Kristanto Susilo Masuk Dunia Keris Lewat Buku

Kristanto Susilo Masuk Dunia Keris Lewat Buku
Kristanto Susilo berpose di samping lukisan Pangeran Diponegoro, yang tengah dipamerkan di acara Gebyar Semaken, Peringatan HUT ke-232 Pangeran Diponegoro di Desa Banjararum, Kalibawang, Kulonprogo, (9-11/11/2017) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Kata orang bijak,  buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan. Kita juga bisa mengetahui dan memahami banyak hal yang ada di dunia ini dengan membaca buku.

Hal itu, setidaknya, sudah dibuktikan oleh Kristanto Susilo, ketika mulai serius belajar tentang keris. Ia belajar secara otodidak, dengan membaca buku-buku perkerisan.

“Belajar sendiri, otodidak. Beli buku-buku soal keris, yang bahas soal keris, pengetahuan soal keris. Buku apa saja yang terkait dengan keris, saya beli,” cerita Kristanto, pria kelahiran Yogyakarta, tahun 1957, ini.

Buku-buku karangan Lumintu, Bambang Harsrinuksmo, Haryono Haryo Guritno, termasuk buku Toni Junus, menjadi koleksi Kristanto. Bahkan katalog-katalog tentang keris juga dikoleksinya sebagai bahan referensi.

Kristanto memiliki keris pertama di tahun 1975, yaitu saat diberi keris oleh kakeknya. Waktu itu ia sama sekali belum memiliki pengetahuan tentang keris. Dan, karena kesibukan sekolah, keris itu pun hanya ia simpan.

Minat mempelajari keris mulai muncul di tahun 1982. Saat itu Kristanto sudah kuliah dan bertemu teman masa kecil. Temannya itu kuliah di Teknik Metalurgi, ITB, dan tengah mengerjakan tugas akhir. Dan, kebetulan pula tentang metalurgi keris.

“Judulnya Keris Jawa. Metalurgi Keris Jawa. Karena dekat dengan dia, sehingga saya lihat dia sering meneliti itu, tertariknya dari situ,” cerita Kristanto tentang awal ketetarikannya dengan keris.

Setelah serius mempelajari keris, Kristanto juga mulai mengoleksi keris, pedang, serta tombak yang ada pamornya. Ia lantas mencocokkan apa yang didapat dari membaca di buku dengan keris, tombak atau pedang yang ia miliki.

“Keris yang kita beli apakah sesuai dengan isi buku itu, misalnya secara metalurginya begini, secara rancang bangunnya begini. Apakah benar apa nggak, harus kita cocokkan dari buku dengan kerisnya. Jadi keris itu cocok nggak dengan isi tulisan buku itu. Itu belajarnya,” kata Kristanto, angkatan 1978, Teknik Pertambangan, Geologi, UPN.

Dari cara belajar seperti itu Kristanto kadang menemukan ada perbedaan antara penjelasan di buku dengan keris yang dimiliki. Ia biasanya lantas lebih menggali lagi untuk melihat di mana adanya ketidakcocokan itu. Dengan begitu ia bisa lebih mengenal model keris dari masing-masing zaman atau tangguh.

Ia juga membandingkan penjelasan atau rincian suatu keris di satu buku dengan buku yang lain. Karena ia, kadang, menemukan penjelasan di satu buku tidak lengkap, atau tidak ditemukan, tapi ternyata kemudian ada di buku yang lain.

“Di buku itu tertulis katakanlah kembang kacangnya A, modelnya. Ternyata kita lihat di barang itu sendiri kembang kacangnya tidak A, tapi berbeda, mungkin C atau D. Kemudian hal-hal ricikan lain yang tertera di situ, dalam buku, itu banyak yang berbeda. Kita harus melakukan penyesuaian-penyesuaian bentuk dengan langgam yang lain. Jadi apakah ini bukan termasuk langgam yang tertulis di buku ini, mungkin tertulis oleh orang lain di buku yang lain dengan beda zaman atau tangguh yang berbeda. Mungkin seperti itu,” ujar Kristanto.

Kristanto Susilo di Semaken, Kulonprogo

Kristanto Susilo (jaket biru) berbincang-bincang dengan insan perkerisan saat acara Gebyar Semaken, Peringatan HUT ke-232 Pangeran Diponegoro di Desa Banjararum, Kalibawang, Kulonprogo, (9-11/11/2017) lalu. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Sebagai orang geolog, Kristanto melihat masing-masing tangguh keris memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal besi. Semua besi keris bisa dibilang sama baiknya. Yang membedakan, masing-masing daerah tempat keris berasal atau tempat besi itu diambil sebagai bahan keris, tidak memiliki kualitas besi yang sama.

