Ki Roni Sodewo, Penjaga Semangat Diponegoro

Ki Roni Sodewo, Penjaga Semangat Diponegoro
Ki Roni Sodewo berpose di depan peta buatan Belanda di masa Perang Diponegoro (1825-1830). Peta digunakan oleh pihak Belanda untuk mengatur strategi perang melawan pasukan Pangeran Diponegoro. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Tidak mudah mengumpulkan sebuah keluarga yang telah turun-temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun. Apalagi, sejak awal, keluarga itu memang telah terpisah dan tercerai-berai. Tapi itulah yang dilakukan oleh Ki Roni Sodewo, keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro.

Setelah hampir satu abad lebih, sejak wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855), anak turun Diponegoro tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Keturunan Pangeran Diponegoro, khususnya dari anak lelaki, menyebar di Jawa, Ambon, dan Makasar. Di Pulau Jawa sendiri ada di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Purworejo, Banyumas, dan Bogor.

Hal itu bisa dimengerti, selain telah berlangsung lama, setelah Perang Jawa (1825-1830) berakhir, muncul trauma di pihak Belanda dan juga di kalangan istana. Baik di Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta.

Hal yang sama dialami keturunan Pangeran Diponegoro. Terutama, karena Belanda kemudian menjadikan keturunan Diponegoro sebagai orang buruan. Bahkan empat anak laki-laki Pangeran Diponegoro ditangkap, dan kemudian menjadi tahanan kota.

Sementara dua anak Pangeran Diponegoro, yaitu Ki Sodewo dan Pangeran Joned, yang berada di luar istana  tetap melakukan pemberontakan. Hal ini dikhawatirkan bisa memengaruhi empat saudara lainnya. Sehingga keempat anak laki-laki Pangeran Diponegoro akhirnya dibuang ke pengasingan.

Sementara anak-anak perempuan Pangeran Diponegoro mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Tapi mereka justru ditarik ke lingkungan istana, dan dinikahkan dengan pejabat-pejabat keraton Yogyakarta. Tujuannya agar lebih mudah mengawasi dan memutus jalur silsilah Pangeran Diponegoro.

“Sekarang ini, levellevel keturunan ke-5, 6, 7, itu sudah menyebar. Sudah seluruh dunia. Bahkan keturunan Diponegoro itu ada yang rambutnya sudah pirang,” ujar Ki Roni yang lahir di Jakarta, 1969, dan sering mendatangi tempat-tempat atau petilasan Diponegoro yang disebutkan di Babad Diponegoro.

Di luar negeri, menurut Roni Sodewo, keturunan Diponegoro ada di Arab, Serbia, Australia, Jerman, dan Belanda. Tapi, menurut Roni, apakah mereka masih paham tentang sejarah Diponegoro atau bahkan sudah melupakannya, tidak diketahui dengan pasti.

Jadi, ibarat “Ngumpulke Balung Pisah” (mengumpulkan tulang-tulang terpisah). Tapi, jika ungkapan Jawa itu memiliki makna mendekatkan kembali saudara yang telah terpisah jauh lewat pernikahan. Maka Ki Roni merekatkan kembali keturunan Pangeran Diponegoro yang telah saling berjauhan itu, bahkan sudah tidak saling mengenal lagi, dalam sebuah paguyuban.

Ki Roni Sodewo di Kulonprogo pada November 2017

Ki Roni Sodewo ikut tampil di acara Tabligh Akbar saat acara “Gebyar Semaken”, Tingalan Pangeran Diponegoro ke-232 di Banjararum, Kalibawang, Kulongprogo, DI Yogyakarta, 9-11 November 2017. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Roni melakukan tugas yang tidak ringan itu karena mendapat mandat dari para sesepuh. Ceritanya, di tahun 2004, ia mendadak disuruh pulang oleh ayahnya. Saat itu ia tengah bertugas di Pekanbaru. Ki Roni pun memenuhi keinginan ayahnya itu.

“Saya pulang. Ternyata sudah ada beberapa sesepuh yang berkumpul di rumah. Kemudian secara resmi Bapak saya menyampaikan sebuah catatan yang dibuat oleh Kakek saya. Jadi, ketika Kakek saya meninggal, itu mewariskan sebuah bambu yang di dalamnya itu adalah surat tanah, dan yang satunya adalah silsilah. Dan, di situlah baru Bapak saya membuka secara resmi, siapa sebenarnya kami ini,” cerita Ki Roni, bapak dua anak ini.

