanya jejak pembuatan keris di Gresik bisa dilacak setidaknya sejak awal abad ke-20. Dan bahkan, kata Mas Tok, jauh sebelum itu di era Empu Mrapen di zaman Majapahit.
“Mungkin orang tidak banyak tahu, bahwa di Gresik sudah sejak zaman dulu membuat keris-keris puthut (keris berhulu kepala besi keris sajen) dan bahkan juga kujang-kujang lama (senjata tradisional Jawa Barat), serta keris-keris kuno,” kata bapak tiga anak, Mas Tok, yang kini jadi “Lurah” (kepala) besalen GuloKlopo – tempat khusus pembuatan keris – di samping Museum Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ini, kepada KerisNews.com, Minggu (29/April/2018) di rumahnya di Cipinang Besar, Jakarta Timur.

Lurah Besalen GuloKlopo Andrianto Mas Tok (pakai ikat kepala baju hitam) ketika menerima kunjungan salah satu Pengageng Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat (jaket coklat), serta trah ke-6 Diponegoro Rahadi Saptata Abra (merah) serta Ketua Paguyuban Astajaya, Cakra Wira Wiyata (baju putih), pada Agustus 2017 silam. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)
Ketika Mas Tok mulai mengadu nasib di Jakarta pada 1989 — ikut bekerja pada kios keris milik pak Jaknal seorang tokoh perkerisan Madura di Pasar Rawabening, Jakarta Timur – terbilang sering dulu Mas Tok disuruh Jaknal mengambil keris-keris dari para pembuat keris di Gresik, untuk dijual di pasar antik, bursa pusaka di seberang Stasiun Jatinegara tersebut. Justru sebelum pak Jaknal kemudian mengambil produk-produk dari sesama teman Madura di Aengtong Tong, Madura.
“Keris-keris ukuran sejengkal, yang di pangkal bilahnya berukir naga (dengan model naga yang khas keris Gresik), pak Jaknal bisa sekali ambil 10 kodi, 20 kodi atau sekitar 400 bilah…,” tutur Mas Tok, pekeris asli Gresik yang mengaku pernah pula menjadi buruh pembuat patung perunggu di Trowulan, di situs Majapahit di Jawa Timur sebelum bertolak ke Jakarta pada 1989 itu pula.
Gresik, kata Mas Tok, bahkan pernah pada masanya menyuplai bilah-bilah keris yang dijual di Pasar Turi Surabaya, sebelum pasar ini kemudian dipenuhi keris-keris bikinan Aengtong Tong, Madura seperti sekarang ini. Dan jejak pembuatan keris Gresik itu, saat ini tinggal tersisa dua besalen saja di Jalan Sunan Giri di tengah kota, salah satunya milik keluarga Imam – pembuat keris turun-temurun dari sang kakek. Kakek Iman setidaknya membangun besalen di Jalan Sunan Giri ini sejak 1905.
Padahal, jauh sebelum booming pembuatan keris di berbagai tempat tempa di Madura pertengahan 1990-an – seperti tempa tosan aji di Palongan, Lenteng dan berkembang pesat perajin di Aengtong Tong – pembuatan keris di Gresik sudah lebih dulu eksis. Tokoh-tokoh keris Madura di Jakarta, seperti mendiang Jaknal, Margi, mranggi pak Roem yang aktif berjualan keris di Rawabening maupun Pak Awi, kesemuanya kata Mas Tok mengaku pernah belajar bikin keris di Gresik.

Imam (kiri) pemilik besalen keris dan tosan aji di Jalan Sunan Giri Gresik (kiri) dan beberapa contoh keris dan badik, serta pedang Gresik bikinan besalennya pada Juni 2017 lalu. (Kontributor/Rieta Kelvianto)
Bagi mereka yang lama menggeluti perdagangan keris seperti di Pasar Rawabening Jakarta ini, akan cepat mengenal mana keris-keris Gresik yang secara kasat mata sepintas menyerupai keris-keris kuno. Meskipun dalam proses pembuatannya, keris-keris “kuno” Gresik ini tanpa melalui proses yang dibuat kuno atau dikamal (diproses bikinan agar bilah terlihat kuno).
Salah satu rahasia keris-keris “kuno” Gresik itu terletak pada bahan bakunya. Menurut Mas Tok — yang kini rajin jadi pembikin sekaligus juga peneliti keris di Besalen (laboratorium) GuloKlopo Jakarta Timur ini sejak Agustus 2017 silam — pembuat-pembuat keris Gresik tidak pernah mau bikin keris dari bahan-bahan besi yang modern, atau besi pabrikan dari toko-toko besi.
“Mereka umumnya membuat keris dari bahan-bahan bekas ranjang besi kuno zaman Belanda, atau bekas-bekas (bangkai) kapal yang didapat dari perairan di Gresik,” kata Mas Tok pula. Slorok pun, atau “ati” (jantung di tengah bilah keris, lapisan penguat bilah di lapis tengah) kata dia, terbuat dari bekas per-per delman kuno, yang konon berasal dari mobil-mobil lawas semacam Jeep Wyllis yang kini sudah jadi mobil sangat antik.
Dengan proses pembikinan yang wajar, keris-keris bikinan Gresik ini sudah nampak seperti kuno. Tanpa harus dikuno-kunokan melalui proses kimiawi, atau proses tertentu seolah alami agar besi keris terkorosi dalam waktu yang singkat. Dan di antara tosan aji Gresik yang beredar kini di tangan para kolektor? Kata Mas Tok, banyak di antaranya pula berwujud badik-badik sejengkal, yang sepintas mirip bikinan para “panre” (pande besi) kuno dari Luwu, di Sulawesi Tengah.

