Gaman Cirebon Era Sultan Matangaji

Gaman Cirebon Era Sultan Matangaji
Gaman atau Senjata Cirebon pada era Sultan Matangaji pada abad ke-18 (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Perlawanan massal terhadap kolonial Belanda pada era Sultan Sepuh V Sultan Matangaji (1776) memicu berkembang pesatnya pembuatan gaman atau persenjataan tradisional di Cirebon. Sisa-sisa jejak perlawanan Sultan Matangaji itu masih bisa ditemui dengan banyak nya senjata massal yang saat ini tersimpan di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon.

“Inipun sudah tinggal sisanya, sudah banyak yang hilang, atau masih terpendam di tanah,” tutur Suryanatha Harya, pengurus Museum Kasepuhan yang dipercaya Sultan Sepuh untuk merawat pusaka di Kesultanan kepada kerisnews.com, Minggu (13/Agustus/2017).

Bekas senjata tradisional – kebanyakan tombak – dari era Sultan Matangaji ini di antaranya berbentuk Trisula (tombak bermata tiga), Dwisula ataupun bahkan Pancasula, yang selain kokoh, juga modelnya unik. Tombak-tombak lurus maupun luk (berlekuk) pun umumnya kokoh, beberapa bahkan bopeng-bopeng karena sempat terpendam seiring dengan adanya undang-undang yang melarang penyimpanan senjata di era kolonial. Sepintas mirip “tumbak kabudan” (era kabudan, era tua sekali zaman Singasari), tetapi sebenarnya itu hanya Nampak tua lantaran sempat lama terpendam.

Tombak Dwisula, misalnya, menurut Raden Hafid Permadi (Raden Nanang) kerabat Kasepuhan yang juga pemandu museum, ada sembilan macam. Kesembilan macam itu untuk menandai, bahwa para pemegang Dwisula itu adalah anggota pasukan tertentu. Penanda perbedaan untuk ciri khas pasukan ada pada ukiran di pangkal Dwisula.

Senjata-senjata yang diproduksi secara massal semasa Sultan Matangaji atau Sultan Sepuh V di abad ke-18. (KerisNews.com/Jimmy S Harianto)

Kesembilan pasukan Cirebon dengan ciri khas Dwisula itu terdiri dari Pasukan Suranenggala (Angkatan Darat Kesultanan Cirebon), Pasukan Sarwajala (Angkatan Laut), Pasukan Bhayangkara atau Jagabayan (Kepolisian), Pasukan Jagasatru (penjaga luar benteng kota), Pasukan Jalasutra (pasukan wanita pemanah), Pasukan Wirabrata (pasukan tempur), Pasukan Panyutran (Kopassus), Pasukan Dipati Awangga (pasukan berkuda, kavaleri), Pasukan Salaka Domas (pengawal Pangeran Panjunan). Masih ditambah lagi, Pasukan Telik Sandi (umumnya orang Bugis, dengan ciri khas senjata berhulu Cirebon posisinya teleng, atau meliuk kepalanya menyerupai hulu keris Bugis).

Mata tombak di kedua pangkal dan ujung era Sultan Matangaji abad ke-18 (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Perang yang pasang surut selama sekitar 180 tahun di Cirebon dan Jawa Barat sekitar Majalengka pada rentang waktu 1700-1880 dengan kolonial Belanda, waktu itu disebut secara lokal  sebagai “Perang Kedongdong”.

BACA JUGA  Kulonprogo dan Perjuangan Pangeran Diponegoro

“Disebut kedongdong, sebab peperangannya seperti buah kedongdong. Kulitnya halus, tetapi di dalamnya bijinya berduri,” ungkap Lurah Keraton Moh. Maskun. Terlihat halus, padahal sebenarnya melawan.

Perang Kedongdong juga memicu pembuatan persenjataan tradisional, tidak hanya tombak. Akan tetapi juga keris, pedang di berbagai tempat seperti di area Gua Sunyaragi, serta di desa Sumber yang kini disebut juga Desa Matangaji, Kecamatan Sumber yang berbukit-bukit di barat Cirebon.

Dalam sejarah lisan, yang di antaranya dikutip oleh penulis sejarah Keraton Cirebon Sulendraningrat, dituturkan bahwa Sultan Matangaji alias Syafiudin setelah meninggalkan Keraton,  berjalan ke arah Blok Capar, lalu meneruskan lagi kea rah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman dari serangan Belanda.