Semasa kecil, Roni Sodewo memang belum mengetahui kalau ia adalah keturunan Pangeran Diponegoro. Kakek dan juga ayahnya tidak pernah mengatakan informasi itu secara langsung. Mereka hanya menyebutkan nama Sodewo.

Siapa itu Sodewo? Saat itu Ki Roni pun tidak tahu dengan pasti. Ia dapat informasi yang beragam. Misal, Sodewo adalah orang dekat Diponegoro. Sodewo adalah pemimpin yang melawan Belanda di bawah kepemimpinan Diponegoro. Ada pula yang mengatakan Sodewo adalah anak Diponegoro. Jadi Ki Roni tidak pernah mendapat informasi yang jelas dari orang tuanya.

“Mungkin tujuan mbah kami, tujuan orang tua kami, supaya tidak ada rasa sombong, tidak ada rasa bangga berlebihan. Nanti justru menimbulkan ria, mungkin. Dan, mungkin mereka anggap belum siap. Tetapi yang saya tahu bahwa cerita tentang Sodewo itu menjadi cerita legenda di Kulonprogo,” ujar Ki Roni Sodewo, tentang kenapa waktu ia masih kecil orang tuanya tidak memberitahu bahwa mereka keturunan Pangeran Diponegoro.

BACA JUGA  Jokowi: Selamatkan Tradisi dan Naskah-naskah Kuno

Nah, di pertemuan dengan para sesepuh itulah Roni Sodewo baru mengetahui bahwa ia adalah keturunan Pangeran Diponegoro. Saat itu pula para sesepuh mempunya perasaan bahwa hanya Ki Roni yang bisa dan mau meneruskan sejarah. Tepatnya, menelusuri dan mengumpulkan keturunan Diponegoro.

Untuk melaksanakan mandat dari para sesepuh dan orang tua, Roni Sodewo rela meninggalkan pekerjaan yang cukup mapan. Tahun 2006, ia telah bertugas di Jayapura. Satu tahun kemudian, yaitu 2007, ia mengajukan permohonan mengundurkan diri. Dan, di tahun 2008 ia resmi mundur dari Departemen Keuangan dan kembali ke Kulonprogo.

Langkah pertama yang Ki Roni lakukan adalah mencari informasi tentang keberadaan keturunan Pangeran Diponegoro. Perkembangan teknologi rupanya juga membantu usahanya ini. Adanya internet dan terutama sosial media, membuat Ki Roni mulai bertemu dengan keturunan Diponegoro lainnya.

“Kemudian, dengan media online, dengan facebook terutama, saya akhirnya bisa dipertemukan. Masing-masing kelompok sudah saling berkumpul. Tetapi masing-masing kelompok ini belum pernah bertemu. Itu permasalahannya. Maka, selama hampir sepuluh tahun ini, dari 22 putera (anak) Pangeran Diponegoro, yang sudah ketemu garis keturunannya itu dari 17 putera. Yang satu jelas tidak punya keturunan karena meninggal muda, yang empat belum ketemu keturunannya,” ungkap Ki Roni kepada KerisNews.com.

Lebih detilnya, menurut Roni Sodewo, Pangeran Diponegoro memiliki 12 anak lelaki dan 10 anak perempuan dari pernikahan dengan delapan istri. Pernikahan pertama Diponegoro terjadi tahun 1803, saat masih tinggal di Tegalrejo. Saat itu Pangeran Diponegoro menikah dengan RA Retno Madubrongto.

Pernikahan Pangeran Diponegoro dengan istri yang kedelapan berlangsung tahun 1828, yaitu ketika menikahi RA Retnaningrum. Saat Diponegoro ditawan dan lantas dibuang ke pengasingan, tercatat masih memiliki empat istri. Yaitu, RA Retnodewati, RA Ratnaningsih, RA Retnokumolo, dan RA Retnaningrum. Dan, hanya RA Ratnaningsih yang kemudian mengikuti Pangeran Diponegoro di pembuangan.

Lengkapnya, kedelapan istri Pangeran Diponegoro yaitu, RA Retno Madubrongto, RA Supadmi atau RA Ayu Retnokusumo, RA Retnodewati, RA Citrowati, RA Maduretno, RA Ratnaningsih, RA Retnokumolo, dan RA Retnaningrum.

