Meriam Kiai Jimat dan Sejarah Kesultanan Banten

Meriam yang besar ini selain menjadi simbol kekerabatan antara Demak dan Banten, juga lambang keagungan Kerajaan Banten. Meriam yang sekarang bernama Kiai Amuk itu kini berada di halaman depan Masjid Agung Banten.

Meriam Kiai Amuk dikutip dari buku “Banten” karya Claude Guillot. (Kontributor/Istimewa)
Banten masa silam adalah sebuah kerajaan Islam yang kuat dengan pelabuhan laut yang tidak pernah sepi dari kapal-kapal besar perdagangan. Pelabuhan Karangantu, Banten, adalah salah satu pusat perdagangan rempah-rempah yang tidak kalah sepi dengan Malaka di Semenanjung Melayu. Maka tak mengherankan bila Banten awal abad ke-16 sangat terkenal di kalangan para pedagang dari Eropa – Portugis, Inggris dan Belanda – Gujarat, Timur Tengah dan Cina.
Di Pelabuhan Karangantu itu, terpasang menghadap ke laut, beberapa meriam berderet gagah. Meriam-meriam ini diperkirakan merupakan pertahanan Kesultanan Banten dari kemungkinan serangan-serangan musuh yang datang dari arah laut. Maklum, waktu itu para pedagang Portugis sangat berminat mendominasi salah satu pelabuhan ramai di Jawa itu – selain Cirebon, Jepara, dan Surabaya.
Salah satu meriam terbesar, yang diberi nama Kiai Jimat, terletak di tengah dari deretan meriam-meriam tersebut. Kiai Jimat adalah meriam buatan Demak tahun 1528. Senjata canggih pada zaman tersebut merupakan pemberian Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak kepada adik iparnya, sekaligus gurunya : Nurullah atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau Faletehan.
Namun menurut sejumlah sejarawan, meriam yang dibuat sangat besar sebenarnya bukan untuk berperang. Dalam bukunya, Nusa Jawa : Silang Budaya, sejarawan Denys Lombard menyatakan, bahwa meriam-meriam besar dibuat sebagai pusaka dan didudukkan sebagai lambang kewibawaan seorang raja. Lombard mencontohkan, meriam di Mataram zaman pemerintahan Sultan Agung, yaitu Kiai Sapu Jagad atau Kiai Pancawura, dibunyikan sebagai tanda keadaan darurat, dibukanya gerbang istana, tanda kematian seorang pembesar keraton, bahkan terkadang sebagai tanda kemarahan sang raja. Jadi kemungkinan besar, Sultan Trenggono mengirimkan meriam itu ke Banten sebagai simbol kekuasaannya, bahwa Banten sebagai vasal Kerajaan Demak. Atau, kemungkinan lain, Trenggono ingin memberi simbol kekuasaan kepada iparnya, Sunan Gunung Jati, sebagai penguasan baru di Banten – yang semula masuk kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Apapun kegunaannya, meriam Ki Jimat di Banten, yang kini bernama Kiai Amuk – tidak diketahui secara tepat sejak kapan nama itu diubah – memang termasuk meriam yang sangat besar. Bisa dibayangkan suara gelegarnya, bila meriam itu memuntahkan pelurunya. Kiai Jimat terbuat dari perunggu dengan berat hampir 7 ton, panjang 3 meter, diameter luar laras meriam sebesar 70 senti meter, diameter dalam laras 34 senti meter. Sejarawan Denys Lombard menggarisbawahi, bahwa dalam catatan Mendes Pinto dari Portugis, pembuatan meriam itu dikomandani oleh Coje Geinal (Khoja Zainal), seorang Portugis asal Algarvia, Portugis Selatan, yang membelot dan mengabdi kepada Sultan Trenggono di Demak.

