Betawi di Tengah Pertumbuhan Jakarta

Betawi di Tengah Pertumbuhan Jakarta
Abdul Chaer (pakai baju koko putih dan berpeci hitam) memasuki ruangan diskusi disambut dengan prosesi Palang Pintu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Bahasa Betawi tidak hanya dipakai di dalam percakapan sehari-hari, tapi juga di dalam praktek berbudaya lainnya. Seperti di pertunjukan wayang kulit Betawi, lenong, dan lainnya. Bisa dibilang adalah bahasa yang lengkap. Meski begitu bahasa Betawi masih jadi permasalahan, apakah suatu bahasa tersendiri atau hanya dialek.

Hal itu diungkap oleh Muhadjir saat diskusi bertajuk “Merayakan Pendekar Bahasa Betawi” Abdul Chaer—Kamus Bahasa, Masyarakat Jakarta dan Orang Betawi, yang digelar di Bentara Budaya, Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta, Jumat (8/12/2017) sore lalu.

Abdul Chaer, pria kelahiran Tanah Abang, Jakarta, tahun 1940, merupakan pensiunan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan juga peneliti Bahasa dan Budaya Betawi. Ia mengajar Linguistik Umum, Semantik, Sosiolinguistik, dan Psikolinguistik. Ia sering menjadi pemakalah dalam berbagai konferensi bahasa. Ia telah menulis sekitar 30 buku tentang Bahasa Indonesia dan linguistik.

Kepedulian terhadap Bahasa dan Budaya Betawi, ia tunjukkan lewat karya seperti : “Kamus Dialek Jakarta” (1976), “Ketawa-Ketiwi Betawi” – kumpulan humor Betawi (2007), Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi (2009), Cekakak-cekikik Jakarta ( 2011), Kebijakan dan Politik dalam Ketawaan (2012), Folklor Betawi (2013), Dongeng Betawi Tempoe Doeloe (2015). Dan, buku terbarunya adalah “Tenabang Tempo Doeloe” (2017).

Diskusi yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Jakarta, bekerjasama dengan Kompas Gramedia, Betawi Kita, dan Komunitas Bambu, ini terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama bertema “Abdul Chaer Pekamus Bahasa Betawi dan Indonesia”, dengan pembicara Muhadjir, dan Irvan Lanin, serta Zen Hae sebagai moderator.

Muhadjir merupakan ahli bahasa dari Universitas Indonesia (UI), menulis buku antara lain Morfolog Dialek Jakarta, dan Bahasa Betawi, Sejarah, dan Perkembangannya. Dan, Irvan Lanin adalah seorang wikipediawan.

Pencak Silat Betawi di Bentara Budaya Jakarta

Dua Pendekar Pencak Silat Betawi saling berhadapan di prosesi Palang Pintu saat acara diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (8/12/2017) sore. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Sementara  diskusi sesi kedua bertema “Abdul Chaer Membaca Masyarakat Jakarta dan Orang Betawi”, dengan pembicara Ninuk Kleden-Probonegoro, seorang antropolog, dan Julianti Parani, pensiunan arsiparis ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang juga seorang koreografer, dan JJ Rizal sebagai moderator.

Di sesi kedua ini Ninuk Kleden-Probonegoro menyampaikan makalah berjudul “Membaca Orang Betawi Melalui Memori Kolektif”. Ninuk menulis makalahnya berdasar pembacaan atas tiga buku Abdul Chaer, yaitu Folklor Betawi, Dongeng Betawi Tempo Doeloe, dan Tenabang Tempo Doeloe.

BACA JUGA  Memopulerkan Cerita Klasik Melalui Media Kekinian

“Saya itu dipasok tiga buku yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Tapi kemudian saya pikar-pikir, saya lihat, saya baca kiri kanan. Ah! mungkin yang mengikat adalah memori,” ujar Ninuk.

Memori yang dimaksud Ninuk, tidak lain, yaitu ingatan Abdul Chaer yang ditulis dalam ketiga bukunya itu. Khususnya lagi buku Tenabang Tempo Doeloe. Memori atau ingatan Abdul Chaer, dalam hal ini, adalah ingatan individu.

“Persoalan saya dari ketiga buku itu adalah mempertanyakan bagaimana memori itu, tiga memori itu dimaknai oleh orang Betawi, dan apakah ia dapat bermanfaat, tidak saja bagi Jakarta, atau Betawi pada umumnya, tapi juga secara nasional,” kata Ninuk.

Tapi apakah Abdul Chaer hanya mengungkapkan memori atau kenangan pribadinya atas kawasan Tanah Abang, yang menjadi tempat tinggalnya. Di buku Tenabang, menurut Ninuk, Abdul Chaer juga menyebutkan beberapa narasumber. Meskipun anonim, tapi mereka adalah orang-orang yang memunculkan dan menguatkan memorinya.

Mengacu pada tulisan seorang pakar, Ninuk mengatakan bahwa memori yang bersifat individual, pada gilirannya adalah juga memori kolektif. Dan, hal ini jelas tampak di dalam buku Tenabang Tempo Doeloe.

