Matematika di Balik Keris Gajah Singa

Adakah kaitan antara keris dan matematika? Pertanyaan menggelitik ini rupanya membuat seorang ahli matematika muda lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Prabowo untuk menulis buku “Pakubuwono Code” (2014) dan bahkan lebih jauh, mendorong ia membuat disertasi doktoralnya tentang Matematika Realistik.
Terlepas dari inspirasi “The Da Vinci Code” (2006) yang menggemparkan dunia, namun upaya sarjana matematika kelahiran Gombong, Kebumen di Jawa Tengah ini menarik. Lantaran, ia serius menelusuri rahasia matematika di balik sengkalan-sengkalan memet pada candi-candi, bentuk bangunan, sengkalan-sengkalan pada karya-karya sastra kuna dan bahkan motif tinatah keris yang menurut Agung, bukan sekadar motif hiasan. Akan tetapi menyimpan rahasia yang harus diurai. Bahwa motif hiasan Gajah Singa itu sebenarnya adalah kode-kode kronogram dan kriptogram yang dinamai Sengkalan, atau kode-kode sandi yang disembunyikan dalam bentuk ornamen. Ini tidak hanya ada di hiasan keris, akan tetapi juga terdapat pada bangunan candi-candi dalam bentuk Sengkala Memet.
Disinyalir, tulis Agung Prabowo, pengetahuan matematika yang dikembangkan manusia Jawa ini juga dikembangkan oleh etnis lain di Nusantara, seperti etnis Sunda dan Melayu (Sriwijaya). Bahkan bisa jadi mereka lebih dulu menggunakannya. Hanya saja manusia Jawa masih terus mempertahankan penggunaan pengetahuan matematika dalam kriptogram dan kronogram itu secara luas. Tidak hanya terlihat jejaknya di keraton-keraton modern, Surakarta dan Yogyakarta saja. Akan tetapi juga sampai ke pemerintahan Soeharto pun, masih terus memakai kebiasaan sengkalan. Semisal dalam menandai pembangunan bangunan modern pada masa pemerintahannya.

Beberapa contoh motif tinatah di wuwungan ganja keris, dari kiri motif Motif Mliwis Mbathang, Bantheng Singa, Gajah Singa dan Banyak Sajodho. (Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar, 2006)
Salah satu penggunaan sistem desimal matematika terdapat misalnya, pada Sengkala Memet pada keris pemberian Sultan Agung pada mereka yang pernah berjasa menumpas pemberontakan Adipati Pragola di Pati di abad ke-17. Wilayah pesisir utara Jawa Tengah ini, dulu lama tak pernah bisa dipadamkan pemberontakannya oleh penguasa Mataram. Bahkan semenjak era pemerintahan Panembahan Senapati (Sutawijaya), sebelum Sultan Agung. Angka tahun 1636 M itu mungkin adalah saat pemberiah penghargaan, dan bukan tumpasnya pemberontakan. Sebab, pemberontakan Adipati Pragola itu sudah tumpas saat meninggalnya Sang Adipati pada 1627 M.
Motif tinatah Gajah Singa di wuwungan ganja (bagian bawah langit-langit dasar keris dekat pegangan), merupakan perwujudan dari Sengkala Memet dari sebuah tahun peringatan. (Memet itu sophisticated. Red). Dan agar bisa dibaca bilangan tahunnya, orang lebih dahulu harus mengubah Sengkala Memet itu menjadi Sengkala Lamba, atau dalam bentuk rangkaian kata-kata. Dan untuk bisa memahami Sengkala Lamba, orang harus lebih dulu mengenal “watak bilangan” (watak wilangan) terlebih dulu.
Hiasan tinatah Gajah Singa di wuwungan ganja bilah keris pemberian tanda jasa oleh Sultan Agung itu jika dibaca secara Sengkala Lamba, akan berbunyi “Gajah Singa Keris Siji”, atau bisa juga Gajah Singa Curiga Tunggal. Sengkala Lamba dibaca dari kiri ke kanan, akan tetapi untuk pengartian angka tahun yang disembunyikan, dibaca dari kanan ke kiri. Itupun masih harus dikonversi lagi, ditambah 78 tahun untuk menjadi angka tahun Masehi.
Bilangan tahun yang muncul pada Sengkala Lamba, Gajah Singa Curiga Siji, adalah tahun 1558 tarikh Jawa. Atau kalau dikonversi jadi tahun Masehi (untuk perhitungan pada masa itu) menjadi tahun 1636 Masehi. Angka 1558 Tarikh Jawa (Çaka) itu muncul dari Watak Bilangan sebagai berikut.
Kata Gajah memiliki watak bilangan 8, sedangkan Singa watak bilangannya 5, dan Keris wataknya 5, Tunggal atau Siji tentunya berwatak 1. Dengan demikian, Sengkala Lamba yang mengunjuk angka tahun itu adalah, Gajah (8), Singa (5), Keris (5), Siji (1). Maka diperoleh angka 8551. Jika dibaca dari sisi kanan, untuk membaca angka tahun, menjadi 1558 Tarikh Jawa (Çaka). Ditambah 78 menjadi 1636 Tahun Masehi.

