Besalen Ki Joyo Misdi Produksi Kodokan Keris

Besalen Ki Joyo Misdi Produksi Kodokan Keris
Ki Joyo Misdi dan Tim sedang bekerja di besalen. (Dok Paguyuban AJISAKA)

Meski sebagian kolektor masih lebih melirik keris-keris sepuh, Paguyuban AJISAKA justru membina Ki Joyo Misdi. Seorang pande besi dari Sumber Pasir, Pakis, Kab. Malang. Ki Joyo yang biasa membuat alat pertanian dan pertukangan ini akhirnya mampu membuat kodokan, bakalan untuk membuat keris baru.

“Khusus besalen Ki Joyo Misdi ini memang kita bina dari awal, dan sampai delapan, sembilan tahun terakhir ini mampu menyediakan kodokan-kodokan yang akhirnya digarap oleh empu-empu keris di Kota Malang,” kata Raden Prasena Cakra Adiningrat.

Untuk membina Ki Joyo Misdi sejak 2009, paguyuban menggandeng pengrajin dari Sumenep, dan beberapa dari Malang. Paguyuban juga bekerjasama dengan Kampus, dengan dosen. Jika Kampus ada program pengabdian masyarakat, lantas diarahkan ke besalen.

“Kita memperbaiki besalennya, dari perapennya yang biasanya pakai bata biasa, kita pakai bata tahan api. Kita kasih cerobong asap, dan kemudian unsur K3-nya kita perhatikan. Kemudian kita kasih pelatihan manajerial untuk pemasaran dan sebagainya,” terang Raden Prasena, Ketua Paguyuban Pecinta dan Pelestari Tosan Aji Nusantara “AJISAKA”, Malang.

Hasilnya memang tidak mengecewakan. Tahun 2012, kodokan dari besalen Ki Joyo Misdi yang digarap empu di Malang, menjadi keris Bethok Sigar Jantung, berhasil menjadi juara satu tingkat Nasional di Lomba Keris Kamardikan “Hadiwijoyo”.

Ki Joyo Misdi sedang menggarap kodokan keris di besalennya. (Dok Paguyuban AJISAKA)

Menurut Prasena, di masa lalu, pande keris juga berawal dari pande biasa. Pande biasa yang mengerjakan sabit, arit dan sebagainya, untuk alat pertanian yang akhirnya mendapatkan pencerahan, dan kemudian menjadi pande keris.

“Akhirnya ada value added, ada peningkatan nilai. Kalau dia nggarap arit sampai jadi ya paling harganya 50-75 ribu. Kalau kodokan keris kan dia bisa jual sampai 500 ribu, 700 ribu, 1 juta. Variasi. Itu akan meningkatkan nilai produk dia,” lanjutnya.

BACA JUGA  Pesona Kujang di Botani Square Bogor

Menurut Prasena, Ki Joyo Misdi saat ini sudah bisa dianggap sebagai empu pande. Dalam satu paket pembuatan bilah keris, memang biasa dikerjakan oleh dua orang empu. Empu pande dan empu keris. Empu pande bertugas membuat dari bahan dasar, baik besi, baja maupun bahan pamor, menjadi kodokan keris. Kodokan ini selanjutnya dibawa ke empu keris untuk pengerjaan berikutnya.

Ki Joyo Misdi rutin membuat kodokan, terutama yang kelas biasa, dalam sehari bisa menghasilkan lima sampai sepuluh kodokan. Sementara yang pesanan khusus dalam sebulan kadang ada dua sampai tiga pesanan. Pesanan datang dari seluruh tanah air, bahkan ada yang dari Brunei, Malaysia.

Kodokan Ki Joyo Misdi ini kemudian digarap pengrajin lain. Di Malang sendiri, kata Prasena, saat ini ada 30-an lebih pengrajin mulai dari tingkat biasa atau pemula, menengah, sampai yang bertaraf empu keris.

“Kalau yang sudah mahir kita beri gelar empu. Dan itu AJISAKA yang memberi gelar. Karena keraton tidak memberikan gelar. Jadi kita sebagai paguyuban harus berani memberikan itu. Kenapa kita berikan gelar empu, karena kualitas,” kata Raden Prasena.

Untuk bahan pembuatan kodokan diambil dari sekitar Malang. Tentu menggunakan bahan-bahan pilihan. Baik dari logam tua maupun baru yang didapat dari pasar besi tua, atau dari besi-besi modern.

Besalen Ki Joyo Misdi atau ada juga yang menyebutnya Besalen Pasir Bersinar, selain digunakan oleh Ki Joyo dan timnya, kadang dipakai teman-teman Paguyuban AJISAKA membabar pusaka ramai-ramai. Menurut Prasena, ke depannya juga akan digunakan sebagai tempat pelatihan agar pande lain bisa meniru jejak Ki Joyo Misdi.

Ki Joyo Misdi sedang menggarap sebilah Tombak berlekuk di besalennya. (Dok Paguyuban AJISAKA)

Sebagai paguyuban tosan aji, AJISAKA juga berupaya membentuk pasar keris. Baik keris sepuh maupun baru. Menurut Prasena, Malang dulu terkenal dengan keris “prosesan”.

BACA JUGA  Gebyar Pangeran Diponegoro di Desa Semaken

“Itu yang tidak kita kehendaki. Kita sekarang fairly, menggelorakan mental-mental sportivitas. Ya mental terbuka, kalau memang lama kita bilang lama, kalau baru kita bilang baru. Jangan ada grey area, area abu-abu, tengah-tengah,” ujar Prasena, yang beberapa waktu lalu menggelar Pameran Pusaka Nusantara “Singhasari Bangkit” di Kota Malang.

Prasena melihat sekarang ini antara peminat keris sepuh dan baru hampir berimbang. Terutama sejak paguyuban-paguyuban di kota dan kabupaten menggelorakan secara bersama-sama bahwa keris-keris baru itu patut dihargai.

“Saya menentang pendapat yang mengatakan bahwa keris yang terbaik adalah keris sepuh. Keris sepuh baik, keris baru juga baik. Jadi kita harus punya keseimbangan dalam hal ini. Kita punya mental terhadap keris sepuh kita konservasi, terhadap keris-keris baru kita revitalisasi. Revitalisasi itu penting untuk ke depannya budaya ini bertumbuh,” tegas Prasena.

Kodokan Hasil garapan Besalen Ki Joyo Misdi. (Dok Paguyuban AJISAKA)

Adanya paguyuban-paguyuban, kata Prasena, memberikan pencerahan kepada masyarakat. Dengan ilmu tentang keris, masyarakat bisa memilih, membedakan mana yang sepuh mana yang baru. Dengan kemampuan ini maka keris-keris “prosesan”, atau yang di grey area, juga semakin turun.

Ke depan, Paguyuban AJISAKA akan melakukan budaya “Ngeksi Nggondo” atau mengharumkan kembali kejayaan Singhasari. Kongkritnya, akan mereplikasi kembali tosan aji Singhasari dengan gaya sekarang.

“Kita juga akan menghadirkan kembali tosan aji atau keris-keris di zaman Singhasari di era sekarang. Empu-empu sekarang nanti akan kita coba untuk membuat desain-desain baru keris-keris Kamardikan, langgamnya bergaya Singhasari,” kata Prasena kepada KerisNews.com.

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.