Empu Keris dari Mungguran

By Herry Hariadi (kontributor)
Hanya berdasarkan pengamatan sebilah keris warisan yang dimilikinya, Puryadi, belajar secara otodidak membabar keris. Kini, dia mampu membuat empat bilah keris per minggu. Sangat produktif, untuk ukuran membuat keris dengan cara-cara konvensional.
Belajar, belajar, dan belajar. Itulah agaknya motto yang dipegang erat-erat oleh Puryadi, 35, seorang empu keris dari Desa Mungguran, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta, dalam menggeluti karirnya sebagai pande besi pembuat keris. Kini namanya mulai melambung, dan mulai dikenal dalam jagad perkerisan di tanah air.
Keris-kerisnya menampilkan pamor-pamor yang khas. Bahkan beberapa penyuka keris mengatakan, pamor Wos Wutah karya Empu Puryadi mirip dengan pamor Wos Wutah keris Majapahit. “Dalam segi bentuk, memang terkadang belum sepenuhya laras, tapi sedikit dibesut, keris karyanya ke depan mempunyai masa depan yang cemerlang,” kata seorang kolektor keris dari Jakarta, yang tidak mau disebutkan namanya.
Puryadi tidak pernah belajar langsung kepada seorang guru. Sejak kecil, dia hanya sering melihat kakeknya, Rejo Ahat, yang berprofesi sebagai pandai besi pembuat alat-alat pertanian – dari golok, arit hingga cangkul. Meski ayahnya tidak melanjutkan garis trah keluarganya sebagai pande besi, Puryadi sangat tertarik dengan pekerjaan menempa besi. Sejak remaja dia sudah mulai meneruskan pekerjaaan kakeknya. “Saya hanya suka melihat Mbah Rejo membuat pacul, atau alat-alat lainnya,” katanya. Sejak kakeknya meninggal, maka Puryadi-lah penerus kemampuan pende besi keluarga itu. Dia membuat golok, arit, pisau dan cangkul.

Belajar membuat keris secara otodidak
Garis menjadi empu keris, disengaja atau tidak, agaknya sudah menjadi panggilan jiwanya. Pada tahun 2008, seorang sahabat bernama Tono, asal Banyu Sumurup, Bantul, Yogyakarta, menyarankannya untuk mencoba membuat keris. Alasannya sederhana, meskipun lebih sulit, membuat keris akan memperoleh hasil ekonomis yang lebih menguntungkan, ketimbang hanya membuat alat-alat pertanian saja. Puryadi sangat tertarik dengan saran temannya itu.
Pemuda asli Mungguran itu kemudian mencoba mengamati keris dhapur Kebo Lajer yang diwarisi dari leluhurnya. Dari obeservasi tekun terhadap keris tersebut, Puryadi mencoba membabar keris sendiri. “Awalnya, saya hanya membuat keris-keris kelengan. Karena belum tahu cara membuat keris berpamor “ katanya. Dari semula sebilah keris selesai seminggu, kini Puryadi mampu membuat empat bilah keris seminggu.
Setelah ada orang memesan keris berpamor, Puryadi mencoba mempelajari keris blak (keris yang ditirunya), yang biasanya ditinggal oleh pemesannya. Dengan cara trial and error, belajar dan belajar sendiri, kerja kerasnya membuahkan hasil. Empu muda itu berhasil membabar keris berpamor mlumah atau miring dengan waktu sama singkatnya. Yang menarik, Empu Puryanto tidak menggunakan panjak untuk membantunya membabar keris. Panjak adalah orang yang membantu empu untuk menempa, menangani ububan, menambah arang di perapian dan kerja besalen lainnya. “Sejak lima tahun ini, saya tidak memakai panjak. Semua saya kerjakan sendiri,” ucapnya.

Besalen ruang kerja Puryadi
Bila Empu Pur bisa membuat rata-rata empat bilah keris, dan sebilah keris perlu besi rata-rata seberat enam kilogram, maka sebulan dia memerlukan hampir satu kuintal besi setiap bulannya. “Bahan besi mudah didapat di daerah saya. Kalau nikel untuk bahan pamor, saya membeli di Kota Yogya,” ujarnya. Dalam hal bahan, lanjutnya, relatif tidak ada kendala. Empu Pur mematok harga per bilahnya rata-rata dua juta rupiah. Tentu saja, harga itu relatif, tergantung rumit-tidaknya bentuk keris yang dipesan. “Patokan saya, keris luk 13, pamor Wos Wutah, harganya dua juta rupiah itu,” tegasnya.
Kalau dulu pemesannya hanya dari warga sekitar saja, kini sudah dari berbagai kota di Indonesia. Bahkan, “Ada pemesan dari Makassar, orang bule dari Amerika, namanya Mister Allen,” ujar Empu Pur dengn bangga.
Selama ini, Puryadi mengaku membuat keris tanpa didahului dengan melakukan ritual-ritual khusus. Bahkan dia tidak menggunakan ukuran waktu dan hari yang tepat untuk memulai menempa keris. Namun beberapa kali dia juga pernah menjalankan ritual sesuai dengan pemesan. “Uba rampe (perlengkapan sesaji, Pen), pemesannya yang menyiapkan Saya hanya mengikuti saja,” jaelasnya.
Perjalanan Empu Puryadi masih sangat panjang. Ibarat tokoh dalam jagad pewayangan, Puryadi seperti Bambang Ekalaya atau Raden Palgunadi. Satria satu-satunya yang bisa mengalahkan kemahiran memanah satria Madukara, Raden Arjuna. Padahal Palgunadi tidak dibimbing oleh seorang guru. Palgunadi hanya berlatih memanah di depan patung gurunya, Resi Durna. Palgunadi belajar secara otodidak, dan karena tekun dan kerja keras, bisa mengalahkan satria hebat yang dididik langsung oleh Guru Durna.
Semoga, Empu Puryadi bisa sehebat para empu-empu keris zaman dahulu kala, dan menciptakan keris-keris bermutu, yang tentunya akan memperkaya khasanah budaya Nusantara.
HadiJuly 10, 2019 at 3:54 pm
Empu Pur ada nomot telepon yang bisa dihubungi?