Keris bagi Pria Bali adalah Kekuatan Purusa

By Anak Agung Gde Waisnawa Putra
Dalam tradisi Hindu Bali, Keris mempunyai posisi yang istimewa terutama dalam adat dan ritual keagamaan. Tidak heran penghargaan terhadap Keris begitu tinggi sehingga ada upacara khusus setiap enam bulan sekali di Bali yaitu Tumpek Landep.
Upacara setengah tahunan ini dimaksudkan untuk melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Pasupati (kekuatan Tuhan) yang telah menganugerahkan kecerdasan dan ketajaman pikiran kepada manusia. Dan kecerdasan serta ketajaman pikiran manusia inilah yang melahirkan daya cipta rasa dan karsa manusia dalam menciptakan sesuatu (output) yang dapat mempermudah kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan. Ketajaman pikiran (landep) ini dilambangkan dengan ketajaman sebilah Keris yang juga sarat dengan berbagai filosofi kehidupan.
Sementara dalam kaitan dengan diri manusia (buana alit), Tumpek Landep itu sesungguhnya momentum untuk selalu menajamkan pikiran (landeping idep), menajamkan perkataan (landeping wak) dan menajamkan perbuatan (landeping kaya). Ketiga unsur Tri Kaya Parisuda tersebut perlu lebih dipertajam agar berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Buah pikiran perlu dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula perbuatan dan perkataan yang dapat menentramkan pikiran dan batin orang lain.

Ragam sandangan Keris Bali (Kontributor/Anak Agung)
Secara historis, keris Bali adalah bagian dari peninggalan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Konon, pengaruh kebudayaan Majapahit sangat kuat sehingga senjata seperti keris diadopsi pula oleh kerajaan-kerajaan di Pulau Dewata. Secara filosofis, keris di Bali dipandang sebagai perlambang dari nilai ajaran kehidupan dalam tradisi keagamaan. Bahkan, mereka memiliki hari tertentu untuk bersembahyang saat akan merawat kesucian dari keris pusaka miliknya.
Ada yang khusus dalam memaknai Keris pada orang Bali adalah sebagai perlambang kekuatan purusa (lingga).
Seiring perkembangan zaman, Pemaknaan-pemaknaan tersebut sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh waktu seiring pula dengan semakin berkurangnya pemahaman filosofi Keris oleh generasi terkini.
Pada zaman kerajaan Kerajaan dalam catatan sejarah, keris adalah lambang status sosial dan lambang legitimasi kekuasaan. Bahkan menjadi life style khususnya para pria. Dalam setiap kesempatan semua pria pasti nyungkelit Keris di pinggangnya yang di Bali kala itu disebut Kadutan. Tidak heran jika setiap Pria pasti memiliki minimal satu bilah Keris yang kemudian akan diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai Keris Tetamian (warisan) yang patut dijaga dan disakralkan sampai generasi ke generasi.
Pada regenerasi inilah kemudian pemaknaan budaya Keris seolah mulai terkikis dan berjalan melambat. Banyak keluarga atau sekelompok masyarakat kurang paham dalam merawat Pusakanya. Karena alasan ekonomi tidak jarang pula kemudian ” memaharkan” Keris Keris pusakanya bahkan sampai ke luar negeri dan sekarang menjadi collector item para kolektor maupun Museum. Kondisi ini makin memperparah sebuah upaya pelestarian sehingga generasi terkinipun sebagian sudah mulai melupakan makna dan filosofi Keris yang sangat sarat dengan nilai nilai kebaikan hidup.
Sebagai contoh adalah pada upacara pernikahan. Gebyarnya sebuah upacara pernikahan pada orang Bali saat ini mulai banyak yang menyepelekan Keris sebagai sebuah tradisi ritual sarat makna yang diwariskan oleh para leluhurnya. Apa itu?
Keris yang dipakai dalam upacara pernikahan tersebut tidak lebih sebagai pelengkap busana semata. Terlihat berwarangka keemasan padahal wilahnyan hanya sebuah lempengan besi dibuat mirip lekukan Keris. Tanpa dapur yang jelas apalagi ricikan lainnya yang ada pada sebilah Keris yang benar-benar Keris.
Mereka lupa bahwa pada prosesi pemberkatan yang disebut mekalan-kalan adalah prosesi yang paling sakral dan ada fungsi keris sebagai lambang purusa menjadi bagian ritual paling penting. Pelaksaan upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala Bhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala (rumah).
Mekalan-kalan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekalan-kalan ini mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif dan berubah menjadi positif/baik. Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai.
Nah bagaimana ritual terpenting pada Keris saat upacara mekalan-kalan ini dilangsungkan? Pendeta atau Ida Pedanda yang memimpin upacara pemberkatan sebagai persaksian kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa kedua mempelai telah mengikatkan diri sebagai pasangan suami istri.

Ritual penusukan Tikeh Dadakan dengan sebilah Keris (Kontributor/Anak Agung
Pada prosesi ini mempelai pria wajib memakai Keris yang disungkelit sebagai lambang kekuatan Sang Hyang Purusa (lingga). Penganti wanita diwajibkan menduduki Tikeh Dadakan berupa tikar kecil dari anyaman daun pandan sebagai lambang kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan Yoni) atau sebagai lambang selaput dara (hymen). Pengantin Pria akan menghunus Kerisnya dan pengantin wanita akan mengambil Tikeh Dadakan yg didudukinya untuk kemudian pengantin Pria akan menusukan Kerisnya ke Tikeh Dadakan sampai robek.
Ritual penusukan Tikeh Dadakan dengan sebilah Keris ini melambangkan pemaknaan bahwa kedua mempelai sudah boleh melakukan hubungan suami istri karena sudah sah sebagai pasangan suami istri atas presaksi kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa maupun masyarakat sekitarnya.
Bagaimana tradisi ini bisa tetap berlangsung sampai ke anak cucu kita saat ini?
Semua berpulang kepada kita semua.
(Anak Agung Gde Waisnawa Putra, adalah bangsawan dari Puri Saraswati Gianyar dan pemerhati tosan aji)
No Responses