Ki Roni Sodewo dan Wakil Bupati Kulonprogo pada November 2017

Ki Roni Sodewo, Wakil Bupati Kulonprogo, dan Kepala Desa Banjararum berfoto bersama setelah penyerahan buku “Perjuangan Pangeran Diponegoro—Antara Nasionalisme, Spiritualisme, dan Budaya” yang ditulis oleh Ki Roni Sodewo. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Cerita Ki Roni Sodewo mencari keturunan Pangeran Diponegoro di dunia maya sangat menarik. Fasilitas chatting di Facebook, mempertemukan Ki Roni dengan seorang keturunan Diponegoro di negeri yang sangat jauh.

“Saya chatting dengan seseorang yang bernama, menurut saya sangat lucu, sangat aneh. Namanya Alexander tapi di belakangnya Diponegoro, tinggalnya di Serbia. Ini lucu, aneh,” cerita Ki Roni Sodewo yang dididik ibunya hanya sampai usia 14 tahun dan kemudian tinggal bersama keluarga ibunya. Seperti halnya Diponegoro, yang sejak usia tujuh tahun tinggal bersama nenek buyutnya.

Dari percakapan lewat sosial media itu, Roni Sodewo akhirnya tahu kalau Alexander Diponegoro memang keturunan Pangeran Diponegoro. Mereka kemudian berjanji untuk ketemu di tahun berikutnya.

Sebenarnya, saat itu, Ki Roni Sodewo masih lebih mengurusi keluarga Sodewo.

Dan, belum terlalu perhatian ke keluarga besar Diponegoro. Ia membuat organisasi dan pertemuan rutin untuk keluarga Sodewo.

Dan, Ki Roni selama setahun itu terus mencari keturunan Diponegoro lewat internet. Setelah ketemu atau mendapat informasi di internet, ia tidak segan untuk mendatangi atau bertemu langsung. Ki Roni mencari tahu bagaimana ceritanya, dan mencatatnya. Setelah itu ia mencocokkan dengan sejarah yang ada.

“Karena banyak orang-orang yang mengaku keturunan Diponegoro tetapi hanya satu keluarga. Ini yang menurut saya aneh. Masa keturunan cuma satu keluarga. Jadi kalau saya melakukan penelusuran, ya pengakuan keluarga Diponegoro itu ya sebuah keluarga besar. Tapi kalau cuma satu keluarga, ini biasanya, mohon maaf, mengada-ada,” ujar Ki Roni yang saat ini bekerja di Pemda Kabupaten Kulonprogo.

BACA JUGA  Dipati Ukur yang Disalahkan

Satu tahun kemudian, sejak percakapan di facebook, Roni akhirnya bertemu langsung dengan Alexander Diponegoro di Yogyakarta. Ia mengajak Eyang Alex, begitu Ki Roni memanggilnya, bertemu dengan para sesepuh trah Sodewo. Ki Roni juga menunjukkan silsilah Sodewo dari Pangeran Diponegoro.

“Di situ saya diprotes sama Eyang Alex bahwa kamu tidak adil. Tidak adil bagaimana Eyang? Harusnya semua kamu masukkan keturunan Diponegoro, tidak hanya Sodewo. Nah, caranya bagaimana eyang? Saya nggak kenal. Ya, kamu harus cari. Toh kamu sebelumnya tidak kenal dengan saya, tetapi kamu bisa bertemu dengan saya,” cerita Ki Roni menirukan percakapannya dengan Alexander Diponegoro.

Singkat cerita, Ki Roni menceritakan kepada Eyang Alex apa yang selama ini ia kerjakan sehingga akhirnya bisa bertemu dengannya. Eyang Alex kemudian meminta Ki Roni untuk melanjutkan pencarian keturunan Diponegoro, seperti yang telah dilakukan.

Karena Eyang Alex akhirnya tahu bahwa selama melakukan pencarian Ki Roni menggunakan warnet (warung internet), maka Eyang Alex lantas memberi “modal”. Agar Ki Roni bisa pergi ke warnet, mencari saudara-saudaranya, sesama keturunan Pangeran Diponegoro.

“Dan betul, uang satu juta itu betul-betul saya habiskan dalam waktu kurang lebih delapan bulan. Dan Alhamdulillah, saya ingat itu tahun 2010. Itu seperti dituangkan dari langit, bermunculan trah Diponegoro. Saya cari, saya ajak chatting, saya inbox, saya kirim email, saya cari blogblog yang menyangkut tentang Diponegoro. Akhirnya, pada saat itu baru ketemu dengan delapan keturunan Diponegoro,” kata Ki Roni Sodewo yang mengakui bahwa salah satu kendala menelusuri keturunan Diponegoro adalah soal biaya.

