Wacana Kolonialisme dalam Teks-teks Nusantara

Praktek kolonialisme mendapat respon yang berbeda-beda di dalam teks-teks Nusantara. Ada teks yang menunjukkan sikap konfrontatif langsung atau resistensi. Ada pula yang ambivalen, yaitu sikap penolakan yang dibungkus dengan retorika.
Hal itu diungkap Sudibyo di acara Diskusi Nusantara III bertema “Wacana Kolonialisme dalam Teks-Teks Nusantara”, yang digelar oleh Perpustakaan Nasional RI bersama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Mannasa) Pusat, di Teater Perpustakaan Nasional RI Lantai 8, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Gambir Senen, Jakarta Pusat, Kamis (29/3/2018), pukul 09.00-12.00 WIB, lalu.
Sudibyo, doktor dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang menjadi narasumber tunggal ini membahas teks-teks tradisi yang semula ditulis dalam bahasa-bahasa daerah, terutama Bahasa Jawa dan Melayu, yang menjadi keahliannya.
Wacana kolonialisme, seperti yang dijelaskan oleh Sudibyo, dipahami sebagai sebuah sistem pernyataan yang diciptakan mengenai tanah jajahan, bangsa terjajah, dan penjajah, serta hubungan antara ketiganya. Wacana kolonialisme merupakan sistem pengetahuan dan keyakinan tentang dunia tempat berlangsungnya tindak kolonialisme.
“Kemudian dari sisi lain, nusantara adalah dunia di luar Jawa. Yang secara etimologis nusa antara berarti pulau-pulau yang lain. Ini dari Profesor Ras. Sehingga pada akhirnya nusantara dianggap sebagai wilayah negara Indonesia pada masa lampau. Saya kira ini pengertian yang lebih dominan daripada pengertian yang secara etimologis tadi,” jelas Sudibyo tentang dua terminologi yang digunakan, yaitu wacana kolonialisme dan nusantara.

Sudibyo, doktor dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, narasumber tunggal di acara Diskusi Nusantara III bertema “Wacana Kolonialisme dalam Teks-Teks Nusantara”, yang digelar oleh Perpustakaan Nasional RI bersama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Mannasa) Pusat, di Teater Perpustakaan Nasional RI Lantai 8, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Gambir Senen, Jakarta Pusat, Kamis (29/3/2018), pukul 09.00-12.00 WIB, lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sebelum membahas teks, Sudibyo menunjukkan persentuhan dengan kolonialisme yang terjadi dalam produksi naskah. Salah satunya di iluminasi (semacam ilustrasi) naskah Serat Bharatayudha dari Kadipaten Pakualaman. Di dalam iluminasi yang menggambarkan jalannya pertempuran, ditampilkan ilustrasi hibrida antara Jawa dan Belanda.
Di dalam iluminasi itu terdapat gambaran kereta dengan Arjuna di dalamnya. Sementara ada juga umbul-umbul tri warna, merah, putih, biru. Di kereta belakang terdapat bendera gula kelapa, yang mirip bendara Jepang. Menurut Sudibyo merupakan prototipe bendera merah putih yang juga bendera Kraton Ngayogyakarto.
“Jadi dalam bidang pernaskahan sebenarnya para pujangga kita, terutama yang bergerak dalam bidang artistik seperti ini sudah sedemikian rupa memanfaatkan unsur-unsur asing itu di dalam iluminasi yang dibuatnya. Tentu saja masih banyak yang lain. Tapi, tiga contoh ini, saya ingin menjelaskan bagaimana sebuah persentuhan antara inspirasi kolonial dengan lokal genius yang ada di kraton-kraton Nusantara,” ujar Sudibyo yang juga menunjukkan ilustrasi benteng tradisional di Serat Ageng Adidharma, dan ilustrasi jamuan makan di Serat Bharatayudha.
Selanjutnya, Sudibyo membahas “Syair Kompeni Walanda Berperang dengan Cina” (SKWBDC). Syair yang berlatar belakang peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa pada 1740 ini tidak berangka tahun dan tidak diketahui pengarangnya. Menurut Sudibyo, hal ini biasa di dalam dunia syair Melayu.
Di dalam syair yang secara garis besar memiliki alur sejajar dengan narasi sejarah pembantaian etnis Cina di Batavia pada 1740 ini, disebutkan prajurit VOC yang menjadi tawanan istana Kartasura dipaksa mengucap syahadat, disunat, dipaksa memakai pakaian a la Jawa, dan dijadikan pegawai istana Kartasura.