BACA JUGA  Panembahan Sumolo, Raja Sumenep yang Pandai Bikin Keris

Cara mewasuh atau membersihkan besi dari unsur-unsur lain, juga turut menentukan kualitas besi keris. Besi keris bisa jadi berasal dari wilayah lain, atau diimport. Bahkan bisa juga ubahan dari benda lain yang kemudian dipakai sebagai besi keris. Karena itu, menurut Kristanto, masing-masing tangguh keris bisa dibedakan besinya.

“Kalau kita mengacu pada selera umum, mengatakan bahwa keris pada era Majapahit yang terbaik besinya… Karena teknologinya paling bagus, teknologi pewasuhan. Kemudian pemilihan besinya sudah bagus. Bisa jadi, itu mungkin, besi lokal, bisa jadi besi impor,” kata Kristanto, pria kelahiran tahun 1957 ini.

Menurut Kristanto, ada keterkaitan antara kondisi suatu kerajaan dengan kualitas keris yang dihasilkan. Kerajaan atau zaman yang memiliki akses yang baik, punya teknologi budaya yang baik, dan keadaan sosial politik negeri itu juga baik, memungkinkan dihasilkan keris-keris yang bagus. Tentunya termasuk adanya empu yang mumpuni.

“Dulu itu negeri yang memang miskin, memang sulit secara ekonomi, mungkin juga keadaan politik budayanya, ontran-ontran thok, pasti membuat barangnya tidak akan bagus,” jelas Kristanto yang lahir di Yogyakarta.

Untuk melihat kualitas besi suatu keris, menurut Kristanto, kita perlu melihat besi dasarnya. Yaitu besi yang terdapat di saton, atau tempat bersatunya besi dengan pamor. Nah, besi dasar di situ bagus atau tidak. Wasuhannya sempurna atau tidak. Itu yang pertama perlu dilihat.

“Kalau besi dasar itu bagus, itu ditentukan dengan tekstur besi yang halus, teksturnya nglempung atau nyabak. Warnanya harus bener-bener bagus, dari tampilan warna juga harus menampilkan warna yang bagus. Tidak selalu homogen, tapi bagus,” jelas Kristanto.

Kristanto melihat besi pabrikan sekarang lebih bagus. Karena besi sekarang pemurniannya bisa maksimal. Lewat olahan smelter di pabrik, hasilnya pasti besi yang murni.

Karena itu, sebagai bentuk pelestarian budaya, Kristanto lebih menyarankan penggunaan besi-besi pabrikan sekarang. Kalau mau memakai besi hasil olahan dari luar atau impor juga tidak masalah, untuk pembuatan keris-keris baru atau kamardikan.

“Dengan teknik yang sama, dengan cara tata reka pamor yang sama, kemudian kaidah-kaidah lainnya yang sama, itu harusnya, tampilnya, lebih bagus besi sekarang, ketimbang (besi) yang dulu,” ujar Kristanto.

Kristanto melihat besi di keris-keris lama atau sepuh, belum sepenuhnya bersih dari unsur-unsur di luar besi. Bahkan besi keris yang mengalami penempaan atau pewasuhan paling tinggi, masih belum bersih benar. Hal itu bisa terlihat ketika diwarangi, warna besi tidak homogen. Jadi tidak bisa hitam semuanya, masih ada belang-belangnya.

Hal ini berbeda dengan besi-besi sekarang. Kalau hitam, setelah diwarangi, maka akan hitam sepenuhnya, tidak ada bercak-bercaknya. Jadi indikatornya ada di perbedaan warna atau gradasi warna di besi lama dan besi baru.

“Ketika besi baru, itu semuanya, gradasi warna sudah hilang. Sedangkan pada besi lama itu, gradasi warna masih kelihatan,” terang Kristanto yang sekarang tinggal di Muntilan, Magelang.

Kristanto mempunyai cara tersendiri untuk menentukan tangguh suatu keris. Cara ini juga bisa dipakai untuk menentukan apakah keris itu buatan baru atau keris lama.

Ada tiga aspek yang dipakai Kristanto sebagai syarat. Pertama adalah aspek rancang bangun, atau arsitekturnya. Di aspek ini, seperti misalnya, model ricikan, greneng, sogokan, blumbangan, gandhik, profil bilah termasuk permukaan bilah cembung atau pakai kruwingan, geger sapi. Dan kalau keris luk, luknya seperti apa.

