Keris Pusaka Tempaan Gusti Yudho

Mau dijadikan dapur apa keris tempaan Gusti Yudho? Bisa jadi tilamupih, atau dapur pusaka lainnya. Yang pasti, akan dijadikan pusaka pangeling-eling oleh besalen “Guloklopo”, bahwa pernah ada seorang pengageng Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang ikut menempa di tempat khusus pembuatan tosan aji di samping Museum Pusaka Taman Mini di Jakarta Timur.
Siang hari yang terik, Senin (13/11/2017) itu memang menjadi catatan istimewa bagi besalen yang baru seumur jagung, dan bahkan belum diresmikan di Jakarta ini ketika Pengageng Kraton Ngayogyakarta ini berniat singgah.
Baru mulai menyala apinya 17 Agustus 2017 lalu, besalen yang dibangun dengan dana hibah dari anggota-anggota komunitas tosan aji Astajaya Jakarta, baru akan resmi diserahkan pada Museum Pusaka nanti pada 25 November 2017. Persis, pada hari peringatan diakuinya Keris Indonesia sebagai The Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO pada tanggal itu tahun 2005.
“Hendaknya besalen Taman Mini senantiasa dilengkapi dengan syarat besalen yang lengkap,” ujar Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat, adik kandung Sultan Hamengku Buwana X yang juga pengageng Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini pula, seperti dituturkan Ketua Umum Astajaya Cakra Wira Wiyata.
Syarat besalen yang lengkap, tentunya ya tidak hanya berupa material perlengkapan besalen. Akan tetapi juga persyaratan lain, persyaratan ritual serta tradisi yang biasa menyertai keberadaan sebuah tempat khusus pembuatan tosan aji.

Gusti Yudhaningrat (duduk berjaket) mengamati bilah hasil tempaan besalen GuloKlopo di Taman Mini bersama Rahadi Saptata Abro (kaus merah). (Kontributor/Abdul Fatah)
Siang yang terik hari Senin itu, Gusti Yudho bersama Rahadi Saptata Abro salah satu keturunan ke-6 Pangeran Diponegoro, menyempatkan singgah di besalen di bawah kerindangan pepohonan jati di samping Museum Pusaka ini.
Spontan, para anggota Astajaya pun saling jawil, dan berdatangan ke besalen untuk ikut menyaksikan “aksi tempa” Gusti Yudho di besalen “GuloKlopo” TMII ini. Gusti Yudho didampingi panjak besalen Ki Arifin dan juga Lurah besalen Andrianto Mas Tok.
Bagi Gusti Yudho, aksi tempa seperti ini tentunya bukan asing lagi. Beberapa tahun silam, akhir 1990-an, Gusti Yudho juga terlihat sangat sering singgah di besalen Mpu Djeno Harumbrodjo di desa Moyudan Sleman, Yogyakarta ketika memesankan keris untuk Sri Sultan Hamengku Buwana IX sang ayah, berupa keris pusaka Jangkung Mangkunagoro, dan juga pusaka tombak yang belum sempat diselesaikan oleh Empu Djeno, karena keburu meninggal.
Khusus untuk besalen “GuloKlopo” di Museum Pusaka Taman Mini ini, Gusti Yudho berpesan, bahwa “Tantangan ke depan adalah kesinambungan program agar api besalen tetap menyala. Dan mampu melahirkan keris-keris yang bermutu….,”
Gusti Yudho juga sempat berbincang beberapa saat di pendapa besalen, seraya mengamati hasil-hasil tempa besalen yang masih seumur jagung, dan bahkan belum diresmikan ini.

