Sega Jamblang Menu Perang Kedongdong

Perang Kedongdong yang berlangsung sekitar 180 tahun di wilayah Cirebon-Majalengka pada 1700-1850 tidak hanya menyisakan beragamnya senjata tombak di Cirebon. Akan tetapi juga menu makanan khas bagi para pejuang perang.
“Sega Jamblang itu menu sisa Perang Kedongdong,” tutur Suryanatha Harya, salah satu trah Sultan Sepuh IV ketika kami disuguhi santapan siang sega (nasi) Jamblang yang khas dengan suwiran-suwiran cabe merah, seperti suwiran tembakau, di rumah beliau di desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Cirebon, Sabtu (12/Agustus/2017).
Sajian Nasi Jamblang memang tiada duanya. Harus ada bungkus daun jati yang masih muda, di ambil dari pucuk pohon jati, nasi dikepel-kepel dalam bungkus daun, dengan menu lauk – tempe, tahu, sambel jamblang, otak sapi, dengan kuah semur daging jeroan. Bungkus daun jati itu mempersedap rasa nasi, yang beraroma jati.
Di sekitar Pasar Jamblang, terdapat beberapa warung nasi Jamblang pinggiran jalan. Seperti Warung Sega Jamblang Jaya Kelana tak jauh dari Pasar Jamblang. “Mulai buka sekitar 03.00 jelang subuh, sampai jam 11.00 siang sudah tinggal sisa-sisa lauknya. Tempe, tahu biasanya sudah ludes,” kata penjual warung.
Jamblang memang menjadi basis perjuangan gerilyawan-gerilyawan Cirebon, yang memakai “strategi kedongdong” menghadapi kolonial Belanda. Strateginya, halus kulitnya, padahal biji di dalamnya berduri. Belanda pun setengah mati perang, surut, perang, surut menghadapi perlawanan pejuang Cirebon dan Majalengka ini. *
No Responses