“Saya kurang tahu persis apakah ini bisa dilacak secara historis. Tapi teks saya mengatakan begitu bahwa dalam syair itu, prajurit VOC yang ditawan kemudian diperlakukan seperti itu dan dijadikan sebagai orang Islam, diberi istri dan sebagainya,” kata Sudibyo.
Sementara, penulis syair menggambarkan orang-orang Tionghoa dengan stereotipe sosok-sosok yang positif dan juga negatif. Misal, digunakan kata-kata semacam, garang, berani. Tetapi juga ada kata-kata, kaparat salah hati, gila kaparat, dan juga si kutuk laknat anjing celaka.
Di syair yang alurnya ditekankan pada kontestasi antara Himop (Van Imhoff) dengan Palkenir (Valckenier) dan perlawanan laskar Cina ini, etnik seperti Madura dan Bali, juga disebut dengan aneka nama penghuni kebun binatang.
Tapi sebaliknya, Pangeran Madura yang marah setelah membaca surat permintaan takluk, memaki utusan Himop dengan makian “alperes anjing Welandi”. Meski begitu, Himop tetap dicitrakan sebagai “harimau garang” yang piawai memimpin pasukan dalam peperangan. “Harimau jantan” yang tak bisa dilawan, tapi pada dasarnya seorang yang mudah menaruh “belas kasihan”.

Suasana acara Diskusi Nusantara III bertema “Wacana Kolonialisme dalam Teks-Teks Nusantara”, yang digelar oleh Perpustakaan Nasional RI bersama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Mannasa) Pusat, di Teater Perpustakaan Nasional RI Lantai 8, Jl Medan Merdeka Selatan No 11, Gambir Senen, Jakarta Pusat, Kamis (29/3/2018), pukul 09.00-12.00 WIB, lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Contoh lain yaitu “Hikayat Mareskalek”, yang didedikasikan Abdullah Bin Muhammad Al-Misri kepada Daendels. Abdullah melalui fokalisator Daendels mencoba menjustifikasi dan menjelaskan jalan pikiran Daendels ketika yang bersangkutan menjalani tugasnya sebagai Gubernur Jenderal di Jawa.
“Isinya antara lain bahwa Jawa digambarkan mengalami kemunduran dan dekadensi moral. […] Karena dikatakan di Jawa tidak ada ulama dan orang saleh. Bahkan, apabila ada seorang ulama yang saleh dan taat kepada Allah datang ke Jawa, dia akan menjadi fasik. Sementara jika orang itu fasik dia akan menjadi kafir. Pendeknya, segala kemaksiatan tumbuh subur di Jawa. Dalam hikayat itu digambarkan seperti itu,” ujar Sudibyo.
Kondisi seperti itu, seolah, membuat kemunculan sang mesiah, yaitu Tuan Besar Jenderal Mareskalek (baca : Herman Willem Daendels) dan bangsa kulit putih, akan membawa cahaya terang bagi penduduk pulau Jawa. Jenderal Mareskalek dengan sukacita dan bijaksana memerintah Jagat Tanah Jawa.
Dan, fokalisator di hikayat ini menilai bangsa-bangsa di bawah angin, yaitu bangsa kulit hitam, khususnya Jawa, sebagai “orang dunia pun bukan, orang akhirat pun bukan”. Sedangkan orang kulit putih digambarkan sebagai orang yang tegas, cerdik, efisien, dan tidak mengumbar nafsu seksual.
Sedangkan orang kulit hitam menjadi tidak cerdas karena nafsu seksualnya berlebihan. Tidak mau belajar, hanya mementingkan kesenangan semata seperti berburu, bermain catur, dan membaca hikayat serta syair.
Ada yang menarik di Hikayat Mareskalek ini, yaitu ketika ada protes dari seorang bangsawan kepada Daendels karena mengangkat orang biasa menjadi pejabat yang agak penting.
“Diprotes itu, kenapa orang dari kalangan kebanyakan kemudian kamu angkat menjadi pejabat penting,” kata Sudibyo menirukan protes bangsawan itu.
Jawaban Daendels, “Lu orang Cirebon makan udang terasi. Lu orang bodoh lagi tidur, mengapa mengajarkanku orang yang jaga cerdik, makan daging dan minyak sapi”.
“Ini saya kira memang Abdullah mencoba untuk memotret situasi real, pada waktu itu orang-orang Belanda itu kalau berkomunikasi dengan orang-orang bumiputra memang dengan Bahasa Melayu Pasar. Karena dia tahunya hanya kata gue dan lu dan seterusnya. Dia tidak ada keperluan untuk belajar Bahasa Melayu secara bagus,” terang Sudibyo saat di forum tanya jawab ditanya tentang penggunaan gue dan lu di Hikayat Mareskalek.