Memori kolektif ini maknanya bergulir dalam proses yang dipengaruhi oleh kondisi masa kini, termasuk misalnya, politik, enonomi, dan juga isu yang sedang menghangat. Dan, memori, khususnya, di Tenabang, menurut Ninuk juga bergulir dalam proses yang dipengaruhi oleh dua buah memori. Yaitu memori sejarah, dan memori ingatan kolektif, yang tidak lain, adalah para narasumbernya.

Ninuk memberi contoh. Salah satu buku Abdul Chaer menyebut adanya tanah partikulir. Tanah partikulir merupakan historical record yang bisa dirujuk pada, misalnya, disertasi van Delden. Yang mengatakan bahwa pada tahun 1836 di Batavia terdapat 286 tanah partikulir.

“Artinya apa, bahwa buku ini sebenarnya tidak meninggalkan aspek historical record, aspek sejarah. Data sejarah dimiliki oleh buku ini, meskipun tidak ada rujukan sebagai sejarawan. Artinya, sekali lagi, memang Bang Abdul Chaer bukan sejarawan yang kalau menulis sejarah tentunya dengan metode-metode tertentu. Tetapi Beliau adalah linguis sehingga tulisan-tulisannya mencair, manis. Itu tidak apa,” ujar Ninuk.

BACA JUGA  Nonton "Antareja Gugat" di Museum Wayang

Ninuk bahkan menemukan sendiri di lapangan, bagaimana data sejarah itu dibuat oleh masyarakat Betawi. Di daerah Teluk Naga, Tangerang, tinggal Tan Soei Ek, yang tahun 2014 diperkirakan berusia 80 tahun. Ia informan Gambang Kromong.

Tan Soei Ek ini bisa menceritakan bagaimana Cokek “dulu” menari dengan iringan Gambang Kromong. Cokek “dulu” tinggal di rumah tuan tanah, dan bagaimana Gambang Kromong dengan alat musik Cinanya bisa di terima di Tangerang.

Menurut Ninuk, Tan Soei Ek ini mempunyai historical record, meski berbeda dengan historiografi para sejarawan. Kehidupan Cokek yang diceritakan oleh Tan Soei Ek adalah kejadian akhir abad ke-19, yang diperoleh dari pengalaman hidup, baik pengalaman hidupnya sendiri maupun pengalaman hidup yang diceritakan oleh orang-orang di sekitarnya.

“Apa yang hendak saya katakan di sini adalah, bahwa data sejarah yang bukan hasil penelitian sejarah adalah historical record dari pengalaman hidup masyarakat, dan juga tersimpan dalam kolektif memori mereka,” tulis Ninuk di makalahnya.

Kalau memori sejarawan ditulis dalam bentuk buku, maka masyarakat mengukir memorinya dalam bentuk representasi. Misal pagelaran Lenong dan Topeng. Dan, Ninuk melihat buku Abdul Chaer berdiri di atas keduanya. Ada data sejarah, misalnya tahun yang jelas tetapi tanpa sumber. Selain itu ada pula narasumber yang anonim, yang identik dengan sumber masyarakat.

Diskusi Betawi di Bentara Budaya Jakarta

Diskusi Sesi I, bertema “Abdul Chaer Pekamus Bahasa Betawi dan Indonesia”, dengan pembicara Muhadjir, dan Irvan Lanin, serta Zen Hae sebagai moderator. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Sementara Julianti Parani, pembicara lainnya, banyak bercerita berdasar pengamatan dan pengalamannya selama berkesenian, terutama sebagai penari di Jakarta.

Kesenian dan Budaya Betawi, yang multikultural, dari berbagai proses interkulturisasi dari masa ke masa, akarnya tumbuh pada zaman kolonial di Batavia. Menurut Julianti, ketika kita merdeka dalam suasana transisional, kebetawian, terutama di kesenian, sempat menurun. Kemudian naik daun, dan mengalami revitalisasi kembali berkat Ali Sadikin.

Untuk meningkatkan kualitas maupun merevitalisasi kesenian Betawi, kreativitas perlu disesuaikan dengan pertumbuhan masyarakat, baik masyarakat Betawi maupun Jakarta, sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut Julianti proses kreativitas yang luas dan mendalam perlu terjadi. Tidak hanya terbatas pada kreativitas eksotis yang gemerlap untuk menarik perhatian, tapi perlu ditekankan pada otentisitas kebetawian yang tergarap. Selain itu, seniman dan kesenian perlu dipertebal esensi seninya, dan diperkuat daya kreativitasnya.

Diskusi Betawi di Bentara Budaya Jakarta

Diskusi Sesi II, bertema “Abdul Chaer Membaca Masyarakat Jakarta dan Orang Betawi”, dengan pembicara Ninuk Kleden-Probonegoro, dan Julianti Parani, serta JJ Rizal sebagai moderator. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Tarian Topeng Betawi di Bentara Budaya Jakarta

Tarian Topeng Betawi ikut mengisi acara diskusi bertajuk “Merayakan Pendekar Bahasa Betawi” Abdul Chaer—Kamus Bahasa, Masyarakat Jakarta dan Orang Betawi, yang digelar di Bentara Budaya, Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta, Jumat (8/12/2017) sore lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Abdul Chaer

Suasana diskusi bertajuk “Merayakan Pendekar Bahasa Betawi” Abdul Chaer—Kamus Bahasa, Masyarakat Jakarta dan Orang Betawi, yang digelar di Bentara Budaya, Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta, Jumat (8/12/2017) sore lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.