Tosan Aji Sebagai Gejala Bahasa bagi Masyarakat Jawa

Tosan Aji merupakan gejala budaya fisik masyarakat Jawa selain juga pakaian Jawa seperti Beskap, Surjan, Kebaya, Sinjang dan Blangkon. Namun di balik budaya fisik tersebut ada gagasan dan pemikiran yang bersifat non fisik (non material culture) yang melatari diciptanya Tosan Aji tersebut. Maka mempelajari Tosan Aji tidak cukup mempelajari benda semata (budaya fisik), namun perlu diikuti dengan mempelajari gagasan dan pemikiran di balik benda fisik tersebut.
Oleh Amos Setiadi
Levi Strauss (1990) menyatakan bahwa fenomena kebudayaan (sebagai contoh model pakaian, menu makanan, mitos, ritual) merupakan gejala kebudayaan. Kebudayaan ada yang bersifat material dan non material. Sebagai contoh buku. Buku merupakan budaya material, namun di dalam sebuah buku terdapat kumpulan gagasan atau pemikiran yang sifatnya non material atau non material culture (Turley, 2005).
Magnis Suseno (1996) menyatakan bahwa manusia Jawa mencapai kebahagiaan melalui pencarian mendalam tentang hakekat diri melalui sikap nyata yang menunjang keselarasan hidup. Falsafah hidup manusia Jawa yang mengatur: 1) hubungan harmonis antara manusia dengan alam, 2) hubungan harmonis antara manusia dengan sesama, dan 3) hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan untuk mewujudkan kebahagiaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kant (1997) bahwa di balik fenomena yang bersifat fisik dan tampak selalu ada konsep yang melatarbelakanginya yang sifatnya non fisik dan tidak tampak. Tosan Aji sebagai fenomena kebudayaan fisik, material culture, benda, atau dalam istilah yang sering dipakai oleh komunitas Pametri Wiji yaitu “barang” umumnya dipahami dalam tataran sadar (consciousness). Namun sebagian pengetahuan tentang Tosan Aji sebenarnya ada di dalam tataran nir-sadar (unconsciousness).

Ketua Pametri Wiji, KRT Poespadiningrat (dr Kunyun Marsindro SpRad) menyerahkan potongan tumpeng kepada Dr Ir Amos Setiadi, salah satu anggota paguyuban itu di rumah Joglo Komplek Makam raja pertama Ngayogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I di Imogiri. Selain berziarah ke makam raja-raja Mataram, Pametri Wiji juga mengadakan tumpengan untuk merayakan hari jadi ke-35 paguyuban tersebut. (Kontributor/Yasin Wisanggeni)
Tataran nir-sadar tersebut meliputi nilai-nilai kehidupan dibalik sebuah benda. Dikenal dengan istilah archetype. Archetype yaitu sumber asal yang mendorong motivasi seseorang dan menjadi pijakan tindakan, mempengaruhi cara pandang seseorang, pemenuhan keinginan. Alam bawah sadar kolektif menusia dikendalikan oleh archetypes.
Menurut Gustav Jung (1964), kepribadian merupakan perasaan, pikiran dan tindakan. Motivasi manusia untuk melakukan tindakan sangat dipengaruhi oleh alam bawah sadar (collective unconsciousness) dan merupakan sumberdaya naluriah jiwa dan dikendalikan oleh bentuk archetypes yang mengaturnya.
Ego manusia merupakan system yang berfungsi menentukan persepsi, pikiran dan perasaan dan berada pada tataran kesadaran (consciousness) sedangkan archetypes bergerak pada alam bawah sadar kolektif. Tidak semua orang menyadari adanya archetypes karena archetypes tidak dapat dikenali dan dilihat hanya dari apa yang tampak, namun memerlukan pendalaman. Archetypes mengendalikan dan mengatur alam bawah sadar manusia, menjadi pijakan dalam mengekspresikan keinginan dasar dan cara pandang manusia.