“Syair Kompeni Walanda Berperang dengan Cina” dan “Hikayat Mareskalek”, menurut Sudibyo, adalah syair-syair yang ambivalen. Tidak jelas sikapnya. Di Hikayat Mareskalek, contohnya, Daendels yang telah menampilkan dirinya sebagai tuan susuhunan kemudian didatangi oleh Sunan Kalijaga. Daendels merasa ketakutan kemudian berziarah di makam para wali, dimulai dari Cirebon sampai terakhir di Demak. Jadi ada kekalahan Daendels atau Mareskalek di tangan Sunan Kalijogo.
Teks-teks lain yang kemudian dibahas yaitu Syair Perang Mengkasar, Syair Perang Siak, Babad Diponegoro koleksi Perpusnas, Babad Diponegoro yang semula koleksi T Roorda, dan Babad Surapati. Yaitu teks-teks yang menunjukkan perlawanan .
Di Syair Perang Mengkasar, sebagai contoh, menurut Sudibyo dari segi isi mengkritik secara keras praktek kolonialisme Belanda di Makasar dengan sebutan seperti Welanda Syaitan, si la’nat Allah, Amiral kutuk kafir yang bachil, Welanda iblis, Kapitan murtad, Welanda kuffar, Welanda kafir yang bain, yang secara terang–terangan menjelaskan kedudukan antagonis mereka di mata para pemeluk agama Islam.

Para peserta berfoto bersama setelah acara Diskusi Nusantara III bertema “Wacana Kolonialisme dalam Teks-Teks Nusantara”, yang digelar oleh Perpustakaan Nasional RI bersama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Mannasa) Pusat, di Teater Perpustakaan Nasional RI Lantai 8, Jl Medan Merdeka Selatan No 11, Gambir Senen, Jakarta Pusat, Kamis (29/3/2018), pukul 09.00-12.00 WIB, lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Sementara, di Babad Diponegoro koleksi Perpusnas, salinan dari naskah yang, konon, ditulis oleh Pangeran Diponegoro sendiri pada 20 Mei 1831 atau 5 Februari 1832 pada masa pembuangan di Manado ini, dalam salah satu episode awal Perang Jawa, ada satu gambaran ketika Selarong baru saja digunakan sebagai ajang pertempuran.
Untuk orang yang gugur di pihak Pangeran Diponegoro, digambarkan, “Jenazah (layon) Mas Lurah tertelungkup seperti tertidur, tidak seperti orang mati, tubuhnya masih utuh. Tidak ada bekas (hunjaman) anak panah, hewan pun tidak ada yang menghampirinya, tubuhnya berbau harum gaharu dan cendana.”
Dan, untuk orang di pihak Belanda, gambarannya, “Adapun mayat (bangke) para kafir, dimangsa anjing dan burung gagak, sultan tidak tahan mencium bau mayat-mayat itu.”
“Jadi bangkai, kalau tadi disebut jenazah, layon, tapi kalau ini cukup bangkai, bangke. Di situ saja sudah menunjukkan bagaimana persepsi tertulis pada waktu itu terhadap wacana kolonialisme,” ujar Sudibyo, yang juga menambahkan bahwa gambaran itu masih dipertegas lagi di bait-bait tembang yang lain.
Sudibyo mengatakan bahwa dalam teks-teks yang menolak praktek kolonialisme Belanda yang ada di Nusantara, perlawanan berupa peperangan frontal antara bangsa bumiputra dengan Belanda atau sesama bangsa bumiputra. Ungkapan yang menempatkan Belanda dan sekutunya sebagai musuh yang wajib diperangi dikemukakan untuk melegitimasi peperangan yang dikobarkan.
“Sebutan Belanda kafir dan sejumlah makian untuk para sekutu bumiputra mereka, digunakan untuk melegitimasi peperangan yang dikobarkan. Dengan menempatkan pihak lawan pada posisi seperti itu, kualitas peperangan yang dilakukan oleh narator disederajatkan dengan perang di jalan Tuhan atau perang sabil,” kata Sudibyo yang juga dari Mannasa Cabang Yogyakarta ini.
Menurut Sudibyo, babad-babad kraton biasanya lebih kooperatif dibandingkan dengan yang ditulis di luar keraton.
Diskusi Nusantara yang diselenggarakan tiap bulan oleh Perpusnas dan Mannasa ini, menurut Aditia Gunawan, panitia acara, tema-temanya disesuaikan dengan perkembangan yang paling penting di bidang Filologi dan kontekstual, yang relevan, dengan zaman sekarang. *
No Responses