Sultan HB VII dan Petruk Dadi Ratu

Sultan HB VII dan Petruk Dadi Ratu
Sultan Hamengku Buwana VII (memerintah 1877-1920) dalam baju kebesarannya. (Kontributor/dok KITLV Leiden)

Tidak banyak yang tahu, bahwa fragmen wayang “Petruk Dadi Ratu” adalah karya Sultan Hamengku Buwono VII, yang dalam kesumpekan-hatinya mencipta cerita tersebut, sebagai wujud kritik halusnya terhadap semua kebijakan gubernur jenderal di Batavia, pada awal abad 20.   

Sejak dilantik sebagai Putra Mahkota Kesultanan Yogyakarta, pada 7 Agustus 1877, dihadapan Residen Yogya AJB Wattendorf – mewakili Gubernur Jenderal JW van Lansberge, calon raja Yogya yang bernama asli GRM Murtejo itu, tekanan politik pemerintah kolonial kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta semakin mencekik.

Setiap terjadi pengangkatan putra mahkota, maka pangeran yang bersangkutan harus bersedia menandatangai sejumlah kontrak politik yang disodorkan Pemerintah Hindia Belanda. Seminggu kemudian, Putra Mahkota dilantik menjadi sultan, maka Hindia Belanda akan menyodorkan kontrak politik baru – yang berbeda dengan kontrak yang ditandatangai ketika diangkat sebagai putra mahkota. Kontrak politik raja (Akte va Verband) ini lebih menekankan pada pengakuan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial di Batavia.

Karena itu, banyak kalangan pejabat Belanda yang sinis menyebut, bahwa kekuasaan raja-raja Jawa pada zaman itu disebut lenheer, atau penguasa pinjaman. Sebutan yang bermaksud mendiskreditkan raja-raja Jawa yang hanya berlaku sebagai penguasa semi otonom.

Sri Sultan Hamengku Buwana VII dalam dua versi baju kebesarannya. (Kontributor/KITLV Leiden)

Sultan HB VII bukannya tidak menyadari hal tersebut. Karena secara politik, hukum dan militer, Kesultanan Yogya tak lagi mampu melawan kekuatan penjajah, maka Raja Yogya itu mencoba melakukan langkah-langkah terobosan di bidang budaya saja. Simbol-simbol Jawa yang dilupakan, dan moralitas menurun drastis – karena antara lain sebagai akibat penetrasi budaya Barat yang begitu kuat, maka Sultan HB VII kemudian memerintahkan kepada semua aparat keraton untuk menggalakkan wayang kulit maupun wayang orang, kriya, dan batik. Keris dan tosan aji mengalami zaman keemasan pada masa raja ini.

HB VII juga menata ulang motif-motif batik yang boleh dipakai di kalangan para bangsawan, sesuai dengan hirarkinya. Wayang orang diminta bisa digelar sesering mungkin dan diadakan di luar tembok keraton agar masyarakat luas bisa memahami budaya adiluhung bangsanya sendiri. Pada zaman HB VII inilah, wayang orang (WO) mengalami kemajuan pesat.

Sultan juga meminta para seniman keraton – bahkan  dua putranya, Pangeran Tejokusumo dan Pangeran Cokrodiyo – untuk menciptakan gagrak dan fragmen baru cerita-cerita wayang yang berinduk dari Kitab Ramayana dan Mahabharata. Kesenian Ketoprak yang dikembangkan oleh Pangeran Cokrodiyo menjadi kesenian yang populer dan digemari masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

BACA JUGA  Membaca Ulang Kisah Baron Sekeber

Raja sendiri mengkreasi lakon “Petruk Dadi Ratu”, yang sebenarya sindiran kepada para gubernur jenderal di Batavia yang selalu menekannya. Tokoh Petruk kebetulan memiliki ciri fisik yang serupa dengan orang Eropa.  Tinggi, dan berhidung mancung. Maka lahirlah tokoh wayang : Prabu Tongtongsot, alias Jenderal Gurnadur Welgeduwelbleh – yang oleh masyarakat pedalangan sekarang sering disingkat sebagai Prabu Welgeduwelbleh. Kenapa mengkritisi para gubernur jenderal? Hanya Sultan HB VII, raja yang mengalami pergantian sembilan gubernur jenderal – yang tabiat dan kebijakannya berbeda-beda, tapi sangat menekan kekuasaan sultan.

Cerita wayang karya Sultan HB VII, kurang lebih menceritakan hilangnya pusaka Keraton Amarta : Jamus Kalimasada. Penggambaran Jamus Kalimasada sebagai perlambang bahwa masyarakat mengalami penurunan moralitas. Ini disebabkan keleluasaan dan kebebasan dirampas oleh orang yang tidak berhak (penguasa penjajah).  Kalimasada dipegang oleh orang yang tidak berhak, sehingga ketidaktentraman melanda negeri.  Inilah cerita singkat fragmen wayang anggitan Sultan HB VII itu :

Alkisah, Dewi Mustakaweni, seorang putri dan sekaligus panglima perang dari Kerajaan Ima-imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai Gatutkaca, putra Bima. Gatutkaca palsu itu menghadap Dewi Drupadi, dan mengaku sebagai utusan Prabu Puntadewa, untuk mengambil pusaka Jamus Kalimasada yang diperlukan membangun Candi Saptoargo.  Putri cantik tersebut dengan mudah membawa lari pusaka Keraton Amarta itu .

