Wong Samin: Tanah Punya, Air Punya, Kayu Punya

Sejak Perang Diponegoro usai tahun 1830, praktis tak ada lagi gerakan perlawanan di Tanah Jawa yang diprakrasai kaum bangsawan. Sejak itu, justru marak perlawanan yang muncul di pedesaan, yang dilakukan kaum petani. Kaum Samin di Blora dan sekitarnya, misalnya, pada awal abad ke-20, adalah salah satunya. Inilah gerakan perlawanan rakyat tanpa kekerasan, yang menjengkelkan pemerintah Belanda.
Jujur ajur, sabar ambyar. Pepatah Jawa ini, artinya : bersikap jujur akan hancur, berlaku sabar akan berantakan. Benarkah? Ternyata, tidak. Bagi masyarakat Samin, di Blora dan sekitarnya, jujur dan sabar justru pedoman utama mereka dalam menjalani hidup, bahkan merupakan perlawanan yang unik untuk menghindari pajak dan kebijakan pemerintah pada zaman penjajahan Belanda pada akhir abad 19 hingga awal abad 20.
Adalah Surosentiko Samin, seorang petani dari Desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah, yang pada tahun 1905, mendapat perhatian besar dari pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap menyebarkan suatu ajaran – yang menjadi biang kerok perlawanan petani di tanah Jawa bagian Tengah dan Timur. Meskipun, perlawanan rakyat tersebut berjalan tanpa kekerasan. Mereka hanya enggan membayar pajak kepada pemerintah. Perlawanan mereka itu, juga dikaitkan dengan isu munculnya Ratu Adil, yang memang lazim menjadi ciri perlawanan rakyat di Jawa – setelah raja-raja Mataram (Yogya dan Solo) dianggap tak lagi bisa melindungi mereka. Ratu Adil, bagi masyarakat Jawa, adalah tokoh eskatologis tradisional penegak keadilan yang kedatangannya selalu didambakan.
Samin lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar, sebagai anak kedua dari lima lelaki bersaudara dari keluarga Raden Surowijaya. Karena itu pula, oleh para pengikutnya kemudian, Samin diidentifikasikan dengan tokoh wayang Raden Werkudoro, satria panenggak Pandawa, yang berwatak blak-blakan cenderung kasar, namun jujur apa adanya. Samin meskipun buta huruf, sangat memahami cerita-cerita wayang yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata.
Ia mengubah namanya, Raden Kohar, menjadi Surosentiko Samin, sebab menurutnya, Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin termasuk petani yang tidak miskin, karena memiliki sawah seluas 3 bau (sekitar 2,1 ha), ladang 1 bau (0,7 ha), dan 6 ekor sapi. Jadi Samin termasuk petani gogol. Gogol, adalah petani yang punya rumah dan tanah sendiri, memiliki hak sebagian tanah komunitas desa, sehingga wajib membayar pajak dan melakukan kerja paksa.
Sebelum menjadi guru ajaran Samin, konon dia mengalami peristiwa mistis seperti yang diyakini para pengikutnya. Pada suatu hari, Samin pergi ke sebuah gunung untuk bertapa. Dalam semedinya yang khusyuk, jatuhlah sebuah buku dari langit. Meskipun Samin buta huruf, tiba-tiba dia bisa membaca buku itu dan sangat memahaminya. Buku yang nantinya jadi kitab suci kaum Saminis itu bernama Serat Jamus Kalimasada.

Peta awal 1970-an persebaran pemukiman masyarakat Samin. (Dokumentasi/Emmanuel Subangun alm)
Yang menarik, nama kitab itu sama dengan nama pusaka sakti milik para satria Pandawa dalam kisah pewayangan. Jamus Kalimasada itu terdiri dari lima kitab, yaitu Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip,. Kitab-kitab ini merupakan pedoman yang amat populer dan dimuliakan oleh kaum Samin.
Bisa jadi, Samin memang terinspirasi oleh cerita pewayangan. Selain dirinya disamakan dengan Bima (sama-sama anak ke dua dari lima lelaki bersaudara), beberapa topik dalam ceramahnya, Samin selalu mengatakan bahwa tanah Jawa adalah titipan dari para satria Pandawa, karena itu harus dijaga baik-baik. Lemah podho duwe, banyu podho duwe, kayu podho duwe. Inilah konsep Ajaran Adam yang didengungkan oleh Samin – yang oleh Belanda dulu dianggap sebagai ciri-ciri dasar ideologi komunis yang muncul pada kaum Saminis.
