Empu Subandi, Menjilat Keris Memasukkan Mantra

Kendati enggan disebut empu keris, kiprahnya dalam membuat keris-keris baru sepanjang kurang lebih tiga puluh lima tahun, menjadi bukti perjalanannya sebagai seorang empu keris sejati.
Joosss….Suara besi membara panas yang terkena air menerobos hening salah satu sudut rumah di Desa Banaran, Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah, suatu pagi. Suara itu berulang beberapa kali, setelah disela dengan denting beradunya besi dengan besi, suara ‘jooos’ kembali terdengar. Itulah suara-suara yang keluar dari balai besalen seluas kurang lebih 4 x 5 meter persegi milik seorang empu keris kondang : KRT Subandi Supaningrat, 60.
Suara ‘joos’ yang terakhir adalah suara jilatan lidah Pak Bandi – begitu dia biasa dipanggil – pada keris yang baru saja usai diwasuh (proses penuaan besi). “ Ini semacam sentuhan terakhir, sekalian saya mengucap sebuah mantra doa untuk keris-keris karya saya,” ujar maestro tosan aji itu.
Pak Bandi mengaku selalu melabeli keris-keris karyanya dengan jilatan lidahnya seusai keris diwasuh. Bilah keris, tentu saja, masih dalam keadaan panas membara. Jilatan dilakukan dua kali. Pertama, dijilat dari tengah wilah hingga ke ujung keris pada satu sisi, dan kedua, pada sisi berikutnya dengan cara yang sama. Kemampuan menjilat panas ini diperoleh dari seorang guru spiritual dari daerah Bekonang, Mojolaban, Sukohardjo. Tentu saja, Pak Bandi harus menjalani sejumlah lelaku broto untuk mendapatkan ilmu tersebut.

Josss, itu suara jilatan Pak Subandi ketika besi lipatan yang membara itu menyentuh lidahnya… Sepuh Jilat untuk memasukkan mantra, itulah yang dilakukan Pak Bandi. (Dokumentasi Empu Subandi)
Proses menjilat wilah keris panas ini, disertai dengan pengucapan mantra yang intinya memohon kepada Sang Pencipta agar keris yang dibabar memiliki energi baik dan cocok dipakai oleh orang yang memesannya. Perkara jilat-menjilat itu, menurut Pak Bandi, tidak ada kaitannya dengan soal esoteris. “Saya hanya mengucap semacam doa, agar keris buatan saya ini cocok diagem pemiliknya,” ujar kakek tiga orang cucu itu.
Empu Bandi adalah sosok langka di dunia perkerisan saat ini. Langka, karena dalam membuat sebilah keris, Empu Bandi selalu menggunakan cara-cara tradisional dalam membabar sebilah keris. Cara-cara lama ini, antara lain, melakukan laku puasa, menyiapkan sesaji, dan semedi nyenyuwun mring Gusti Allah agar bisa membuat keris baik dan bermanfaat. Selain itu, aturan atau pakem waktu, kapan waktu memulai dan menyelesaikan pembabaran keris juga diugemi (diikuti). Berapa lama puasanya, tergantung, bentuk keris yang akan dibabar. Sedangkan untuk ubo rampe sesaji, antara lain berupa kembang setaman, sego golong (segenggam nasi bulat), sego gurih, jajan pasar, tumpeng, asahan, jenang abang empat warna, ayam cemani hidup, kelapa, gula Jawa dan daun-daunan.
Empu Bandi mengaku merasa kurang sreg di hati jika membuat keris tanpa diawali dengan tatanan ritual yang memang selalu diterapkan oleh para empu keris zaman dahulu. Karena itu, Empu Bandi termasuk empu yang aktif, namun dalam pandangan kacamata industri modern termasuk kurang produktif. Dalam sebulan – atau bisa memakan waktu 45 hari, baru terwujud sebilah keris.
Jadi dalam setahun, Empu Bandi hanya bisa membabar 10 hingga 12 bilah keris. Namun, tegasnya, bukan berarti dia tidak bisa membuat keris tiga hari satu bilah. Bisa. “Tapi ya tentu mutunya akan pas-pasan,” kata bapak tiga orang putri dan satu putra itu.