Perapian sederhana di besalen keris milik keluarga Imam (sejak 1905) di Jalan Sunan Giri, Gresik pada bulan Juni 2017. (Kontributor/Rieta Kelvianto)
Pekerjaan utama Mas Tok kini, memang mengepalai sebuah “besalen laboratorium” yang digagas para penggemar keris di Jakarta, yang tergabung di Paguyuban Astajaya. Akhir tahun lalu Astajaya menghibahkan besalen itu ke pengelola Taman Mini. Lahan besalen persis di sisi samping Museum Keris TMII – museum yang memiliki display untuk ribuan bilah bekas koleksi milik mendiang kolektor besar, Haji Mas Agung pengusaha besar penerbit dan toko buku jaringan Gunung Agung.
Biaya pembangunan besalen GuloKlopo? Berasal dari dana patungan, swadaya (dari lelang keris, sampai rogoh kocek pribadi) para anggota paguyuban Astajaya – kependekan dari Ajang Silaturahmi Tosan Aji Jakarta Raya – yang dipimpin seorang pengusaha muda, Cakra Wira Wiyata. Cakra, sehari-hari adalah pemimpin sebuah importir suku cadang mobil bikinan Jerman di kawasan Casablanca, Jakarta.
Kegiatan GuloKlopo? Ya jadi laboratorium pembuatan keris, bagi pekeris-pekeris muda Jakarta dan sekitarnya – baik dalam hal pembelajaran proses tempa, maupun penelusuran serta pencatatan bahan-bahan yang dipakai untuk membikin bilah keris. Bahan tempa ada yang berasal dari besi sling, pita baja pembungkus peti kemas, besi pabrikan, baja lunak untuk pencampur pamor serta bahan khusus pamor — yang selama ini tak pernah diungkap gamblang – berasal dari knalpot-knalpot motor, terutama yang bikinan sekitar tahun 1996. Baik itu knalpot motor Honda, maupun Kawasaki, Suzuki pada akhir abad ke-20 itu. Juga, bahan-bahan pamor dari lempengan nikel murni pabrikan.
“Semua itu untuk kepentingan penelitian, maka dicatat teliti (oleh Purbo Kuncoro, salah satu dari lima awak besalen yang utama di GuloKlopo), baik spesifikasi bahannya maupun perjalanan proses pembikinannya sampai menjadi lapisan-lapisan besi tempa untuk bilah keris,” kata Lurah Besalen, yang mengaku mendapat pengalaman berharga untuk kemampuan tempa, ketika selama dua tahun 2003-2004, bekerja sama membuat kegiatan tempa, di sebuah lokasi pande golok di Banten.
“Setiap Sabtu dan Minggu, pada tahun-tahun 2003-2004 itu, saya selalu ke Banten untuk membawa arang keperluan perapian besalen (dengan mobil Panther-nya), serta menempa bareng mereka. Tak hanya bikin bilah golok, akan tetapi juga saya minta bikin tempa pamor, serta tempa keris. Beberapa bilah keris bikinan besalen golok di Banten ini masih ada yang saya simpan, sampai saat ini,” kata Mas Tok pula.