Namun, rupanya falsafah yang mendasarinya berbeda. Ajaran Samin, bukan komunisme. Para sosiolog justru melihat, bahwa masyarakat Samin sangat egaliter. Nyatanya, konsep itu justru menunjukkan sikap dasar mereka yang menganggap bahwa tanah, air, dan kayu adalah milik bersama – jadi harus dirawat bersama, dan tidak ada pihak yang berhak mendominasi ke tiga hal tersebut.
Egaliterian kaum Saminis ini juga terungkap dalam ucapan dan tindakan mereka. Mereka tidak mau kenal istilah atasan dan bawahan. Semua sama. Bahasa yang mereka kenal adalah Bahasa Jawa Ngoko – tidak ada Bahasa Jawa Krama Inggil. Bicara antara yang muda kepada orangtua, kepada aparat desa, asisten Residen dan Residen, Bupati atau aparat lainnya, mereka menggunakan Bahasa Jawa Ngoko. Dalam pergaulan dengan para pejabat daerah dan aparat kolonial, mereka juga tidak menjalankan unggah-ungguh seperti normalnya orang Jawa. Ada catatan, ketika Asisten Residen Tuban, JE Jasper mengunjungi seorang Samin di rumahnya, sang tuan rumah justru meletakkan kakinya (jegang) di atas meja, di depan tamunya.
Ajaran Adam yang dibawakan oleh Samin kepada orang-orang di desanya dan juga desa sekitar, berkembang pesat. Kalau pada tahun 1903, hanya ada 772 orang pengikut di Blora dan Bojonegoro yang tersebar di 34 desa, maka tiga tahun kemudian, tahun 1906, pengikut Saminis telah menjadi 3000 orang dan berkembang hingga daerah Selatan Rembang. Pemerintah Hindia Belanda semula tidak terlalu menggubris ajaran Samin tersebut. Karena hanya dianggap semacam aliran kebatinan biasa.
Namun ketika perkembangan jumlah pengikut termasuk pesat, dan terutama terjadi perubahan drastic perilaku masyarakat Saminis itu, maka sejak tahun 1905, pemerintah kolonial mulai peduli. Perubahan perilaku yang dilaporkan oleh Kontrolir Blora kepada Residen Rembang, adalah bahwa para pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum desanya, menolak menyetor sumbangan bagi lumbung desa, dan juga menolak mengandangkan ternaknya. Lama-kelamaan, mereka juga menolak semua kebijakan pemerintah yang menyangkut pungutan pajak kepada rakyat.
Tentu saja, tidak semua kelompok Samin menolak menyerahkan uang pajak kepada pemerintah. Mereka melakukan pembayaran itu dengan tulus ikhlas bukan sebagai pelunasan pajak, tapi lebih didasari sebagai penyerahan sukarela zakat. Mereka tidak mengenal paksaan dan kewajiban membayar pajak. Menyerahkan uang atau tidak kepada pemerintah, lebih merupakan sebagai keputusan bebas mereka. Jadi, mereka menganggap pajak sebagai sumbangan sukarela, dan itu sebabnya, mereka memandang penarik pajak sebagai pengemis. Penarikan pajak di daerah Bojonegoro, ketika itu dinilai sangat bagus, karena para petugas pajak menarik uang dari para penduduk dengan cara seperti mengemis – tidak memaksa.

Samin Surosentiko.
(Dokumentasi/WordPress)
Berbagai tulisan para sejarawan dan sosiolog yang meneliti gerakan Saminisme, mencoba merumuskan penyebab yang melatar-belakangi munculnya perlawanan halus itu. Pertama, akibat pajak-pajak yang ditetapkan pemerintah, makin tahun makin menaik. Karena itu, mereka melakukan perlawanan halus, dengan –pura-pura – tidak mengenal pajak. Ada dialog yang mencerminkan sikap mereka ketika menghadapi pengadilan. Berani, naif, tapi juga cerdas.