Salah satu contoh keris tangguh Sultan Agungan yang dihiasi tinatah Gajah Singa. Merupakan Sengkalan Memet tahun Jawa 1558. (Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar, 2006)
Apakah Agung Prabowo sendirian yang menyimpulkan, bahwa keris bertinatah Gajah Singa yang dituturkan dulu berawal dari pemberian tanja jasa Sultan Agung itu adalah motif Candra Sengkala? Dan bukan sekadar hiasan atau ornamen emas belaka?
Rupanya Pangeran Hadiwidjojo (1961) pun berpendapat demikian. Cucu dari raja Surakarta, Paku Buwana X ini – menurut catatan pakar keris Ir Haryono Haryoguritno (2006) dalam bukunya Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar – mengatakan bahwa motif tinatah Gajah Singa pada wuwungan ganja sejumlah keris-keris Mataram itu merupakan Sengkalan yang berbunyi Gajah Singa Keris Siji atau (dibaca terbalik) tahun Jawa 1558 yang jika dikonversi jadi tahun Masehi menjadi 1636 M.
Hadiwidjojo, menurut Guritno, berpendapat bahwa angka tahun itu (1636 M) menandai Mataram di bawah Sultan Agung Anyakrakusuma, memberi penghargaan pada mereka yang dulu berhasil menumpas pemberontakan Kadipaten Pati. Pemberontakannya sendiri dipadamkan pada tahun 1627, tahun meninggalnya Adipati Pragola II. Karena itu, menurut Hadiwidjojo, bentuk Singa dan Gajah ini sering dianggap sebagai dua kekuatan yang bermusuhan. Singa dimaksudkan sebagai lambang Mataram (dengan tafsir: Singa nggero, mengaum, atau gertak pasukan Mataram), sedangkan Gajah dianggap melambangkan Kadipaten pati (dengan tafsir: Gajah nggiwar, yang berarti gajah menghindar karena takut). Bedah Pati, membuat Kadipaten ini kemudian takluk di bawah kekuasaan Mataram Sultan Agung.

Panggung Sangga Buwana yang berbentuk segi 8 di sisi kiri kori Kamandungan Kraton Surakarta Hadiningrat, itu juga memuat Candra Sengkala Memet sebagai penanda pembangunannya. (Dokumentasi Istimewa)
Ahli matematika yang masih muda, Agung Prabowo ini menelusuri berbagai contoh soal Matematika Realistik yang ada dalam tradisi Jawa. Ada berbagai hal. Salah satunya, soal bangunan terkenal di kraton Surakarta yakni Panggung Sangga Buwana (PSB). Panggung ini mudah dilihat karena tingginya lebih dari bangunan lain di kraton Surakarta.
Sangga Buwana adalah sebuah bangunan, yang didirikan semasa Paku Buwana III setelah dinyatakan sebagai Susuhunan di Kasunanan Surakarta (1749-1788), sementara Pangeran Mangkubumi saudara kandungnya beda ibu menjadi Sultan Hamengku Buwana I di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mataram dibagi menjadi dua, Palihan Nagari, setelah perjanjian Giyanti (1755). Perundingan pembagian Mataram itu terjadi antara Pangeran Mangkubumi dengan Kumpeni yang mewakili Sunan Paku Buwana, lantaran Mataram sudah diserahkan pada penguasa VOC pada 1749 saat Paku Buwana II sakit keras, menjelang wafat.
Secara simbolik, Panggung Sangga Buwana digambarkan lantai teratasnya sebagai ‘tudhung saji’ (tutup sesajian makanan di meja). Selain difungsikan sebagai tempat untuk menatap seluruh kota Solo (dulu di Solo, berlaku larangan tak boleh mendirikan bangunan yang lebih tinggi dari Sangga Buwana). Juga, Panggung Sangga Buwana dipakai sebagai tempat meditasi Sunan, sekaligus juga untuk ‘ngraga sukma’ sebagai lambang pertemuan Sunan dengan Ratu Kencana Sari, atau Ratu Kidul.
Di bagian bangunan ‘tudhung saji’ terdapat ornamen berbentuk “ksatria penunggang naga yang sedang terbang”. Itu sebenarnya merupakan Sengkala Memet untuk menandai tahun pembangunan Panggung Sangga Buwana. Jika diurai dalam Sengkala Lamba, maka bunyi ornamen Sengkala Memet itu berbunyi: Naga Muluk Tinitihan Janma. Naga berkarakter 8, muluk 0, tinitihan atau ditunggangi 7, dan janma itu 1. Dibaca terbalik sebagai angka tahun Jawa, menjadi 1708. Jika dikonversi jadi tahun Masehi, (menurut konversi saat itu harus ditambah 64 tahun) menjadi 1872 Masehi.