Waktu itu, seorang satria yang mengaku anak Arjuna dari ibu Endang Priyastuti, bernama Bambang Priyambodo, diuji-coba oleh ayahnya – atas perintah Prabu Bathara  Kresna, agar mencari Jamus Kalimasada yang hilang itu. Bila pusaka itu diketemukan, maka dia akan diakui sebagai putra sah Raden Arjuna.

Bambang Priyambodo pergi dengan disertai Petruk, melakukan laku tirakat melalui hutan-hutan lebat, untuk mencari petunjuk raibnya Jamus Kalimasada. Ringkas cerita, langkahnya menuju ke Negeri Ima Imantaka. Di tengah jalan mendekati ibukota Ima Imantaka, Priyambodo berjumpa dengan Dewi Mustakaweni. Dari dialog, terbongkar bahwa inilah pencurinya. Terjadi perang tanding, Mustakaweni kalah sakti, dan menyatakan takluk.

Jamus Kalimasada yang berhasil diperolehnya, dititipkan kepada Petruk untuk dihaturkan kepada para satria Pandawa. Sedangkan,  Priyambodo yang jatuh cinta kepada putri cantik itu hendak menghadap ayah Mustakaweni, Prabu Mustakaraja, untuk melamar.

Dalam perjalanan menuju Amarta, di tengah hutan Nebrasara, Petruk berjumpa dengan Adipati Karna, yang juga berniat  memiliki jimat tersebut. Petruk ditusuk dengan keris pusaka andalan Prabu Karna, Kiai Kala Dete, Petruk pun mati seketika.

BACA JUGA  Rembrandt pun Mengoleksi Keris

Namun Petruk dihidupkan kembali oleh ayah aslinya, yaitu raja gandarwa bernama Prabu Suwala dari Keraton Kajiman Pecuk Pecukilan. Bahkan Petruk kembali menerima Jamus Kalimasada dari ayahnya tersebut. Rupanya, raja gandarwa itu melihat semua perjalanan anaknya. Sehingga, melihat jelas anaknya diperdaya oleh Karna.  Gandarwa Suwala lantas mengubah wujudnya menjadi Prabu Duryudana, dan mencegat Karna. Ringkasnya, Karna menyerahkan pusaka itu kepada junjungannya itu – yang ternyata palsu.

Kepada anaknya, Suwala berpesan, agar Petruk berhati-hati,  dan menyarankan jimat tersebut diletakkan di atas kepalanya.  Ternyata setelah jimat diletakkan di kepala,  Petruk menjadi sangat sakti, tidak mempan senjata apapun. Karna dan seluruh Kurawa yang akan merebut pusaka itupun semua dapat dikalahkannya.

Petruk-pun seperti lupa akan tugas utamanya, yaitu menyerahkan kembali pusaka itu kepada junjungannya. Dia malah mengembara, dan menaklukkan semua satria sakti yang ditemuinya. Langkahnya membawanya ke Kerajaan Loji Tengara, atau Kerajaan Jabalekat atau Jabal Kobet. Petruk mengalahkan Prabu Kalimantara, raja Loji Tengara itu.  Dia kemudian menjadi raja dengan gelar Prabu Suro Gembelo, atau Prabu Tongtongsot, alias Jenderal Gurnadur Welgeduwelbeh.

Tongtong Sot, tokoh wayang menggambarkan ketika Petruk Jadi Ratu. (Kontributor/dok Senawangi)

 

Ketika akan mewisuda dirinya, semua raja negara bawahan yang ditaklukkannya hadir termasuk Astina. Yang belum hanya Amarta, Dwarawati, dan Mandura. Tentu saja, Tongtongsot sangat marah. Maka ketiga negara itu diperanginya. Sayangnya, yang dihadapi kali ini adala raja titisan Wisnu, Bathara Kresna – yang sudah melihat siapa sebenarnya Prabu Suro Gembelo itu. Maka dimintalah Semar Badranaya untuk melawan raja bertubuh tinggi dan berhidung sangat mancung itu.

Oleh Semar, Gareng dan Bagong diajukan sebagai wakil dari Dwarawati. Terjadilah peperangan yang sangat ramai antara Jenderal Gurnadur Welgeduwelbeh dengan Gareng dan Bagong. Lama kelamaan, raja sakti ibu badhar (kembali wujud) menjadi Petruk.

Setelah terbuka semua, Petruk menjelaskan kepada semua tuannya, bahwa tindakannya itu hanya mengingatkan bahwa segala perilaku pimpinan negara itu harus menjadi teladan bagi rakyatnya, dan tidak boleh berlaku sombong, takabur dan sewenang-wenang.

Di sini jelas, bagaimana sebenarnya Sultan HB VII ingin menegur halus, bahwa siapapun yang menjadi Gubernur Jenderal di Batavia, agar tidak berlaku sewenang-wenang. Pemilihan tokoh Petruk yang tinggi dan berhidung mancung, serta bergelar Jenderal Gurnadur Welgeduwelbleh, adalah kiasan untuk menggambarkan sosok penguasa Hindia Belanda, yang sangat menghimpit kerajaan-kerajaan di Jawa bagian tengah-selatan itu. *

 

Bahan: Dari berbagai sumber

 

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

One Response

  1. daud firdaus

    daud firdausNovember 20, 2017 at 4:23 pmReply

    testing

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.