Anggota Pametri Wiji, Victor Mh membawa tumpeng dari Dalem Puspa untuk dibawa ke Imogiri, dalam rangka ziarah dan tumpengan hari jadi Pametri Wiji ke-35, pada 26 April 2018 lalu. Hari jadi Pametri adalah 22 April. (Kontributor/Yasin Wisanggeni)
Tosan Aji bagi manusia Jawa merupakan representasi wujud kebudayaan untuk mencapai kebahagiaan hidup. Seseorang (Laki-laki) Jawa akan lengkap hidupnya jika memiliki Wisma, Wanita, Kukila, Turangga, dan Curiga.
Tosan Aji sebagai budaya fisik memuat aspek kertaji (tangible) dan akretaji (intangible). Memahami Tosan Aji sebagai benda (barang) saja sama halnya mengisolasi Tosan Aji dari system kehidupan manusia Jawa. Maka memahami arti Tosan Aji ibarat memahami suatu Bahasa.
Hubungan antara Tosan Aji dengan manusia, hubungan antara unit dalam Tosan Aji (unit: Wilah, Mendhak, Deder, Warangka, Pendok), hubungan antara wilah dengan unit: pamor, hubungan pola-pola pamor dalam wilah merupakan susunan unit satuan lingual yang tertata. Hubungan tersebut membentuk struktur dan system. Setiap unit memiliki tempatnya sendiri dan ada keterkaitannya dengan unit lain sehingga membentuk struktur. Hubungan antar unit berbentuk linier dan asosiatif (paradigmatic) dan merupakan system.
Memahami Tosan Aji sebagai Bahasa atau teks adalah menganalogikan Tosan Aji dengan Bahasa. Makna Tosan Aji akan muncul sebagai akibat hubungan antara unit dalam satuan hubungan yang lebih besar. Dengan demikian Tosan Aji bukanlah sekedar benda (barang) mati namun dapat mengkomunikasikan pesan. Ilmu Semiotika dalam hal ini dapat dipergunakan sebagai cara memahami tanda yang ada dalam sebuah Tosan Aji, karena Tosan Aji memuat ide, gagasan (non material culture) baik dari sang pembuat (mpu) dan yang memesan (ratu, resi, wira, rakyat) sehinga menjadi medium dan ekspresi dari pesan itu sendiri.
Tosan Aji dengan demikian merupakan signifier (materi, objek, bentuk tanda) sedangkan konsep dan ide-ide sang pembuat atau pemesan merupakan signified (bukan materi). Semiologi dalam hal ini membantu kita memahami makna kultural yang tersembunyi di balik benda (Barthes, 2017) demikian pula dapat dikatakan bahwa ada pesan kultural tersembunyi di balik Tosan Aji sebagai benda atau barang.
Sebagaimana yang diketahui bersama, terdapat ragam unit dalam suatu Tosan Aji, antara lain: wilah, gandar, pesi, mendhak, deder, gandar, pendok. Sedangkan dalam unit bilah sendiri ada sub-sub unit pamor, besi. Dalam unit gandar sendiri ada sub-sub unit corak pellet dan “ruang” kosong. Maka untuk menemukan pesan kulturalnya, memerlukan identifikasi atas makna yang timbul dari susunan unit-unit dalam suatu Tosan Aji tersebut. Susunan antara unit-unit maupun antara sub-sub unit dapat membentuk suatu pola. Susunan antara unit dan antara sub-sub unit dapat didalami sehingga ketemu susunan inti dari unit-unit yang terdapat dalam suatu Tosan Aji, dan merupakan bagian terpenting karena menjadi penggerak bagi seseorang dalam memaknai Tosan Aji secara lebih luas dan menjadi makna terdalam dari Tosan Aji itu sendiri. Maka, menilai sebuah Tosan Aji yang baik tidak cukup melihat bahan, pamor dan garapnya saja karena ketiga hal tersebut hanyalah tiga dari sekian sub unit di antara sub-sub unit dan diantara susunan antar unit. Sehingga belum bisa dikatakan sebagai inti penggerak pesan kultural, sebelum Tosan Aji diidentifikasi secara menyeluruh baik benda fisik dan non fisik.
