Nguri-Uri Aksara Jawa

Nguri-Uri Aksara Jawa
Donny Satryowibowo, atau Romo Donny, tengah mengenalkan aksara Jawa di acara Sabtu Nguri//Uri “Aksara Jawa I” yang digelar oleh Kedai Béto dan Griya Patria, Sabtu (27/1/2018) sore, di Pendopo Alit Griya Patria, Jl Pejaten Barat 16, Jakarta Selatan. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Di masa sekarang ini, rupanya, masih banyak yang berminat untuk bisa menulis dan membaca Aksara Jawa. Buktinya, Kelas Sabtuan yang digelar oleh Kedai Béto dan Griya Patria, Sabtu (27/1/2018) lalu, di Pendopo Alit Griya Patria, Jalan Pejaten Barat 16, Jakarta Selatan, dengan tajuk Sabtu Nguri//Uri “Aksara Jawa I”, ramai peminat.

“Kami kaget, persiapan lima hari. Nuwun sewu sampai luber-luber, gitu… Kami buka itu cuma 25 (peserta), yang sudah masuk sampai sekarang 32. Dan, itu ada yang whatsappwhatsapp (untuk mendaftar) lagi terus,” kata Anda Wardhana, Ketua Penyelenggara acara Sabtu Nguri//Uri “Aksara Jawa” dan sekaligus Juragan Kedai Béto kepada KerisNews.com, sesaat sebelum acara dimulai.

Kelas Aksara Jawa ini direncanakan berlangsung sampai empat kali pertemuan. Menurut Wardhana, setelah kelas keempat, para peserta diharapkan bisa kenal dan mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari. Di akhir kelas nanti akan ada semacam ujian dan peserta akan mendapat sertifikat.

Acara Sabtu Nguri//Uri “Aksara Jawa” yang terbuka untuk semua kalangan dan usia ini juga cukup unik. Ada kode busana yang disyaratkan diikuti para peserta, yaitu busana Jawa. Baik itu batik, lurik, iket, blangkon, jarik, kebaya, dan busana Jawa lainnya. Selama acara juga disajikan cemilan dan minuman tradisional.

“Kebetulan kan saya memang orang Jawa. Tapi di usia saya ini saya merasa pengetahuan tentang Jawa, suku saya ini, ibaratnya sudah kurang sekali. Jadi begitu ada acara semacam ini, yang ibaratnya kita diajak untuk belajar mengenai sejarah, mengenai Jawa, suku kita sendiri, saya tertarik sekali. Terutama setelah mengikuti kelas pertama ini saya semakin tertarik,” ujar Yudi, salah satu peserta Kelas Aksara Jawa, yang lahir di Jakarta, 42 tahun yang lalu.

Suasana acara Sabtu Nguri//Uri “Aksara Jawa I” yang digelar oleh Kedai Béto dan Griya Patria, Sabtu (27/1/2018) sore, di Pendopo Alit Griya Patria, Jl Pejaten Barat 16, Jakarta Selatan. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Di pertemuan pertama para peserta memang dikenalkan dengan sejarah, serta pengenalan aksara Jawa dan juga cara penulisan, dengan pembicara Donny Satryowibowo, atau biasa dipanggil Romo Donny, yang merupakan Pengasuh Seni dan Budaya di Universitas Indonesia (UI), dan Sejarah Budaya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

BACA JUGA  Tasyakuran Penetapan Hari Wayang Nasional

Menurut Romo Donny, aksara Jawa termasuk aksara-aksara lain yang ada di Nusantara berakar dari aksara Palawa. Karena akulturasi dengan India, bersamaan masuknya agama Hindu dan Budha. Diperkirakan pada awal-awal masehi.

“Dari Palawa itu yang menjadi aksara-aksara di Sumatra, itu ada aksara Rejang, Karo, Toba, Kerinci, lalu aksara Lampung. Terus aksara Bugis. Termasuk aksara-aksara di Pulau Jawa, aksara di Jawa Barat ya, aksara Sunda, Sunda Kuno, terus aksara Jawa, aksara Bali dan lain-lain,” terang Romo Donny yang juga aktif di paguyuban perkerisan.

Aksara Palawa dengan Bahasa Sanskerta di Nusantara, paling tua, ditemukan di Kutai, Kalimantan. Seiring waktu, menurut Romo Donny, masing-masing raja atau kerajaan membuat gaya aksara sendiri-sendiri. Sehingga muncul perbedaan aksara di tiap daerah.

“Khusus di Pulau Jawa, masuk ke kerajaan Tarumanegara, masih pakai Palawa juga, masuk ke Mataram Hindu-Budha itu, dinasti Sanjaya-Syailendra. Nah nanti, bahkan bisa dikatakan, setiap abadnya berubah. Sampai akhirnya ke arah zaman Majapahit, aksara Majapahit. Nanti ada aksara Bali Kuno, terus ada aksara Bali. Masih mirip dengan aksara Majapahit,” ujar Romo Donny.

Aksara Palawa, menurut Romo Donny, terdiri dari 39 sampai 42 huruf. Karena di India sendiri, aksara Palawa juga banyak jenisnya. Nah, aksara Jawa hanya mengambil 20 huruf. Jadi ada sisa huruf. Sisa huruf ini kemudian dipakai sebagai huruf besar yang disebut aksara Murdo, dan juga dipakai sebagai huruf rekan.

Aksara Jawa

Salah seorang peserta acara Sabtu Nguri//Uri “Aksara Jawa I”, tengah berlatih menuliskan aksara-aksara Jawa di buku tulis. (KerisNews.com/Birul Sinari-adi)

Dari segi pemakaian, aksara Jawa ini sebenarnya tidak terbatas hanya untuk menuliskan Bahasa Jawa. Dengan memanfaatkan aksara rekan, dari sisa-sisa aksara Palawa, menurut Romo Donny, aksara Jawa bisa dipakai untuk menuliskan Bahasa Indonesia, Arab, Belanda, Inggris. Termasuk ejaan Cina.

BACA JUGA  Sukesi: Dari Rahimnya, Lahir Biang Kejahatan

“Karena masuk juga pengaruh Cina dalam pewayangan. Kita temukan naskah-naskah wayang Cina, ya kisah-kisah Cina seperti Lim Swi Jun, Sin Jin Ku itu yang ditulis dengan huruf Jawa naskahnya,” kata Romo Donny yang juga merupakan Koord Divisi Sastra, Folklor, Permainan Didaktik di Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) PBNU.

Di kelas Aksara Jawa ini Romo Donny juga menceritakan kisah Ajisaka. Di dalam cerita rakyat, kisah Ajisaka dianggap berkaitan erat dengan munculnya aksara Jawa. Kisah Ajisaka, intinya, bercerita tentang perjalanan Ajisaka disertai dua orang abdi. Kedua abdi ini kemudian justru saling berkelahi sampai sama-sama tewas karena salah paham. Cerita kematian dua orang abdi ini yang memunculkan aksara Jawa.

“Dari saya sendiri itu sebenarnya monumen yang memperingati momentum pemangkasan itu tadi. Jadi, dari aksara Palawa yang terlalu banyak dipangkas menjadi dua puluh dengan cerita itu. Kalau menurut saya, dan banyak juga yang berpikir seperti itu,” kata Romo Donny. *

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.