Sultan Agung, Raja Mataram yang Bikin Keki VOC

Sultan Agung, Raja Mataram yang Bikin Keki VOC
Para pemandu dan peserta diskusi di acara Jagongan Seloso bertema “Sultan Agung—Sang Penakluk dan Penggubah Budaya Jawa Terbesar”, yang digelar di Rumah Belajar dan Kedai Béto, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria), Selasa (27/3/2018) malam silam. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Sultan Agung, dikatakan, bisa menjadi salah satu role model ideal, bagaimana seharusnya memimpin sebuah bangsa. Sebagai penguasa, dia mampu memosisikan diri. Dia bisa berkoordinasi dan bekerjasama dengan asing. Tapi juga tahu kapan saatnya ketika asing ini harus dilawan.

Hal itu diungkap saat acara Jagongan Seloso bertema “Sultan Agung—Sang Penakluk dan Penggubah Budaya Jawa Terbesar”, yang digelar di Rumah Belajar dan Kedai Béto, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria), Selasa (27/3/2018) malam lalu.

Acara yang dikemas dalam bentuk diskusi santai atau jagongan ini menghadirkan Mas Donneh, Faris Rusydi A, Fikri M Ghazi dari Grup Teles (Telesejarah), dan Donny Satryowibowo, sebagai pemandu dan pemantik diskusi.

Sosok Sultan Agung saat ini tengah menjadi perhatian karena ada yang mengangkat kisah Raja Mataram ini ke dalam film. Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan acara Selasa Jagongan mengangkat tema Sultan Agung.

Diskusi berangkat dari dua peran penting yang dimainkan Sultan Agung selama berkuasa yang tercatat di dalam sejarah, yaitu sebagai seorang penakluk dan penggubah budaya, Jawa terutama. Bahkan ditengarai, “Jawa” yang kita kenal sekarang ini sebagian besar adalah gubahan Sultan Agung.

Faris Rusydi A, Mas Donneh dari Grup Teles (Telesejarah), dan Donny Satryowibowo, sebagai pemandu dan pemantik diskusi di acara Jagongan Seloso bertema “Sultan Agung—Sang Penakluk dan Penggubah Budaya Jawa Terbesar”, yang digelar di Rumah Belajar dan Kedai Béto, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria), Selasa (27/3/2018) malam lalu.

“Dia juga bisa menempatkan kapan seseorang itu dirangkul dan kapan seseorang itu harus dilibas. Bagaimana cara merangkul yang nyaman dan bagaimana cara menindas yang kejam. Kita bisa melihat itu pada sosok Sultan Agung,” ujar Faris Rusydi tentang sosok Sultan Agung.

Sebagai penguasa Mataram saat itu, menurut Mas Donneh, Sultan Agung merupakan sosok penakluk yang dikagumi. Bahkan mendapat respek tersendiri dari orang-orang Belanda, dalam hal ini VOC (Verenigde Oostindische Compangnie) atau Perserikatan Dagang Hindia Timur.

Faris Rusydi juga mengamini kalau Sultan Agung merupakan seorang penakluk atau agresor dan sekaligus juga pembentuk Budaya Jawa. Meski begitu, menurutnya, yang perlu digaris-bawahi, hal itu tidak terjadi dalam satu waktu. Dalam pengertian, tidak menjadi seorang agresor sekaligus budayawan.

Jadi, semacam ada fase perubahan-perubahan. Sultan Agung sempat mengalami fase ketika sangat berkuasa, sangat berambisi. Tapi juga mengalami fase ketika dia menyadari kehidupannya sudah tidak lama lagi. Dan itu yang membuat ada beberapa perubahan pandangan hidup.

“Namun saya meyakini satu hal bahwasanya seorang Sultan Agung itu bukanlah seorang yang bisa dikatakan seorang penjajah atau seorang penguasa yang benerbener agresif. Itu tidak. Tetapi dia selalu merancang segalanya itu dengan manis, dengan cantiklah kalau saya katakan,” ujar Fariz Rusydi.