Setelah mulai terkumpul keturunan Pangeran Diponegoro, menurut Ki Roni, semangat menjadi muncul. Banyak cita-cita, banyak keinginan. Ada yang ingin membuat film, ada yang usul membuat pertemuan rutin, ada yang usul memperingati hari lahir dan wafatnya. Termasuk semakin diketahuinya sejarah para keluarga.

Ki Roni Sodewo dan keturunan Pangeran Diponegoro kemudian membentuk sebuah organisasi, yaitu PATRA PADI (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro), sejak dua tahun lalu, yang berpusat di Tegalrejo, Yogyakarta. Dan, Ki Roni Sodewo menjadi Ketua Umum yang pertama.

Roni Sodewo menyadari organisasi seperti PATRA PADI adalah organisasi yang tidak ada gajinya, tidak menguntungkan secara materi. Tetapi kalau dilakukan secara bersama-sama, menurut Ki Roni adalah suatu investasi. Investasi kebaikan, menularkan dan menyebarkan semangat Diponegoro kepada generasi berikutnya.

Ki Roni Sodewo dan keturunan Diponegoro dari Ternate pada November 2017

Ki Roni Sodewo bersama keturunan Pangeran Diponegoro dari Ternate tengah berfoto bersama anak-anak pemenang lomba mewarnai tingkat TK di acara “Gebyar Semaken”, Tingalan Pangeran Diponegoro ke-232 di Banjararum, Kalibawang, Kulongprogo, DI Yogyakarta, 9-11 November 2017. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

PATRA PADI, sebagai paguyuban Trah Pangeran Diponegoro, menaungi keturunan Diponegoro baik dari garis lelaki maupun perempuan. Menurut Ki Roni, kata trah itu berasal dari tumuruning rah, turunnya darah.

“Seseorang lahir itu karena darahnya bapak dan ibu. Saya juga pasti mengakui Nenek saya yang dari Ibu saya, itu juga Nenek saya. Nenek saya juga akan marah kalau saya dicubit. Nenek dari Ibu saya. Artinya, yang namanya trah itu baik dari laki-laki maupun perempuan. Dan itu di keraton diakui,” kata Roni Sodewo.

Namun, Ki Roni mengakui masih banyak keturunan Diponegoro yang tidak mau belajar tentang Diponegoro. Mereka hanya sekadar bangga menjadi keturunan dan mempunya nama belakang Diponegoro.

“Jangan hanya sekadar bangga menjadi keturunannya, tetapi juga ayo kita jaga semangat Diponegoro. Jangan hanya bangga menggenggam abunya tapi mari kita jaga nyala apinya,” harap Roni Sodewo yang memang sudah bertekad menapak tilas dan mencari penyebaran keturunan Diponegoro, bahkan seandainya organisasi Trah Diponegoro berhenti sekalipun.

Roni Sodewo melihat justru masyarakat di luar trah Diponegoro ikut mengangkat nama Diponegoro. Dan ia juga banyak dibantu oleh komunitas-komunitas di luar keturunan Diponegoro. Seperti Komunitas Kota Tua Magelang, Kopi Kola, Yayasan Wahyu Pancasila, Pekatik di Magetan, dan Karang Taruna di Kasongan.

Upaya menularkan dan menyebarkan semangat Diponegoro ini, menurut Ki Roni, kalau dikerjakan bersama-sama, akan membuahkan sebuah generasi yang baik. Tidak hanya tentang Diponegoro, tapi juga semangat pahlawan-pahlawan yang lain.

“Misalnya, di tempat lain ada keturunan Jendral Sudirman yang juga menularkan semangat Jendral Sudirman… Seandainya semua keturunan pahlawan itu menjaga nyala api nenek moyangnya, saya yakin Indonesia ini akan menjadi negara yang hebat,” tegas Ki Roni Sodewo yang ingin menulis tiga buku lagi, salah satunya, tentang sosok-sosok  keturunan Diponegoro yang ada saat ini, yang bisa dijadikan inspirasi bagi keturunan Diponegoro lainnya. *

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

2 Responses

  1. AbuMay 24, 2018 at 12:03 amReply

    I’m looking for ki roni sodewo

  2. Gerakan Melek Sejarah (Gemes) 2019, Direktorat SejarahMarch 24, 2019 at 12:13 pmReply

    […] Peter Carey sebagai pembicara utama.  Sebagai pembahas hadir Mikke Susanto (ISI Yogyakarta) dan Ki Roni Sodewo (Patra Padi : Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro). Bedah buku ini akan dimoderatori oleh Dr. Agus […]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.