Subandi yang enggan disebut sebagai empu itu, sesungguhnya adalah seorang seniman kriya sejati. Seniman, karena memandang keris sebagai karya seni, bukan barang dagangan semata. “Saya menyikapi keris sebagai karya seni, sehingga dalam sebulan paling banyak ya hanya satu bilah keris bisa saya selesaikan,” tandas dosen (tamu) ISI Solo ini.
Ternyata sejumlah pemesannya memang mengaku puas dengan keris buatan Pak Bandi. Adalah seorang biksu dari Malang yang tak mau disebut namanya, mengaku sangat puas dengan hasil pesanan keris buatan Empu Subandi. “Awalnya, saya pesan satu. Koq bagus, makanya pesan sampai empat bilah keris,” ujar pendeta Budha itu. Sebilah keris pesanan biksu itu kini malah disimpan oleh seorang guru besar Budha dari Tibet yang tinggal di Paris, Perancis.

Empu Subandi (kiri) dengan panjak-panjaknya di besalennya di Ngringo, Palur, Karanganyar di sisi timur Bengawan Solo. (Dokumentasi Empu Subandi)
Sosok Subandi adalah pribadi yang sederhana. Makanya, dalam memproduksi karya budaya adiluhung itu, dia tidak mau sembarangan asal mengejar kuantitas. Biasa hidup sederhana, membuatnya menjadi pribadi yang bersehaja dan ‘melu ilining banyu’ (mengikuti nasib membawanya). Kehidupan masa kecilnya yang kental dengan ajaran lelaku Jawa, membuat dirinya sangat biasa melakukan tirakat. Sejak masih SMP, Bandi remaja sudah biasa puasa Senin-Kamis, mutih, puasa ngrowot, puasa ngalong dan lain-lain. “Bahkan saya sudah biasa tirakat di tempat-tempat keramat, termasuk bermalam di makam para orang hebat zaman dulu, “ ujar mantan PNS yang pensiun empat tahun silam dengan golongan terakhir III B itu.
Lelaku tirakat inilah yang ternyata membekalinya menjadi empu keris yang penuh dengan pondasi budaya Jawa yang kokoh, tekun, dan konsisten dengan falsafah-falsafah Jawa yang selalu menganjurkannya pada laku kebajikan.
Pak Bandi malang-melintang di jagad perkerisan sebenarnya juga secara kebetulan. Tahun 1979, usai lulus STM (sekarang SMK), Subandi muda tengah mencari pekerjaan. Seorang seniman tari di Solo, Suprapto Suryosudharmo, membawanya bertemu dengan Ketua Akademi Seni Kerawitan Indonesia (ASKI) ketika itu, Gendon Humardani.
Pak Gendon bersedia memberi pekerjaan di lembaga pendidikan yang dia pimpin, namun syaratnya dia harus bersedia menjalani pekerjaan seputar keris. Artinya, Bandi ditawari menjadi PNS, tapi tugasnya mempelajari keris. Subandi langsung menyatakan tidak sanggup, karena merasa tidak tahu apa-apa tentang dunia perkerisan. Apalagi akses belajar dan pengetahuan membuat keris, saat itu, nyaris tidak ada di Solo dan sekitarnya waktu itu. Namun, “Saya memang tidak melihat peluang lain. Dan, Pak Gendon mendorong saya terus dengan mengatakan dunia keris akan memberi saya penghidupan,” kenang pria yang menggemari tokoh wayang Ki Semar Bodronoyo itu. Tawaran itu akhirnya diterima.
Gendon kemudian meminta Pak Bandi untuk nyantrik (belajar sekaligus praktek) kepada Empu Yoso Pangarso, yang punya besalen keris di Desa Jitar, Kulon Progo. Menurut Subandi, Pak Gendon memintanya belajar kepada Empu Yoso Pangarso, karena memang dialah satu-satunya orang yang dikabarkan masih membuat keris.