“Apa kamu gila, atau pura-pura gila,” (P/Patih, dalam pengadilan)
“Saya tidak gila, dan tidak pura-pura gila,” (S/Samin)
“Kamu biasanya membayar pajak, kenapa sekarang tidak?” (P)
“Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Mengapa negara tak habis-habisnya meminta uang?” (S)
“Negara mengeluarkan uang juga untuk keperluan penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin bisa merawat jalan dengan baik,” (P)
“Kalau menurut kami, kalau keadaan jalan tidak cukup baik, maka kami akan membetulkannya sendiri.” (S)
“Jadi kamu tetap tidak mau membayar pajak?” (P)
“Wong Sikep tak kenal pajak.” (S)
Dalam catatan pemerintah Belanda, orang Samin semacam itu tidak bisa dianjurkan dengan baik-baik. Maka pengadilan kemudian menjatuhkan putusan, bahwa terdakwa ditetapkan memiliki hutang kepada negara, yang harus dibayar delapan hari kemudian. Namun karena selama tenggang waktu itu tidak ada pelunasan hutang, maka aparat pemerintah kemudian menyita sejumlah barang milik terdakwa orang Saminis itu. Mereka tidak menghalangi penyitaan itu. Ketika barang-barang dijual, dan ternyata lebih besar ketimbang hutangnya, kelebihan itu dikembalikan oleh aparat kepadanya. Anehnya, dia tidak mau menerima kelebihan uang itu. “Setahu saya, saya tidak menjual apa-apa,” dalihnya.
Kedua, faktor ekonomis lain yang juga dianggap sebagai penyebab perlawanan rakyat Samin adalah penutupan hutan jati oleh pemerintah. Lingkungan yang ditempati oleh kaum Samin adalah hutan jati yang terbaik di Pulau Jawa pada awal abad ke-20. Larangan pemerintah tentu saja dianggap melanggar Ajaran Adam, yang berpatokan pada lemah podho duwe-banyu podho duwe-kayu podho duwe. Hutan adalah milik mereka sebagai warisan nenek moyang. Jadi ketika mereka tetap mengambil ranting-ranting kayu dari hutan dan ditangkap dengan tuduhan mencuri, mereka menyangkalnya. Mereka juga tidak melawan ketika dijebloskan ke penjara. Kaum Saminis memang mempunyai kesabaran yang luar biasa – sesuai dengan Ajaran Adam seperti yang disampaikan gurunya Surosentiko Samin : Wong Sikep weruh theke dewe (Orang sikep tahu apa yang menjadi miliknya).
Meskipun kewalahan menagih pajak di Blora, Bojonegoro, Rembang, dan juga Madiun, pemerintah kolonial tidak melakukan tindakan yang keras kepada mereka. Karena mereka juga tidak melakukan keonaran dan tindak kriminal. Namun pada awal Maret 1907, muncul isu akan akan ada pemberontakan oleh kaum Saminis. Maka ketika ada acara selamatan di salah satu rumah warga Saminis, yang dicurigai menjadi pusat makar, polisi menangkapi para tamu yang datang. Surosentiko Samin sendiri tidak datang dalam acara itu, hingga dia aman dari penangkapan.
Namun pada awal November 1907, Samin yang diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam, ditangkap oleh pemerintah colonial, ketika menghadiri undangan Bupati Rembang. Samin kemudian dibuang ke Padang, dan pada 2 September 1914 meninggal dunia.
Apakah kemudian ajaran Saminis musnah? Nyatanya tidak. Tercatat beberapa nama meneruskan ajarannya. Mulai dari menantunya, hingga murid-muridnya. Ada nama Wongsorejo, Surohidin (menantu Samin), Pak Engkrak, Karsiyah, Jokromi, Projodikoro dan Samat. Bahkan pada era Orde Baru, masih banyak kaum Saminis di Blora dan Pati. Tentu, saat ini, tak ‘sekaku’ zaman awalnya. Mereka sudah mengenal traktor dan alat pertanian modern lainnya.
Sumber : 1. Gerakan Samin: Perlawanan Rakyat Tanpa Kekerasan, oleh A. Widyarsono, UNISIA No. 36/XXI/IV/1998;
- Perlawanan Petani Kawasan Hutan di Blora, oleh Nurmalitasari, Program Studi Pendidikan Sejarah, Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, 2016;
- Nusa Jawa : Silang Budaya, oleh Denys Lombard, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
- Berbagai sumber.
No Responses