Andrianto Mas Tok (kiri) dan anggota besalen GuloKlopo Ferry Yuniwanto ketika mengoreksi rancang bangun bilah keris lurus bikinan GuloKlopo pada Agustus 2017. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)
Awak besalen yang inti di GuloKlopo TMII saat ini, memang hanya lima orang. Mas Andrianto Mas Tok yang asli Gresik, Arifin dan Adie Wanto asal Madura, Purbo Kuncoro asli Magelang dan Ferry Yuniwanto dari Solo. Semula ada enam, namun Kohin Abdul Rohim perajin keris dan jago mewarangi keris asal Jawa Timur seperti Mas Tok, belakangan mengundurkan diri karena kesibukan bisnis pribadinya.
Tidak sia-sia upaya pembelajaran seni tempa tosan aji di GuloKlopo di Jakarta Timur ini, kata Mas Tok. Setidaknya, besalen ini sudah mampu membikin keris dari nol, dari sejak pemilihan bahan, pembuatan kodokan (proses awal pembuatan bahan kasar keris sebelum di-finishing dan digerinda jadi bilah keris), serta pencatatan yang sungguh berarti bagi Kawruh Pandameling Duwung (pembikinan keris) di masa datang.
Pada Agustus silam, publik perkerisan dibuat heboh, ketika bilah keris yang pamornya terbuat dari knalpot Honda bebek 1996, laku dimaharkan dengan harga Rp 20 juta pada kolektor keris Jakarta, Taji Lestari dalam sebuah lelang 25 November 2017. Juga, dua bilah keris lain bikinan GuloKlopo yang dimahari (dibeli dalam bahasa perkerisan) senilai sekitar Rp 8juta sampai Rp 15 juta dalam lelang pada 25 November 2017 di TMII.
“Besi knalpot, jika ditempa dengan baja lunak (ratusan lipatan) bisa ‘ngindhen’ (tampil seperti berbias, chatoyant – bahasa Perancisnya). Dan jika ditempa jadi lebih 2.000 lapis? Akan menghasilkan pamor-pamor ‘nggajih’ (seperti lemak keabu-abuan, kecoklatan),” kata Mas Tok pula.
Eksperimen pertama GuloKlopo ini sempat menuai protes sejumlah perajin keris, lantaran dinilai “membuka rahasia dapur” para perajin, yang selama ini menangguk rezeki dari pembuatan keris. Padahal, di masa mendatang, bagi dunia perkerisan upaya ini justru akan menjadi catatan sangat berguna bagi anak cucu. Seperti halnya catatan orang Belanda, Isaac Groneman di zaman Hamengku Buwana VII (awal abad ke-20), yang mencatat secara detil proses pembikinan keris pesanan-pesanannya serta orderan mitra Barat-nya di Eropa. Keris-keris dalam catatan Groneman itu dibuat di besalen Pakualaman Yogyakarta antara tahun 1910-1913. Di antaranya buatan Empu Karyo Dikromo.

Sejarawan Inggris, Peter Carey (nomor dua dari kiri) dan trah ke-7 Diponegoro, Roni Sodewo (blangkonan paling kiri) ketika mereka ikut menempa di Besalen GuloKlopo pada saat peresmian 25 November 2017. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)
Hasil eksperimen lain besalen laboratorium GuloKlopo di Jakarta? Banyak tokoh terkenal, seperti sejarawan asal Inggris Peter Carey, atau tokoh-tokoh terkemuka perkerisan nasional, yang “belajar menempa” di GuloKlopo meskipun hanya sebatas merasakan panasnya besalen, ketika ikut mengayunkan martil untuk mengawali menempa kodokan.
Hasil eksperimen berikut? Kata Mas Tok, masih belum berhasil membuat “bilah hurab” dari bahan mentah baja. Namun setidaknya sudah menghasilkan beberapa bahan tempa “kelengan” (tanpa pamor) yang relatif berkualitas, hasil tempa sendiri. Bukan asal mengambil bahan jadi, seperti bekas rel lori perkebunan tebu abad 18-an, abad 19-an untuk dibuat bilah-bilah keris hurab. Akan tetapi menempa sendiri dari bahan-bahan baja.
Dan masih banyak rencana eksperimen GuloKlopo lagi, bukan untuk niat “industri” keris atau mewujudkan pesanan orang semata-mata. Akan tetapi untuk keperluan pembelajaran, demi penelusuran kawruh paduwungan para empu yang di masa silam, banyak di antaranya “menjadi rahasia kerajaan”. Dirahasiakan, karena besi, dan juga pembuatan senjata di masa silam, menjadi semacam simbol kekuasaan (Anthony Reid, 1993). Siapa yang menguasai besi, dia menguasai dunia… *

Tumpengan di depan bangunan besalen GuloKlopo pada Agustus 2017. Cakra Wira Wiyata ketua Paguyuban Astajaya (kaus abu-abu) memotong tumpeng, disaksikan sesepuh Astajaya Guntur Bledheg Samin (kopiah putih) dan Lurah Besalen, Andrianto Mas Tok (ikat kepala di kanan) bersama anggota lain di antaranya Sugiri Citro (batik nomor dua di kiri). (Kontributor/Tira Hadiatmojo)
No Responses