Kedua, teknologi yang digunakan. Yaitu bagaimana susunan konstruksi struktur dari besi pembentuk badan keris. Dan ketiga, adalah metalurgi yang digunakan, jenis apa yang digunakan. Misal, siderit, magnetik, atau besi-besi lain yang  mengandung sulfida tinggi.

BACA JUGA  Bila Negeri Jiran Belajar ke Museum Pusaka TMII

Ketiga aspek itu, menurut Kristanto harus ada atau terpenuhi. Jika salah satu aspek tidak terpenuhi, maka ia tidak akan menilai atau menangguh suatu keris. Tidak boleh ada aspek yang kurang satu saja. Kristanto beralasan, sekarang ini orang bisa membuat keris berubah bentuk. Misal, dari keris Tuban menjadi HB V atau HB VII.

“Itu satu aspek tidak terpenuhi. Dua aspek terpenuhi, yaitu teknologi dan metalurgi terpenuhi. Tapi rancang bangun keliru. Ini kan namanya teknologi metalurgi Tuban, kok rancang bangunnya HB, kan keliru. Itu tidak akan saya justifikasi. Saya bilang saja tangguh luput,” tegas Kristanto.

Nah, jika ketiga aspek tersebut terpenuhi atau sudah diketahui, maka menurut Kristanto, jarang akan ada kekeliruan. Kita lantas bisa menentukan tangguh suatu keris.

Sebagai orang yang tahu metalurgi, Kristanto menilai para empu dahulu sudah termasuk orang-orang yang pintar. Mereka secara teknologi dan pemilihan bahan sudah mumpuni. Bahkan ia menilai para empu itu lebih inovatif dan kreatif.

“Dengan keterbatasan, peluang yang ada pada saat itu dibandingkan dengan sekarang. Keterbatasan peralatan kerja, bahan, mereka bisa menciptakan barang yang seperti itu. Yang sifatnya sekarang kita anggap adiluhung itu, menurut saya itu hebat mereka. Hebat,” ujar Kristanto.

Bahkan ada teknologi milik para empu dahulu yang belum bisa ditiru oleh orang-orang sekarang. Kristanto memberi contoh teknologi milik Empu Supo dan Bekeljati. Kedua empu tadi memiliki teknik yang cukup rumit. Dan, konstruksi struktur komponennya tidak hanya dua, saton dan slorok. Tapi lebih dari itu, seperti teknik penapihan, pembuatan saton pondasi, yang belum bisa dibuat orang sekarang.

Sementara soal bahan pamor di keris sepuh, menurut Kristanto, ada tiga bahan yang digunakan. Pertama, pamor dari meteorit. Kedua, menggunakan subsitusi bahan lain yang sangat mirip dengan meteorit. Ini misalnya, besi meteorit, yang di zaman kerajaan dahulu juga sudah ada. Dan ketiga, menggunakan logam nikel.

“Yang lucu kan nikel sendiri dikenal pada abad 19, baru dikenal. Padahal abad 16, 17 orang sudah pakai nikel. Mereka, empu itu, nggak tahu kalau itu nikel. Baru sekarang kan orang tahu. Oh ya, tibaknen itu nikel,” kata Kristanto.

Pamor sebuah keris, menurut Kristanto, bisa diketahui berasal dari meteorit atau bukan dengan cara melihat tampilannya. Yaitu tampilan tekstur, warna, dan juga lenggah pamor terhadap bilah. Lenggah pamor yaitu kedudukan pamor di permukaan bilah seperti apa. Dari situ bisa dilihat apakah pamor itu berasal dari meteorit atau bukan.

“Ketika kita melihat keris berpamor meteorit, itu lebih berkarisma, ada kesan angkernya, ada gregetnya, ada guwoyonya. Kita lihat keris berpamor nikel, itu kelihatan wah bercahaya bagus. Marak ati, memancar. Untuk keris yang sama, dapur sama, pamor sama itu ada perbedaan. Tapi lebih kelihatan angker kalau berpamor meteorit. Angker. Kalau berpamor nikel lebih kelihatan indah. Jadi estetika dengan keangkeran,” ujar Kristanto.

Kristanto menyarankan bagi mereka yang tertarik memiliki keris, sebaiknya dimulai dengan banyak membaca. Menambah pengetahuan lewat buku, majalah, diktat, atau makalah hasil sarasehan yang berisi pengetahuan tentang keris.

Selain itu, perlu juga mempunyai gambar atau foto-foto yang menunjang penjelasan dari buku yang dipelajari. Perlu juga sering ikut sarasehan, mendengar penjelasan dari orang yang memang mengerti. Termasuk melihat-lihat keris di pameran atau museum. Intinya belajar dulu, baru mengoleksi keris. *

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.