Motif yang tertera di bahu meriam, menurut Denys Lombard, mengingatkan motif gunung kosmis. (Repro Denys Lombard)
Aslinya, pada badan meriam yang terbuat dari perunggu itu ada inskripsi Arab pada tiga bulatan pipih yang menghias badan meriam. Inskripsi pertama tertera di bulatan kesatu dan kedua dan berbunyi : “Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani.” Artinya kurang lebih : “Hasil akhir dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman. Sedangkan inskripsi kedua yang tertera bulatan pipih ketiga, berbunyi, “La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta.” Artinya : “Tiada yang lebih hebat dari Ali, tiada golok kecuali Zulfikar, bersabarlah dalam taqwa.” Pada bahu meriam (semacam tonjolan di tengah yang menyangga meriam) didapati motif kosmis dengan pusat gunung di tengah dan kanan-kiri arah empat mata angin.
Sejarawan De Graaf mengutip hasil analisa arkeolog Dr. Karel Christiaan Crucq bahwa meriam yang dibuat tahun 1528, yang semula diberi nama Meriam Rara Banya, adalah buatan orang Portugis yang mengabdi kepada Raja Demak ketiga. Jadi sejarawan Lombard yang mengutip catatan Mendes Pinto, sama dengan hasil analisa Dr. Crucq, – yang dikutip oleh De Graaf.
Catatan dalam buku Nusa Dua : Silang Budaya menyebutkan, bahwa meriam yang elok sekali itu dulu disimpan di bawah sebuah bangunan beratap dekat pelabuhan Banten yang kuno, kemudian dipindahkan ke Kantor Kabupaten Serang, tapi kemudian dipindahkan lagi di halaman Masjid Agung Banten. Pemindahan ini dilakukan karena meriam bersejarah dijadikan tempat ziarah dan tirakatan oleh masyarakat luas. Dikhawatirkan bila didiamkan akan menyuburkan kemusrikan, maka meriam itu kini menempati aman di halaman Masjid Agung Demak.
Benarkah Kiai Amuk ini juga Kiai Jimat yang disebut oleh para sejarawan tersebut? Menurut ciri-ciri yang ada pada Kiai Amuk yang sekarang, agaknya, bisa dipastikan bahwa meriam Kiai Jimat adalah juga Kiai Amuk. Meskipun hingga kini masih beredar pendapat di masyarakat, bahwa Kiai Amuk bukan Kiai Jimat, karena meriam yang diadiahkan oleh Sultan Trenggono dari Demak sudah dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika menghancurkan Banten. Namun pendapat ini tidak didukung data sejarah yang valid.
Jadi bisa dipastikan bahwa Kiai Amuk benar-benar merupakan benda bersejarah penanda zaman – yang menjadi simbol hubungan Demak, Cirebon dan Banten – tiga kerajaan Islam awal di Pulau Jawa. Patut diteliti juga lebih jauh, tahun berapa sebenarnya Banten merdeka atau bebas dari pengaruh Demak pada awal abad ke-16 itu? Adalah Sunan Gunung Jati, yang merupakan adik ipar dari Sultan Trenggana dari Demak, pernah diutus oleh Raja Demak ke tiga itu untuk menguasai Banten – tentu saja setelah bekas panglima Demak itu menguasai Caruban (Cirebon) dan membuat Islam berkembang pesat di wilayah yang memiliki produksi padi melimpah dan pelabuhan yang ramai itu.
Sayang sekali, hingga kini, menyangkut kejelasan Sunan Gunung Jati sebagai sosok sangat penting untuk ketiga kerajaan (Demak, Cirebon, Banten) hingga kini masih rancu, antara legenda dan sejarah. Antara mitos dan fakta. Tapi sejarawan kondang HJ De Graaf dan TH Pigeaud meyakini, bahwa Sunan Gunung Jati adalah bekas panglima Demak yang ditugaskan Sultan Trenggana untuk ekspansi ke Jawa bagian Barat.

Salah satu sudut Istana Kaibon, di situs Banten lama, Serang, Banten. (Repro Kompas/Dwi AS Setianingsih/doe)
Graaf yang mengutip dari Sedjarah Banten karya Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa wali Cirebon itu bernama asli : Nurullah yang berasal dari Pasai, suatu pelabuhan tua di Aceh. Ketika pada tahun 1521, Pasai direbut oleh Portugis, Nurullah pergi ke Mekkah. Setelah memperdalam ilmunya, tahun 1524, Nurullah kembali ke Nusantara dan mendarat di Pulau Jawa, dan langsung menuju Demak yang sedang berkembang. Karena ilmu Islamnya yang tinggi, dia mendapat tempat yang terhormat di Keraton Demak. Nurullah bahkan dinikahkan dengan seorang adik perempuan raja.
Dengan izin dan bantuan Sultan Trenggono, tidak lama setelah dia dinikahkan dengan adik raja, berangkat ke Banten, untuk mendirikan Jemaah Islam yang daerah yang masih dikuasai oleh raja Pajajaran itu. Dengan bantuan militer Demak, Sunan Gunung Jati bisa mengusir bupati Sunda di sana. Berikutnya, Sunan Gunung Jati melakukan penyerangan ke pelabuhan tua milik Kerajaan Pajajaran, Sunda Kelapa. Setelah melalui pertempuran yang sengit, pada tahun 1527, Sunda Kelapa jatuh ke tangan Banten. Atas sukses kiprah Nurullah di Banten – dan sebelumnya Cirebon, Sunan Gunung Jati mendapat hadiah meriam Kiai Jimat itu.
Ketika Raja Demak yang ketiga wafat, dalam ekspansi wilayah ke Panarukan (sekarang Pasuruan) pada tahun 1546, sesusungguhnya Banten dan Cirebon lepas dari kekuasaan Demak. Saat Kerajaan Demak itu mengalamai konflik internal antar pewarisnya, Sunan Gunung Jati di Banten memutuskan pindah ke Cirebon pada tahun 1552. Ini disebabkan putranya yang mewakilinya untuk memimpin Cirebon meninggal muda.
Kepemimpinan Banten diteruskan oleh oleh putra Sunan Gunung Jati, bernama Hasanuddin. Sedangkan pemerintahan di Cirebon, setelah wali hebat itu meninggal pada tahun 1570, diteruskan oleh cicitnya yang terkenal dengan nama Pangeran Ratu.
Sumber: Nusa Jawa: Silang Budaya oleh Denys Lombard, Kerajaan Islam Pertama di Jawa oleh HJ De Graaf dan TH Pigeaud, dan berbagai sumber.
No Responses