Faris lantas memberi contoh ketika Sultan Agung menyerang Surabaya. Ketika itu tidak langsung ada pengerahan pasukan Mataram yang menyerang atau mengepung Surabaya. Tapi wilayah seperti Madiun, Malang, Pasuruan, Lumajang, dan Wirasaba (dekat Mojokerto) sedikit demi sedikit dikuasai.

BACA JUGA  Panembahan Sumolo, Raja Sumenep yang Pandai Bikin Keris

Daerah-daerah itu merupakan basis pertanian Surabaya, sehingga suplai beras habis. Setelah itu, masih belum langsung menyerang. Sultan Agung lantas mengadakan kerjasama dengan Sukadana di Kalimantan Barat Daya, dan sekaligus menyerang Madura. Tujuannya, untuk menutup jalur perdagangan.

“Langkah berikutnya adalah membendung sungai Brantas. Akhirnya Surabaya kalah. Kalahnya tidak dengan perang tapi kelaparan. Nah, di situ sebenarnya kita melihat bahwasanya apa yang dilakukan oleh Sultan Agung, dia sangat menunjukkan kedigdayaannya bukan dengan upaya penaklukan tetapi lebih kepada penyerahan. Orang atau lawan utamanya dia, dipaksa untuk menyerah,” ujar Faris.

Contoh lain yang muncul saat diskusi yaitu ketika Sultan Agung menguasai Giri Kedaton, sebuah kerajaan yang ada di sekitar Gresik. Saat itu, Giri merasa memiliki hak semacam pemberi legalitas kekuasaan kepada para sultan atau raja yang dilantik, bahkan sampai di Maluku.

Posisi Giri Kedaton yang seperti itu membuat Mataram menjadi sungkan jika menguasai Giri. Apalagi Sunan Kalijaga yang menjadi panutan di Mataram adalah semacam junior Sunan Giri. Setelah Sultan Agung berhasil menguasai Surabaya, lantas menikahkan Pangeran Pekik.

Dan kebetulan, Pangeran Pekik ini adalah murid di Ampel Denta. Sehingga bisa dibilang Pangeran Pekik masih termasuk trah Sunan Ampel, yang merupakan guru Sunan Giri.

“Dari situlah akhirnya kemudian pada tahun 1636, seingat saya, Sultan Agung kemudian mengutus Pangeran Pekik untuk memimpin pasukan ke Giri Kedaton. Dan, hasilnya menang,” kata Faris menerangkan bagaimana pernikahan juga menjadi salah satu unsur penting di dalam kekuasaan Sultan Agung.

Sultan Agung, bisa dibilang, merupakan penguasa yang memikirkan semuanya. Sehingga orang barat, dalam hal ini VOC, menjadi keki karena seperti tidak ada celah untuk menyerang Mataram di masa kekuasaan Sultan Agung. Karena semua diperhitungkan oleh penguasa Mataram ini.

“Beliau itu sangat detil. Dan itu mengejutkan. Karena Beliau sempat tidak menjadi raja. Dan dia sempat seleh menjadi kiai di padepokan, di pesantren. Karena yang menjadi raja itu kakaknya. Tapi kakaknya tidak panjang umur, sakit keras kemudian wafat. Beliau dijemput, dari keraton dengan jemputan kebesaran,” kata Donny Satryowibowo, yang biasa dipanggil dengan nama Romo Donny.

Bahkan, Sultan Agung, menurut catatan orang-orang Belanda, dianggap sebagai orang yang cerdas. Selain itu juga sosok yang tegas, keras. Sehingga kalau orang melihat Sultan Agung, kesan yang muncul kalau tidak takut ya segan. Di mata orang Belanda pun Sultan Agung bukan sembarang raja. Sosok istimewa yang patut diperhitungkan.

“Itu kenapa Belanda lebih mudah masuk ke Mataram ketika masa Amangkurat ketimbang masa Sultan Agung. Mereka benerbener seperti, apa ya, lebih menghargai yuridiksi Mataram ketika itu, ketimbang era Amangkurat. Jadi, memang ketika era Sultan Agung ini di kalangan orang Belanda sendiri juga mereka mau macam-macam sama Mataram juga pikir-pikir,” kata Mas Donneh.