Di desa tersebut Sultan Matangaji membangun sebuah pesantren. Sampai saat ini, tempat tersebut dijuluki sebagai Blok Pesantren atau Dusun Pesantren yang banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan. Karena Sidawangi waktu itu dirasa kurang aman, maka Sultan Matangaji menuju pedalaman Cirebon yang sekarang ini disebut sebagai Desa Matangaji. Tempat peristirahatan Sultan Matangaji di desa ini kemudian disebut sebagai Blok Pedaleman, atau dusun Pedaleman tempat para pembesar keraton dulu tinggal di pengungsian.

Nama Matangaji pun tidak lepas dari asal-usul kegiatan di desa pengungsian Sultan Sepuh V tersebut. Orang datang dan pergi untuk belajar mengaji pada Sultan sampai matang, menyebabkan nama Sultan itu pun disebut sebagai Matangaji.

Senjata-senjata pasukan khusus Kesultanan Cirebon berupa Trisula dan Dwisula (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Seandainya saja ratusan senjata yang disimpan di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan itu bisa bertutur, maka mereka bisa berkisah soal peperangan panjang yang melibatkan perjalanan berbagai Sultan di Cirebon ini.

BACA JUGA  Wayang Diponegoro di Mata Peter Carey

Dari artefak-artefak yang ada di museum, setidaknya bisa bertutur misalnya. Cirebon, yang selalu berdampingan dengan kerajaan Demak ketika kerajaan Islam di Jawa Tengah itu eksis, terlihat dari peninggalannya.

Berbagai persenjataan, meriam, misalnya. Corak meriam dari peninggalan yang tersimpan di Museum Kasepuhan pun bisa bertutur. Ada meriam Portugis, yang dirampas dari pasukan Portugis ketika Cirebon membantu Demak menyerbu Sunda Kelapa di Banten.

Rampasan dari pasukan Portugis tak hanya meriam. Akan tetapi juga pedang-pedang Portugis ada puluhan bilah di rak museum. Juga, baju-baju zirah (baju logam tentara Portugis) yang jumlahnya kini tinggal 25 buah.

“Baju zirah itu kelemahannya ditusuk tombak cipiran, tusukan bisa masuk ke rongga-rongga baju…,” tutur pemandu Museum Kasepuhan, Raden Nanang.

Sitaan dari pasukan Portugis yang unik dan berharga, antara lain juga meriam dengan tiga lup (triple loop). Tidak kalah uniknya dengan meriam jinjing Mongolia, meriam dengan ornamen naga dari pasukan Cina atau meriam-meriam local buatan desa Terung di Jawa Timur, yang biasa disebut sebagai “meriam-meriam terung”.

Meriam jinjing dengan tiga lup sitaan dari tentara Portugis (Kontributor/Tira Hadiatmojo)

Bagi penggemar tosan aji, tentunya akan tertarik untuk melihat bagaimana persisnya langgam atau gaya keris Cirebon, dan juga tangguh keris mereka yang berkaitan dengan zaman pembuatannya.

Di berbagai etalase peninggalan keris-keris Cirebon, juga dipajang contoh-contoh keris kuno Cirebon yang berasal dari tiga periode. Yakni, Era Cirebon Awal, Cirebon Tengah, dan Cirebon Akhir.

Cirebon Awal dimulai dari era Sunan Gunung Jati (memerintah 1448-meninggal 1569) sampai Panembahan Ratu II (1649-1666), era Cirebon Tengah mulai dari era pasca Panembahan Ratu II sampai dengan Sultan Sepuh IV (kurang lebih 1597-1750) dan era Cirebon Akhir  dari masa Sultan Sepuh IV sampai dengan Sultan Sepuh VIII dengan rentang waktu 1750-1876.

Selain dipengaruhi oleh gaya pembuatan tosan aji Sunda, terutama Pajajaran di Cirebon awal, juga di era Cirebon Tengah serta Akhir, Cirebon banyak juga dipengaruhi gaya keris Mataram.

Menariknya, artefak yang dimiliki Museum Pusaka Keraton Kasepuhan ini umumnya adalah pusaka-pusaka warisan, simpanan dari leluhur kesultanan. Dan hanya sebagian kecil, ditempatkan di etalase tersendiri, merupakan pusaka-pusaka hibahan yang diserahkan masyarakat umum kepada kesultanan. *

 

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.