Gusti Yudhaningrat (berjaket) bersama Rahadi Saptata Abro ketika menempa di besalen GuloKlopo Taman Mini. (Kontributor/Rieta Ray Kelvianto)
Kedatangan Gusti Yudho ke besalen “GuloKlopo” Taman Mini ini, selain untuk meninjau kesiapan besalen sebelum diresmikan, juga bersama Rahadi Saptata Abro — salah satu keturunan Diponegoro –, melihat lokasi bakal digelarnya Wayang Diponegoro dengan dalang muda yang lagi populer, Ki Benyek Kuncoro pada 25 November 2017 ini.
Wayang Diponegoro adalah genre “wayang babad” yang tak banyak produknya. Khusus Wayang Diponegoro ini, diciptakan oleh Gusti Yudhaningrat pada Juli 2016. Dan pentas di Taman Mini ini adalah pentas Wayang Diponegoro yang ke-8 setelah terakhir di Semaken, Kulon Progo, Yogyakarta Sabtu (11/11/2017) untuk merayakan peringatan HUT 232 Pangeran Diponegoro.
Wayang Diponegoro, diciptakan Gusti Yudho dengan nara sumber-sumber, dua tokoh trah Diponegoro, Rahadi Saptata Abro dan Ki Roni Sodewo yang juga keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro. Lakon yang diangkat dari di pergelaran kali ini, diambil dari kisah nyata ketika Pangeran Diponegoro merempos (melebur menjadi pusaka baru) keris pusaka warisan dari ayahandanya, Hamengku Buwana III, lalu panah Sarutomo dan tombak pengawal pribadi Pangeran, Kiai Barutobo menjadi pusaka baru yang dibawanya sampai meninggal di pembuangan Makassar, Kanjeng Kiai Bondoyudo.
“Pagelaran di Museum Pusaka Taman Mini 25 November nanti, selain untuk memperingati hari diakuinya keris sebagai Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO (2005), juga sekaligus memperingati diakuinya Wayang sebagai Oral and Intangible Heritage of Humanity,” kata Ketua Umum Astajaya, Cakra Wiyata. Dan tidak kalah penting, kata Cakra, pergelaran itu juga untuk memperingati Naskah Babad Diponegoro (yang merupakan catatan Pangeran sendiri selama di pembuangan Makassar, dan dijadikan salah satu sumber sejarah oleh Sejarawan Inggris, Peter Carey) yang juga sudah diakui oleh UNESCO sebagai Memory of the World.

Berpose di besalen, dari kiri Cakra Wiyata, Abdul Fatah, Andrianto Mas Tok, Gusti Yudhaningrat, Rahadi Saptata Abro dan Ketua Bidang Umum Museum Pusaka TMII, Abdul Azis. (Kerisnews.com/Iskandar Z)
Serangkaian peringatan di Museum Pusaka Taman Mini pada 25 November ini juga ditandai dengan peluncuran resmi situs berita warisan budaya, Kerisnews.com yang sebenarnya sudah soft launching bersama menyalanya api besalen di Taman Mini ini, pada 17 Agustus 2017 lalu.
Jika besalen Taman Mini yang diberi nama “GuloKlopo” ini nantinya akan dijadikan semacam “besalen laboratorium” pembelajaran tempa keris bagi komunitas penggemar tosan aji di Jakarta dan sekitarnya, maka Kerisnews.com ini dimaksudkan untuk jadi media pemberitaan khususnya di bidang Warisan Budaya Nusantara, di antaranya Keris, Wayang, Batik dan juga Sejarah seputar tradisi budaya kita.
“GuloKlopo melambangkan merah dan putih, lambang bendera yang dulu dipakai Majapahit,” ujar Andrianto Mas Tok, Lurah Besalen di Taman Mini ini. Bahkan sebelum itu, Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh raja terakhir Singasari Kertanegara. Ekspedisi yang menjelajah wilayah Malayu di Sumatra dan Semenanjung ini, kembali ke Jawa setelah memasuki era kerajaan Majapahit, dan Singasari sudah sirna. *

Gusti Yudhaningrat (berjaket) ngopi sebelum kembali ke Yogyakarta, bersama Cakra Wiyata (baju putih) dan Rahadi Saptata Abro. (Kontributor/Istimewa)
No Responses