Darimana Pak Gendon tahu soal Empu Yoso – yang saat itu tidak dikenal? Inilah ceritanya. Suatu ketika, tutur Ki Subandi, jagad perkerisan Solo dihebohkan dengan munculnya keris baru yang dibawa oleh Dietrich Drescher, seorang mantan pelaut Jerman yang wira-wiri ke Jawa sejak tahun 1962. Dalam forum komunitas perkerisan Surakarta, Boworoso Tosan Aji, yang menggelar pertemuan sebulan sekali di Sasana Mulya (Keraton Solo), keris anyar itu katanya dibuat di Yogyakarta. Dalam sebuah pertemuan forum itu tahun 1979, Dietrich mengaku, bahwa kerisnya itu adalah buatan Empu Yoso Pangarso, seorang abdi dalem Kesultanan Yogyakarta.
Dietrich mengatakan dalam forum itu, bahwa Yoso Pangarso mengaku sudah lama tidak membuat keris. Namun dia masih ingat cara-cara membuatnya. Maka dengan sponsor Dietrich, Yoso membuat sebuah besalen di Jitar, Kulon Progo. Empu Yoso Pangarso ini adalah kakak kandung Empu Jeno Harumbrojo – yang nantinya juga menjadi empu keris kondang.
Jadilah sebilah keris pesanan Dietrich Dreser yang kemudian di bawa ke Solo, menggegerkan komunitas Boworoso Tosan Aji, dan sempat menjadi bahan peliputan media. Berita tersebut terdengar ke telinga Gendon Humardani yang kemudian mencari sosok wong bule itu yang dinilai mampu menggairahkan pembuatan keris. Mendengar ada empu keris di Yogya, Pak Gendon tertarik. Maka ketika menerima Subandi di akademi yang dia pimpin, dia mengutus Bandi belajar kepada Empu Yoso Pangarso.
Seusai nyantrik selama kurang lebih tiga bulan, Subandi langsung diterima menjadi pegawai di Akademi Seni Kerawitan Suralarta (ASKI, sekarang ISI). Tiga tahun, dia bekerja serabutan di kampus itu, termasuk membantu pekerjaan administrasi. Namun akhirnya, ASKI membuka laboratorium praktek pembuatan keris, dan Subandi terlibat dari awal persiapan hingga laboratorium beroperasi. Sejak itu, ilmu tempa tosan aji yang diperoleh dari Empu Yoso bisa dipraktekkan. Bahkan, “Tahun 1982, saya aktif membuat keris di Sasana Mulya. Bersamaan dengan itu, keris-keris juga semakin bermunculan di khasanah perkerisan. Mulai gayeng,” tutur Subandi.
Selama kurang lebih 35 tahun bergelut dengan keris, Subandi telah banyak membuat keris dengan beragam dhapur dan pamor. Mulai dari dhapur sengkelat, jalak, sinom robyong, parung sari, nagasasra, dan lain-lain Awalnya, Subandi memang hanya membuat keris untuk inventaris akademi. Namun, lama-kelamaan, karyanya banyak diapresiasi oleh kalangan perkerisan.
Dalam sebuah pameran tosan aji yang digelar ASKI, awal tahun 1980-an, keris-keris garapannya banyak diminati para kolektor. Sejak itulah, bendera Ki Subandi mulai berkibar-kibar di jagad perkerisan Nusantara. Sampai saat ini, sekitar 500 bilah keris karyanya yang disimpan para kolektor. Bahkan kolektor asing dari Belanda, Perancis, Malaysia, Australia, juga menyimpannya.
Empu Subandi mengaku tidak terlalu kaku dalam patokan biaya pembuatan keris. Rata-rata selama ini, per bilahnya adalah Rp 10 juta. “Tapi sebuah karya saya pernah diapresiasi oleh langganan saya sebesar Rp 47 juta,” ujarnya bangga. Barangkali itulah kelebihan Empu Subandi, yang tidak perlu mengejar kuantitas dan rupiah dalam berkarya. Bisa jadi, karena dapur rumahnya selalu mengepul karena dia adalah PNS yang selalu mendapat gaji rutin. Sehingga bisa membabar keris dengan baik, tanpa harus khawatir dikejar oleh kebutuhan. Konon, para empu keris zaman kerajaan-kerajaan di Jawa, juga digaji oleh raja. *

Empu Subandi ketika diwawancara KerisNews di sela Pameran Greget Pusaka Nusantara di Museum Keris Surakarta pada awal Desember 2017. (Kontributor/Tira Hadiatmojo)
No Responses