BACA JUGA  Pesona Keris-Keris Ganan di Museum Pusaka TMII

Dan, masih menurut Mas Donneh, penggambaran sosok Sultan Agung yang ada di catatan Belanda itu tidak jauh berbeda dengan yang ada di Serat maupun Babad. Sumber atau kisah tentang Raja Mataram ini memang berasal dari Serat, Babad, dan juga dari catatan orang-orang Belanda.

“Sultan Agung, kenapa kok dia memang layak dipanggil agung, besar. Itu lebih karena pencapaian dia dalam hal penguasaan Jawa itu lebih daripada Panembahan Senopati. Itu yang pertama,” ujar Faris Rusydi.

Yang kedua, lanjut Faris, yaitu relasi Sultan Agung sebagai simbol, bahwa raja sebagai wakil Tuhan, itu lebih terasa. Dan yang ketiga, karena relasi simbolik dan juga gelarnya yang sangat agung tadi itu, menyimbolkan seolah-olah Sultan Agung tidak boleh dan tidak bisa kalah.

Sementara, Romo Donny memaklumi kalau ada yang menganggap hampir sembilan puluh persen Jawa yang sekarang sumbernya adalah hasil polesan Sultan Agung. Karena memang hampir semua, seperti tari, gamelan, gending, motif batik, dan termasuk juga bahasa, yang membangun Sultan Agung. Sehingga agak berbeda dengan zaman sebelumnya.

Suasana acara Jagongan Seloso bertema “Sultan Agung—Sang Penakluk dan Penggubah Budaya Jawa Terbesar”, yang digelar di Rumah Belajar dan Kedai Béto, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan (Kompleks Griya Patria), Selasa (27/3/2018) malam lalu.

Sedangkan, Faris melihat bahwa pengaruh Sultan Agung yang paling terasa sampai sekarang adalah tentang penanggalan Jawa. Penanggalan ini, menurutnya, merupakan hasil kompromi antara orang-orang pesisiran dengan orang-orang pedalaman.

Sultan Agung, menurut Faris, adalah orang pedalaman. Orang gunung yang berbasis agraris. Bahkan tidak kenal budaya maritim. Sangat dekat dengan kaum petani dan sangat kejawen. Dalam arti, menghormati dan menjunjung tinggi Budaya Jawa.

“Di satu sisi ketika Sultan Agung berkuasa, dia sering kali menghadapi pemberontakan dari orang-orang pesisiran. Kalau kita hitung ada, Demak pernah, Pati pernah, Giri sering, Surabaya sering. Satu-satunya pesisiran yang mau tunduk dan mau patuh itu hanya Cirebon,” terang Faris Rusydi.

Dan, orang-orang pesisiran ini, menurut Faris, memiliki kultur Islam yang sangat kuat. Terutama di bawah komando Giri Kedaton. Juga adanya persinggungan dengan dunia internasional yang lebih banyak terjadi di wilayah pesisir.

Penanggalan Jawa, kata Faris, menjadi dalah satu rekam jejak Sultan Agung, tentang bagaimana kompromi bisa tercipta. Sehingga proses mempengaruhi masyarakat itu tidak perlu dilakukan melalui jalan perang. Terlepas adanya pemberontakan. Yaitu dengan menciptakan sesuatu yang dekat dengan masyarakat, salah satunya adalah penanggalan.

“Apa yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah menggabungkan kultur penanggalan orang-orang pesisir yang berbasis Hijriah atau lunar sistem. Itu dengan kultur penanggalan orang-orang Jawa pedalaman yang berbasis tahun Saka, saat itu yang dipakai,” terang Faris.

Menariknya, penanggalan Jawa ini menjadi basis budaya yang diadopsi oleh keraton sendiri. Sehingga dikenal Grebeg Mulud, yang dilaksanakan setiap Mulud. Setiap kali perayaan di keraton menggunakan tahun Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung.

“Dan itu secara efek menimbulkan, apa ya, dari segi masyarakat itu sendiri bisa menerima dan ikut merayakan bersama-sama juga. Tidak perlu mengalami perbedaan perayaan antara orang pesisiran dengan orang pedalaman. Itu salah satu kompromi budaya yang, saya katakan, karya yang paling wah dari seorang Sultan Agung,” kata Faris Rusydi.

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.