Secara diagramatis, sebagian deskripsi Tosan Aji sebagai Bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dari pemahaman singkat diatas, ada 3 interpretasi dalam deskripsi permukaan Tosan Aji, yaitu 1) hubungan manusia dengan alam, 2) hubungan manusia dan manusia, dan 3) hubungan manusia dan Tuhan.
Hubungan antara manusia dan alam muncul dalam Tosan Aji yang diciptakan dengan gagasan pencapaian harmoni manusia dengan lingkungan. Sejarah mpu Joko Sura yang banyak mencipta Tosan Aji khusus (keris Sajen) dengan kekuatan gagasan (non material culture) yang ditujukan untuk menjaga keberhasilan panen bagi lahan pertanian masyarakat agraris (terhindar dari hama) merupakan contoh hubungan pertama ini. Para petani pada masa itu meyakini Keris Sajen Joko Sura sebagai bentuk Bahasa yang menjembatani komunikasi harmoni mereka dengan alam.
Hubungan manusia dan sesama diduga menjadi bagian utama dalam memahami Tosan Aji pada tataran kesadaran (consciousness) atau pada bagian permukaan pada saat ini. Umumnya para kolektor keris mengutamakan hal ini apabila hanya bersandar pada deskripsi permukaan Tosan Aji. Tuntutan perkembangan kebutuhan (hirarki kebutuhan) yang mendorong pemilik kolektor Tosan Aji melakukan perubahan sesuai tuntutan kebutuhan supaya terakomodasi. Misalnya mengarah pada perubahan, pergantian bagian permukaan Tosan Aji yang disepakati mampu menandakan status sosial atau gengsi. Dengan demikian, konsep unsur Tosan Aji dapat menunjukkan identitas. Sebagai contoh mengganti perabot atau sandangan Keris yang lebih mewah atau mahal, menambahkan kinatah pada bilah Tosan Aji (kebiasaan jaman dulu pada masyarakat mampu). Pada masa lalu, dalam situasi tertentu representasi seseorang juga dapat diwakilkan oleh Tosan Aji atau Pusaka lainnya. Mempelai laki-laki yang tidak bisa hadir dapat diwakilkan oleh Pusaka Kerisnya, representasi Ratu dapat diwakilkan oleh Pusakanya.
Namun ada yang menekankan pada aspek spiritualitas (relasi manusia dengan Tuhan) mendorong manusia memfokuskan kepemilikan Tosan Aji dengan konsep utama spiritualitas. Seluruh pencarian bentuk bebas tetapi tetap dalam kendali spiritualitas. Dalam hal ini, perubahan deskripsi permukaan ke arah hirarki kebutuhan status social tidak diutamakan.

Tumpengan dalam rangka hari jadi ke-35 Pametri Wiji (Paheman Memetri Wesi Aji) di rumah Joglo di Komplek Pemakaman Hamengku Buwana I di Imogiri, Yogyakarta pada 22 April 2018. (Kontributor/Yasin Wisanggeni)
Dari uraian singkat ini, dapat dipahami bahwa Tosan Aji dapat dipahami sebagaimana Bahasa. Karena susunan unit-unit pada suatu Tosan Aji memiliki makna. Ada system, kategori, fungsi dan peran masing-masing. Dari unit unit tersebut dapat digambarkan kehidupan seseorang, serta nilai nilai yang mendorong seseorang. Bahasa Tosan Aji adalah Bahasa Benda dan Gagasan. Gagasan menggerakkan nilai kehidupan, gagasan menggerakkan benda, dan gagasan sebagai generator. Ada sejumlah nilai-nilai utama terkait relasi manusia. Maka, diskusi Tosan Aji semestinya komprehensif baik secara benda (material culture) dan non benda (non material culture). Disamping itu, tidak relevan jika membandingkan antar Tosan Aji yang memiliki latar gagasan penciptaan yang berbeda, karena deksripsi baik permukan, interpretasi dan deskripsi dalamnya juga berbeda.
Dr Amos Setiadi. Bergabung dalam sarasehan Pametri Wiji sejak 1988
No Responses