Ilustrasi hiasan Dwi Naga Rasa Tunggal yang ada di sebuah bangunan di Kraton Ngayogyakarta. (Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar, 2006)
Matematikawan Agung Prabowo juga mengungkap contoh bahwa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pun meneruskan tradisi Sengkala Memet, dalam menandai peristiwa bersejarah yang penting.
Kepindahan Sri Sultan Hamengku Buwana I alias Pangeran Mangkubumi ketika masih di Surakarta, dari keraton sementara (pesanggrahan) di Ambar Ketawang selepas Palihan Nagari ke keraton barunya, di bekas alas Pabringan juga diperingati dengan lukisan atau ornamen dua naga yang ekornya saling melilit. Yang satu menghadap ke timur, yang lain menghadap ke barat. Arca dua naga itu ditempatkan di atas “banon renteng kelir” di gapura belakang.
Ornamen tersebut merupakan perwujudan Candra Sengkala Memet. Jika diurai dalam Candra Sengkala Lamba, berbunyi “Dwi Naga Rasa Tunggal”. Sengkala ini merupakan sengkala paling tua yang ada di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Terletak di atas regol (pintu) kemagangan dan regol Gadhung Mlati.
Naga memang menjadi sosok yang dimuliakan dalam perlambang pada dinasti raja-raja Kesultanan Ngayogyakarta, seperti juga pada dinasti-dinasti raja Jawa sebelumnya. Oleh Hamengku Buwana I, pendiri dinasti raja Yogyakarta, sosok naga juga dipakai sebagai pengingat titi mangsa.
Dwi Naga Rasa Tunggal, jika diurai dalam Watak Wilangan menjadi Dwi berkarakter 2, Naga 8, Rasa 6, dan tunggal 1. Ini mengunjuk tahun Jawa 1682 atau 1756 Masehi. Angka tahun ini untuk memperingati kepindahan Pangeran Mangkubumi dari pesanggrahan (kraton sementara) Ambar Ketawang setelah perjanjian Giyanti (1755). Yogyakarta, setelah proklamasi pada Kamis Pon, 29 Jumadilawal 1680 Jawa atau 13 Maret 1755 Masehi, resmi dinyatakan memiliki separuh dari kerajaan Mataram yang dulu didirikan Sutawijaya. Dan setahun kemudian menempati keraton barunya.
Dan masih banyak rahasia kode angka, dalam Matematika Realistis di Jawa yang dibeberkan oleh matematikawan muda asal Gombong, Jawa Tengah Agung Prabowo ini. Silakan lanjutkan sendiri dengan membaca bukunya, “The Pakubuwono Code” atau Kode Pakubuwana. Kode Sengkalan ini tentunya tidak lagi sederhana, semenjak Sultan Agung mengubah tahun Çaka menjadi tahun Jawa (Surya Sengkala), pada masa pemerintahannya. Perhitungan pun berubah lagi. Selisih tahun berubah setiap 33 tahun.
Selisih angka tahun antara Çaka dan Masehi, konstan, tetap 78 tahun. Akan tetapi semenjak Sultan Agung, selisih angka terus berkurang 1 tahun dalam kurun waktu tiap 33 tahun Masehi. Sebagai bandingan, jika pada 1633-1666 Masehi selisih angka antara Tahun Jawa dan Tahun Masehi 78 taun, maka menurut Agung Prabowo, per Januari 2014 (saat ia menyelesaikan bukunya tersebut) selisih antara tahun Jawa (Sultan Agung) dan tahun Masehi tidak lagi 78 tahun, akan tetapi 67 tahun….
Ini hanya salah satu contoh “Matematika Realistis” yang terjadi dalam tradisi Jawa.*
No Responses