Perempuan-Perempuan Borobudur

Relief-relief di candi Borobudur memiliki banyak cerita. Selain menyimpan kekayaan warisan tak-benda berupa pesan kebudipekertian dan kerohanian, di panel-panel relief di candi Borobudur itu, sosok perempuan seringkali muncul. Sosok perempuan ini bahkan mendominasi di sepanjang relief candi Borobudur.
Sekitar 37 karya, dua dan tiga dimensi, yang memadukan seni rupa dan seni sastra, hadir sebagai tanggapan atas relief-relief yang ada di candi Borobudur. Karya-karya itu dipajang di Pameran Seni Rupa, kolaborasi rupa dan sastra, bertajuk “Perempuan (di) Borobudur”.
Pameran yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No 14, Jakarta Pusat, dari 20 Februari – 5 Maret 2018, merupakan kerja sama Galeri Nasional Indonesia dengan Dyan Art Studio, bersama perupa Dyan Anggraini dan penyair Landung Simatupang. Pameran dibuka oleh Nia Dinata, tokoh perfilman Indonesia, Selasa (20/2/2018) pukul 19.00 WIB.
Menurut Suwarno Wisetrotomo, sang kurator, pameran seni rupa karya Dyan Angraini dan puisi atau prosa lirik karya Landung Simatupang merupakan kolaborasi yang menggugah. Dua seniman dengan disiplin yang berbeda, saling mengisi dan melengkapi.

Pengunjung tengah mengamati karya berjudul “Lumbini”, di Pameran Seni Rupa “Perempuan (di) Borobudur”, yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No 14, Jakarta Pusat, dari 20 Februari – 5 Maret 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Apa itu perempuan di Borobudur? Dari diskusi kami yang intens melalui banyak cara. Tema itu dipicu oleh rasa terpukau bahwa relief Borobudur, perempuan dominan. Dari seluruh ribuan kilometer, dari seluruh ribuan panel, dari dua lapis Kamadhatu dan Rupadhatu, faktanya adalah perempuan dominan menarasikan riwayat indah itu ketika Siddhartha Gautama memutuskan menjadi Sang Budha,” kata Suwarno saat memberi sambutan di pembukaan pameran.
Masih menurut Suwarno, dalam perjalanan selanjutnya kedua seniman tidak hanya berhenti pada perempuan di dalam relief. Karena mereka berdua juga menyoroti perempuan yang ada di sekitar Borobudur. Tepatnya para perempuan di desa Klipoh, yang letaknya tidak jauh dari candi Borobudur.
“Ada perempuan Klipoh yang menghidupi diri dan keluarganya dengan gerabah sederhana. Bagi keduanya (Dyan dan Landung), juga bagi saya ketika berdiskusi, itu ironi-ironi dalam kehidupan kebudayaan kita,” ujar Suwarno.
Sementara, Dyan dan Landung sendiri mengakui bahwa mereka tertarik dengan sosok perempuan yang acapkali muncul di panel-panel relief candi Borobudur. Gagasan dasar mereka berdua adalah menanggapi relief-relief yang ada di candi Borobudur.
“Ini menarik perhatian kami sehubungan dengan siapa atau apa yang mereka representasikan, dan peran mereka dalam narasi yang dipampangkan dalam rangkaian panel relief,” tulis mereka dalam Sekelumit Catatan yang dimuat di buku pameran.
Di dalam narasi Lalitavistara, misalnya, yang bercerita tentang kehidupan Siddhartha Gautama. Ada sosok Ratu Maya, perempuan luhur yang mengandung dan melahirkan Siddhartha Gautama, di Taman Lumbini, yang kemudian menjadi Sang Buddha. Ratu Maya ini mangkat tujuh hari setelah melahirkan. Pangeran Siddhartha kemudian diasuh oleh adik Ratu Maya, Prajapati.
Di sisi lain, hadir perempuan-perempuan yang disuguhkan oleh Prajapati kepada Pangeran Siddhartha di istana. Harapannya, Sang Pangeran membatalkan keinginannya meninggalkan istana beserta segala kemewahan dan kenikmatannya, demi menjadi petapa.

Pengunjung tengah mengamati karya berjudul “Transformasi” di Pameran Seni Rupa “Perempuan (di) Borobudur”, yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No 14, Jakarta Pusat, dari 20 Februari – 5 Maret 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Salah satu panel relief menggambarkan para perempuan yang menjadi umpan itu tidur bergelimpangan selagi Pangeran Siddhartha, diam-diam dan muak meninggalkan mereka dan istana. Di sini perempuan itu ibu. Perempuan itu umpan, dan juga korban.
Kemudian, ada lagi rangkaian panel relief Avadhana, yang menarasikan Pangeran Sudhana dan Putri Manohara. Putri ini adalah sosok kinnari, yaitu makhluk perempuan dari dunia atas, bertubuh burung dan berkepala manusia. Tapi mampu mengubah wujud menjadi manusia sepenuhnya.
Putri Manohara diperistri Pangeran Sudhana dari Kerajaan Pancala Utara. Karena penderitaan dan bahaya mengancam jiwanya di Pancala Utara, Manohara terpaksa pulang ke dunia atas, meninggalkan suaminya. Tapi berkat kesetiaannya dan cinta sejati suaminya, kedua sejoli akhirnya bersatu kembali.
Cerita awal perjumpaan Putri Manohara dengan Pangeran Sudhana, terjadi ketika Manohara dipersembahkan oleh Halaka kepada Sang Pangeran. Halaka adalah seorang pemburu yang berhasil menangkap Putri Manohara dengan jerat. Saat itu Manohara sedang mandi di telaga bersama para pengiringnya. Para pengiringnya berhasil meloloskan diri, kembali ke dunia atas.
Di sini, perempuan itu yang dihasratkan, yang dijerat, dan yang dipersembahkan. Tapi juga inspirasi kesetiaan dan ketabahan.
Relief lain menunjukkan sosok perempuan membawa setangkai lotus bertangkai panjang. Ini merupakan relief Dewi Tara, dewi welas asih, sebagai bodhisattva. Dalam ajaran Buddha, bodhisattva mengacu pada makhluk yang membaktikan diri demi kebahagiaan makhluk lain di alam semesta. Dapat pula diartikan sebagai “calon Buddha”.

Karya berjudul “Hong”, yang merupakan tafsir lapis Arupadhatu, di Pameran Seni Rupa “Perempuan (di) Borobudur”, yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No 14, Jakarta Pusat, dari 20 Februari – 5 Maret 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
Ada banyak cerita dalam tradisi Buddhisme tentang kemunculan Dewi Tara sebagai bodhisattva. Singkatnya, gender bukanlah penghalang dalam upaya mencapai pencerahan.
Dyan Anggraini dan Landung Simatupang juga menengok candi Mendut, sekitar tiga kilometer dari Borobudur. Upacara dan ritual Waiçak memperingati tri hari suci Buddhis, yaitu kelahiran, pencerahan, dan wafat Gautama Buddha, melibatkan candi ini.
Di candi Mendut, di dinding selatan dalam bangunan candi, terdapat relief yang menggambarkan Hariti. Kisah Hariti adalah tentang raksasa perempuan dengan 500 anak, tetapi suka makan manusia. Dengan bantuan Buddha, Hariti berubah menjadi sosok penyayang anak, pemurah dan keibuan. Meski ia tetap bertaring, seperti yang ditampilkan di panel relief.
“Menuju Borobudur dari Mendut setelah menyimak relief Hariti, kami mencatat betapa prosesi Waiçak dari Mendut ke Borobudur bisa juga mengingatkan pada perjalanan proses transformasi Hariti,” ungkap Dyan dan Landung dalam catatannya.
Dyan dan Landung, di sini, juga mencatat bahwa dari sosk Hariti ini, perempuan itu kekuatan kelenturan mengubah diri.
Dari situs tujuan wisata yang, pada saat-saat tertentu, begitu riuh meriah, kedua seniman dari Yogyakarta ini bergerak ke dusun sentra kerajinan gerabah. Yaitu dusun Klipoh, yang lokasinya tidak jauh dari candi Borobudur.
Dusun ini terasa menarik. Karena ada cerita dari rakyat setempat bahwa di dusun ini dulu para perempuan memasak untuk para pekerja yang membangun Borobudur. Bahkan, para perempuan di dusun ini pula, 12 abad silam, yang membuat alat-alat masak berupa gerabah.
Selain menemukan tempat pembuatan kerajinan gerabah yang dilengkapi ruang pajang dan toko, Dyan dan Landung juga berjumpa dengan ibu-ibu pembuat gerabah berusia 50-60 tahun. Rumah mereka yang sempit sekaligus menjadi tempat kerja. Tidak ada ruang pajang produk.
“Di depan rumah salah seorang dari mereka, tampak dijemur tak sampai 10 benda gerabah kecil yang sedang dalam proses pengerjaan. Terkesan remeh. Ibu-ibu itu tampak dekil dan hampir tak pernah senyum. Terkesan letih dan ringkih,” catat Dyan dan Landung.
Suwarno Wisetrotomo, sebagai kurator pameran, mengatakan bahwa karya seni adalah sembilu tajam, yang dapat menikam pelan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, keangkuhan, kepongahan, kekacauan, termasuk memiliki daya gugat terhadap keterpinggiran para korban.
“Itulah yang tampak mencuat dari karya-karya seni rupa Dyan Anggraini dan puisi/prosa lirik Landung Simatupang : gugatan senyap mewakili para perempuan yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi,” ujar Suwarno, menutup catatannya. *

Landung Simatupang membaca beberapa puisi karyanya di pembukaan Pameran Seni Rupa “Perempuan (di) Borobudur”, di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No 14, Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2018) malam. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Pengunjung tengah mengamati karya berjudul “Bunda Perkasa”, yang berbentuk perahu kertas di Pameran Seni Rupa “Perempuan (di) Borobudur”, yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No 14, Jakarta Pusat, dari 20 Februari – 5 Maret 2018. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
No Responses